Sabtu, 27 Februari 2016

Amish, Komunitas Unik Diluar Gemerlap Dan Kecanggihan Amerika Serikat

Wow, benar-benar ga nyangka sudah seribu lebih pembaca blog-ku.  Surprise, diluar ekspektasi karena misi ikutan nge-blog hanyalah sekadar ingin berbagi cerita dan pengalaman tentang perjalananku ke tempat-tempat yang unik, menarik, touristic dan non-touristic, plus memenuhi selera lidahku berwisata kuliner.  Blog juga bisa menjadi server gratis bagiku untuk menyimpan memori khususnya foto-foto perjalanan.  Sekali lagi, terima kasih atas responnya.  Hal ini akan memicu semangat untuk semakin rajin berbagi cerita.

Kembali bicara tentang perjalanan, kali ini kisah unik perjalananku di negeri Paman Sam atau Amerika Serikat.  Pertama kali ke Amerika, target utamaku sama seperti turis-turis asing lainnya yaitu ga jauh dari mengunjungi Time Square dan patung Liberty di New York, bukit 'Hollywood' di Los Angeles, jembatan Golden Gate di San Francisco, gedung Capitol Hill, White House dan Pentagon di Washington DC.  Tempat dan bangunan itu semua masih menjadi icon dari negara adi daya Amerika Serikat.  Tapi bisa jadi aku punya kebiasaan yang sedikit berbeda dengan orang lain.  Kalau sudah pernah mengunjungi tempat-tempat wisata itu, biasanya aku cenderung malas untuk kembali lagi datang kecuali 'terpaksa', misalnya ada tugas kantor atau terpaksa karena saudara atau teman tinggal disana.  Kalau boleh milih, so pasti aku akan bepergian ke tempat-tempat unik, kalau bisa yang non-touristic atau bukan menjadi destinasi wisatawan.  Makanya, setelah mengunjungi semua icon USA, perjalananku kali ini ke komunitas orang-orang Amish di Lancaster, Pennsylvania. 
Aku sangat tertarik ingin tahu Amish karena menurutku gaya hidup mereka sangat unik, jauh dari gemerlap dan teknologi Amerika yang terkenal itu.  Orang Amish memisahkan diri dari masyarakat umumnya karena alasan-alasan keagamaan. Mereka menolak masuk militer, tidak (dipaksa) menggunakan jasa jaminan sosial Amerika Serikat, tidak menerima bantuan keuangan dalam bentuk apapun dari pemerintah, dan menghindari asuransi.  Bahkan bisa dikatakan orang Amish tidak peduli dengan perkembangan teknologi.  Ini bisa dilihat dari penampilan mereka, pakaian, rumah, perkakas rumah tangga dan cara bercocok tanam sebagai penyambung hidup mereka.  Ya, itu juga kutahu dari National Geographic dan beberapa film hollywood yang menggambarkan orang-orang Amish.  Film jadul di TV mirip gaya orang Amish yang kuingat itu 'Little house of the prairie'.  Si Laura, gadis kecil berbusana ala Amish tapi berkelakuan tomboy di film itu telah memikat hati pemirsa.  Oleh karena itu, sudah sewajarnya saat aku punya kesempatan cuti langsung terbang ke Amerika untuk mengenal lebih dekat kehidupan Amish.

Keluarga Amish

Para gadis Amish


Saat pesawat United Airlines yang kutumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Philadelphia, aku begitu excited ingin segera keluar dari bandara.  Temanku yang asli penduduk Philly (istilah atau singkatan Philadelphia) yang menunggu di ruang pengambilan bagasi, sudah dapat melihat raut mukaku yang super antusias pengin jalan-jalan ke Pennsylvania, negara bagian Amerika yang bertetangga dengan New York.  Oiya, di Amerika, ruang pengambilan bagasi adalah ruang publik, so keluarga, teman atau saudara kita bisa langsung bertemu dengan kita dan membantu mengambil bagasi kita.  So far aman-aman saja.  Mungkin karena CCTV ada dimana-mana dan penegakan hukum disana ga main-main.  Ngutil atau sabotase bagasi hukumannya sangat berat!
 

Salah satu sudut kota Philadelphia

Jalan kota tidak lebar tapi tidak macet


Hari itu kuputuskan untuk jalan-jalan dulu di kota Philly karena aku ga enak sama temanku yang sudah mau ngejemput, nyediain tempat tinggal dan sebagainya, toh Philly lumayan terkenal atau sering jadi lokasi syuting film.  Jadi seharian aku keliling kota yang saat itu tidak terlalu dingin temperature-nya padahal di saat yang sama kota New York sedang diguyur hujan salju setiap hari.  Untungnya waktu aku menginjakkan kaki di Philly, cuaca sedang sangat baik meskipun di beberapa sudut jalan masih terlihat tumpukan salju, tapi overall suhu masih nyaman bagiku.
 

Menikmati bangunan-bangunan tua di tengah kota

Kota tua Philly

Landmark kota Philly adalah city hall yang berada di tengah kota.  Beberapa kali kamera 5D-ku meng-capture gedung bersejarah itu.  Saking senangnya sampai-sampai aku memberanikan diri menerobos traffic kota yang sedang padat-padatnya dan menyeberangi jalan raya menuju trotoar tengah jalan hanya sekadar ingin mengambil gambar city hall.  Sempat kudengar ada yang mengumpatku sambil mengacungkan jari tengahnya karena kesal banget atas ulahku yang main selonong nyebrang jalan yang membuat dia kaget dan nginjak rem mendadak.  Tapi saat itu mungkin otakku sedang ga berfungsi dengan baik, justru nyali sedang pada puncak-puncaknya sehingga rasa takut ga ada sama sekali.  Temanku hanya geleng-geleng kepala melihat ulahku. 
 
City hall kota Philadelphia
 
Ga sia-sia jerih payahku

Keesokan harinya, jam 7 pagi kami berangkat menuju Lancaster.  Jarak tempuh sekitar 2 jam dari Philly ke Lancaster menggunakan mobil.  Dengan senang hati temanku yang duduk di kursi sopir pulang pergi karena dia juga excited menyambut kedatanganku.  Sepanjang perjalanan dia cerita banyak tentang kehidupan orang Amish yang sangat tertutup, cenderung kurang bersahabat dengan pendatang, bahkan orang Amerika sendiri katanya juga merasa sulit bersosialisasi dengan mereka.  Bahasa mereka campuran Inggris dan Jerman karena sejarahnya memang mereka berasal dari Jerman.  Aksen yang berbeda yang membuat orang Amerika pun merasa kesulitan berkomunikasi dengan mereka.  Temanku sempat kaget saat kubilang bahwa aku mau mampir ke Philly dengan tujuan utama ke tempat komunitas Amish.  Kebayang jauhnya dan takut malah diusir oleh orang Amish, katanya.  I don't care, I have to go there!!

Keluar rumah, suhu lumayan dingin

Memasuki area pinggiran Philly

Mendekati jalan tol ke Lancaster

Memasuki tol

Mendekati Lancaster

Pemakaman yang menarik perhatianku

Landis Valley

Sebenarnya temanku juga ga pernah ke Lancaster meskipun bertahun-tahun tinggal di Philly, makanya sesampai  di Lancaster, kami sama-sama bingung harus kemana.  Suasananya memang berubah total dari Philly yang ramai, lalu lalang kendaraan dan orang, gedung-gedung tinggi, toko-toko berderet dengan papan reklame menyolok, tapi di Lancaster lalu lalang mobil bisa dihitung dengan jari dan kami belum bertemu satu orang pun berjalan di pinggir jalan. Mataku tertarik melihat tempat pemakaman unik dan perkampungan di pinggir jalan.  Kulihat ada signage dengan tulisan Landis Valley.  Mobil kami segera mengarah ke pemukiman itu.  Kembali lagi, hanya kesunyian yang kami temui.  Tidak terlihat seorang pun disana.  Aku ga menyerah.  Kulihat ada semacam toko kecil dekat pintu masuk pemukiman yang pintunya terbuka pertanda siap menerima tamu atau pembeli.  Dugaanku tepat, di dalamnya ada seorang laki-laki paruh baya mengenakan sweater dan celana jeans dengan senyumnya yang ramah menyambut kami.  Ternyata dia adalah pemilik sekaligus pelayan toko. Di dalam toko itu dijual produk-produk rumahan orang Amish seperti kain rajutan, alat tulis, lilin, boneka dari jerami, dan perkakas berkebun.  Dia bilang suasana sepi karena penduduk di Landis tidak banyak dan saat kami datang bertepatan dengan jam bekerja mereka di perkebunan, pertanian atau peternakan.  Sedangkan anak-anak pada pergi ke sekolah.   Mr Josh, si pemilik toko hanya mengingatkan kami untuk tidak sembarangan mengambil gambar atau memotret.  Kalau ingin memoto rumah orang harus minta ijin dulu pemiliknya, kecuali rumah itu tidak sedang berpenghuni atau moto jarak jauh.  Apalagi moto orang, wah itu dilarang disini, katanya.  Tapi dasar orang baik dengan niat yang baik, di tengah-tengah ngobrol dengan Mr.Josh, tiba-tiba ada sepasang orang tua memasuki toko.  Kulihat mereka kaget saat melihatku.  Mungkin baru kali ini mereka melihat wajah orang Asia.  Dengan senyum ramah kucoba menyapa dan memperkenalkan diri dengan tujuan agar mereka tidak berfikiran negative terhadapku dan tahu tujuanku.  Ternyata, usahaku membawa hasil.  Wajah kaget dengan tatapan sedikit mengintimidasiku berubah menjadi senyuman ramah dan ceria.  Kata mereka, baru pertama kali ini melihat orang Asia dan surprise karena aku bisa berbahasa Inggris dan dimengerti oleh mereka.  Sayangnya, mereka tidak tahu Indonesia.

Gereja sekaligus gedung pertemuan

Rumah orang Amish

Pemukiman Amish-1

Pemukiman Amish-2


Mereka tidak keberatan kami masuk ke pemukiman mereka, malah kami diajak mampir ke rumah mereka.  Sungguh perasaan senang yang luar biasa bisa bergaul dengan orang Amish.  Mr & Mrs. Julian menjadi penghubung kami dengan komunitas Amish.  Semua bersikap sama saat pertama melihatku, terlihat heran, asing dengan tatapan penuh curiga.  Sangat mengintimidasi.  Tapi kembali ingat pesan orang tua, bersikaplah baik dimana pun berada, jaga nada bicara dan sikap, maka orang akan dapat menerima kita dengan mudah.  Kondisi intimidasi tidak berlangsung lama.  Akhirnya kami khususnya aku yang orang Asia menjadi pusat perhatian.  Tidak sedikit dari mereka yang menunjukkan sikap bersahabat dengan menceritakan aktivitas masyarakat Amish, kebiasaannya termasuk hal-hal yang dilarang. 
 

Perkakas kuno yang masih disimpan

Gudang hasil pertanian dan pengolahan

Tanah yang siap ditanami

Kehidupan sudah berubah


Sekarang masyarakat Amish sudah banyak yang bersentuhan dengan dunia modern seperti mereka sudah banyak yang mempunyai mobil. bukan kereta kuda lagi.  Perkakas rumah tangga mereka pun sudah modern seperti oven, microwave, setrika listrik.  Alat-alat berkebun dan pertanian mereka juga sudah terjamah teknologi seperti mesin pemotong rumput, penyiram air tanaman, traktor-traktor dan sebagainya.  Sepertinya benda-benda berteknologi modern bukan menjadi barang haram lagi bagi mereka.  Tapi kata mereka, masih ada juga beberapa orang Amish terutama kaum tua ortodoks yang benar-benar tidak mau bersentuhan dengan dunia modern.  Bahkan katanya mereka tidak mau bicara dengan orang asing atau yang bukan Amish.  Untungnya aku ga ketemu sama kaum ortodoks, meskipun ada secuil penasaran pengin tahu sosok dan respon mereka saat ketemu aku. 
 

Kantor pemadam kebakaran, kebayang jenis kendaraannya?

Pemukiman Amish-3


Yang masih dipertahankan adalah cara mereka berpakaian, meskipun sebenarnya sudah mulai sedikit ada perubahan dari warna dan gayanya.  Sebagian kulihat juga sudah pakai jeans, meskipun celana panjang masih berlaku hanya untuk laki-laki.  Perempuan semua pakai rok, tidak ada yang pakai celana panjang.  Penampilan mereka akan sangat mudah dikenali.  Satu lagi yang masih dipertahankan dan menjadi added value dari orang Amish adalah produk-produk pertanian dan perkebunan mereka serba organic.  Oleh karena itu makanan atau restaurant orang Amish terkenal fresh dan sehat.  Efeknya, harga produk pertanian atau perkebunan Amish lebih mahal. 

Senin, 08 Februari 2016

Indischetafel, Selera Para Sinyo dan Noni Belanda di Bandung

Meskipun sudah ratusan kali ke Bandung, aku ga pernah bosan mengunjungi kota yang satu ini.  Kota kembang yang tidak pernah berhenti berkreasi dan selalu membuat warga Jakarta atau luar kota penasaran dan antusias datang.  Selalu saja ada yang baru disini, seperti menu atau makanan baru, tempat makan yang unik atau tempat belanja yang menawarkan sensasi baru.  Orang Bandung ga pernah ada matinya!!  Contohnya Seblak, makanan unik yang sedang banyak dibicarakan warga kota.  Makanan ini terbuat dari kerupuk mentah yang direndam lalu dikeringkan dan disajikan dengan berbagai macam varian.  Ada yang dicampuri keju dan macaroni, ada juga yang diolesi coklat, terserah selera si pembeli.  Unik kan?  Ya untuk sekadar camilan sih ga masalah karena memang seblak dihidangkan untuk pengganjal perut sementara. 

Camilan unik, murah & kreatif

Ke Bandung kali ini aku nginap di hotel Mercure Setiabudi.  Sesuai dengan namanya, hotel ini memang berada di Jalan Setiabudi yang sangat dekat dengan berbagai tempat makan enak.  Dulu kalau ke Setiabudi yang selalu kuingat adalah surabi.  Ya, disini memang tempatnya menikmati surabi.  Berbagai macam surabi ada disini, mulai dari yang rasa coklat sampai dengan yang berisi daging sapi.  Bentuk dan cara memasaknya yang unik yang menjadi daya tarik pengunjung untuk singgah dan menikmati surabi.  Namun, tidak hanya itu, di Setiabudi juga tersedia factory outlet yang kerap dikunjungi oleh turis lokal dan internasional.  Kebanyakan mereka dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Filipina.  Akses penerbangan yang mudah dan murah ke Bandara Husein Sastranegara membuat tidak sulit bagi para turis mancanegara memenuhi hasrat wisatanya ke Bandung.

Kamar tidur

Kamar mandi

Mini bar

Tapi kali ini sasaranku justru ke sebuah restaurant di Jalan Sumatera yang terkenal menyajikan menu-menu khas masa kolonial.  Indischetafel, itulah nama rumah makan itu.  Menempati area yang tidak terlalu luas di kota Bandung, namun Indischtafel berhasil membawa kita mengenang kembali masa-masa jaman Belanda bercokol di Indonesia.  Di tempat ini kita bisa melihat benda-benda bersejarah seperti kamera tempo doeloe, gramophone, arcadia, poster, foto dan cuplikan berita-berita jaman dulu.  Di sini juga kita bisa menikmati makanan kesukaan para sinyo dan noni Belanda.

Kamera-1

Kamera-2

Radio dan binocular jadul

Radio lagi
Gramophone

Sayangnya, waktu ke Indischetafel, situasi tidak mendukung.  Hujan tidak berhenti mulai dari sore itu.  Sudah begitu saat itu aku sudah kebanyakan makan siangnya, alhasil sampai di Indischetafel tidak banyak yang bisa kukonsumsi.  Tak apalah, yang penting rasa kangen ku terobati dapat selamat nyampai di restaurant ini. 

Ruangan bertema perangko lawas

Ruangan utama berkapasitas besar

Setiap sudut bercerita

Accordion
 
Ruangan depan untuk etalase dan kasir


Karena suasana sedang hujan dan dingin, aku pilih Erwtensoep, sup khas Belanda yang disajikan dengan irisan daging asap, sosis dan roti bawang.  Selain Erwtensoep, sebagai appetizer, aku pesan bitter ballen, perkedel kentang kesukaan para noni yang berbentuk bulat berisi daging sapi asap dan keju dan dimakannya dengan mustard. 
 
 
Erwtensoep yang menghangatkan suasana

Bitterballen yang lembut dan enak

Kopi panas untuk lebih menghangatkan

Untuk main course sebenarnya aku ingin sekali makan Vis Ala Meneer yaitu ikan dori yang disajikan dengan irisan kentang dan jamur, tapi sepertinya perut tidak bisa diajak kompromi.  Space yang ada hanya cukup untuk dessert.  Makanya aku pesan Indischetafel punch, jus campuran buah melon, guava, lychee, sirup dan es krim vanilla.  Dan melengkapi dessert aku pilih satu iris kecil chocolate cake. 

Ruangan yang kupilih

Indischetafel punch

Chocolate cake cocok sebagai pencuci mulut


Teras depan yang kerap menjadi pilihan pengunjung
 
Menu di Indischetafel

Urusan harga jangan khawatir, makanan dan minuman disini menurutku masih wajar harganya atau tidak mahal.  Sungguh suatu tempat makan yang pantas disinggahi bila sedang bepergian ke Bandung.