Kamis, 24 Desember 2015

Kunstkring, Simbiosis Galeri Seni dan Rumah Makan Bagi Mereka Yang Berselera Tinggi

Satu lagi tempat makan yang unik dan menarik di Jakarta yang bisa menjadi referensi bagi mereka yang berselera tinggi.  Berlokasi di kawasan elit Menteng, tepatnya di jalan Teuku Umar, Kunstkring Paleis  atau orang sering menyebutnya restaurant Tugu, lebih memposisikan diri sebagai galeri seni daripada rumah makan.  Makanya hampir di setiap sudut ruangan, kita bakal ketemu dengan berbagai macam karya seni mulai dari lukisan, patung, ornament sampai dengan karya seni kreasi ala Kunstkring seperti pohon natal yang terbuat dari botol-botol minuman.  Sejak diresmikan tanggal 16 April 2013 oleh Ibu Megawati Soekarnoputri, galeri seni yang sebelumnya digunakan untuk bar dan diskotik kontroversi itu, sudah menjadi destinasi pecinta kuliner dan pecinta seni serta sekaligus menjadi tujuan wisata khususnya bagi turis-turis asing yang menyukai karya seni dan masakan Indonesia.  Arsitektur gaya kolonial Belanda dengan huruf kapital di bagian depan, memperjelas sejarah dari gedung ini.
Halaman depan yang hijau dan teduh

Dulu kantor imigrasi di jaman kolonial Belanda 

Batu peresmian oleh ibu Megawati Soekarnoputri

 
Petugas resepsions siap membuka pintu dan menyambut tamu dengan pakaian tradisional Jawa.  Senyumnya yang ramah dengan tone suara yang lembut seraya menunjukkan budaya orang Indonesia yang penuh keramahan dan sangat menghargai tamunya. Di area depan, kita akan dibuat terkagum-kagum oleh benda-benda karya seni yang ditempatkan di setiap sudut ruangan.  2 cermin besar dengan bingkai warna emas memberi kesan elegan berada simetris di kanan dan kiri ruangan.  Disini juga pengunjung bisa menggunakannya untuk tempat lobby atau makan karena sofa tersedia di 2 sisi ruangan.  ‘Kelas’ rumah makan ini semakin terlihat bila kita menengok ke samping kanan.  Di sudut kanan ruangan depan terdapat outlet wine yang bisa dibeli dan dinikmati oleh pengunjung.
Pilar-pilar khas bangunan tua 

Counter belanja wine

Ruangan lobby sisi kanan

Ruangan lobby sisi kiri
Lemari pajangan karya seni bersejarah
 
Sebelum memasuki ruangan utama, kita akan melewati pintu dengan ukiran kayu di setiap sisi seolah menandakan kita akan menemui suasana yang berbeda di dalamnya.  Benar, deretan kursi yang tertata rapi dan peralatan makan table manner yang siap menyambut tamu.  Hampir semua dinding ruangan penuh dengan karya seni mulai dari lukisan, ukiran dan ornament unik khas Indonesia.  Yang sangat menonjol di ruangan utama ini adalah lukisan besar yang membentang dan menutupi seluruh dinding belakang ruangan.  Luar biasa, Kunstkring bukan omong kosong sebagai galeri seni.  Banyak yang dapat kita nikmati disini.  Bahkan detail setiap space ditata dengan rapi membuatku lupa kalau sebelumnya tempat ini pernah menjadi bar yang kontroversi di Jakarta.
 
Lorong ke ruangan utama serasa Keraton Jawa
 
Ruangan utama yang sangat luas dan elegan


Table manner ala Kunstkring
 
Setelah order makanan dan minuman, kulanjutkan eksplorasi ruangan Kunstkring.  Langkahku menuju ruangan sebelah kiri yang kelihatan sesuatu yang unik di mataku.  Masih dengan lampu yang remang-remang, ruangan ini bergaya  fully oriental.  Lampu-lampu lampion, kursi, meja, riksaw atau becak khas Pecinan dan patung-patung tradisionil Tiongkok diusung di ruangan ini.  Ga salah kalau ruangan ini diberi nama ‘Suzie Wong’ yang posternya terpampang besar di dua sudut dinding ruangan.  Di ruangan ini kita bisa merokok karena memang ini ruangan smoking area.  Melengkapi kebutuhan pengunjung, di ruangan ini tersedia bar dengan berbagai minuman keras pilihan. 
Fully oriental

Lorong sisi kanan ruangan

Riksaw di tengah-tengah ruangan

Gaya Pecinan yang kental

Ini dia nama ruangan itu
Pohon natal dari botol-botol minuman
 
Sedang asik-asiknya menikmati ruangan Suzie Wong, petugas restaurant menawarkan diri untuk menemani dan menjelaskan tema masing-masing ruangan.  Dia mengajaku ke ruangan-ruangan VIP yang dapat di book dan digunakan untuk kepentingan lobby bisnis, office gathering atau yang lainnya.  Harganya bervariasi tergantung luas ruangan dan kapasitasnya.  Ada yang 2 juta, ada juga yang 4 juta sekali pakai.  Itu cuman biaya sewa ruangan saja lho.  Ruangan yang bersifat privacy ini ada di lantai 1 dan lantai 2.  Ada yang bernama ruangan Soekarno karena hampir setiap hiasan dan pajangan di ruangan ini akan mengingatkan kita kepada sosok Soekarno Presiden Pertama Indonesia.  Selanjutnya ada juga ruangan Multatuli yang bergaya kolonial Belanda dan ruangan-ruangan lainnya.
Ruang VIP di lantai 1

Lukisan yang mempercantik ruangan
Ruangan Multatuli

Fully bergaya kolonial

Ruangan Darma

Ruangan Soekarno

Ruangan VIP di lantai 2
Sudut tangga pun tak luput dari perhatian
 
Setelah mengeksplor semua ruangan Kunstkring, aku kembali ke meja makan di ruangan utama.  Sebagai appetizer aku pesan bitter ballen, perkedel daging kesukaan noni and sinyo Belanda.  Cara penyajiannya yang menarik membuat makanan ringan ini menjadi berkelas.  Apalagi rasanya yang enak banget dengan ukuran yang pas membuat selera makan bangkit dan siap untuk menikmati main course.
Appetizer dan minuman pesanan sudah dating
 
Bitter ballen yang lezat sebagai pembuka

Untuk main course, aku pesan menu special Kunstkring, Salmon Involtini in Chive Butter sauce, daun bayam dan mozzarella yang dibungkus dengan daging ikan salmon dan tumis beberapa sayuran, wuih rasanya sungguh nikmat.  Daging salmon dibumbui dengan benar dan lembut di mulut.  Selanjutnya ku santap juga Kungpao stuffed crispy duck, wonton prawn dan ditemani dengan mojito dan fruit juice  yang benar-benar membuat makan siang semakin nikmat.  Urusan budget, lumayan tinggi harga menu disini.  Harga minuman berkisar 35 ribuan, sedangkan makanan bervariasi mulai dari yang dibawah 100 ribu sampai dengan yang diatas 300 ribu. 
 
Salmon Involtini in Chive butter sauce

Main course lainnya yang tidak kalah enaknya

Kungpao crispy duck
 
Alunan musik lembut mengiringi dan melengkapi kebahagian sebagai pengunjung Kunstkring dimana semua panca indera dimanjakan disini, so meskipun harus merogoh kocek lebih dalam, layak kan kalau semua terpuaskan?
 
 

Minggu, 20 Desember 2015

Nanny's Pavillon Serasa Makan di Gudang Gandum Ala Cowboy

Teringat saat reuni bersama teman-teman SMP di tempat ini tahun lalu yang meninggalkan kenangan manis, semanis minuman chocolate milkshake.  Sengaja aku datang lagi ke restaurant ini karena ada sesuatu yang lain disini.  Selain steak-nya yang luar biasa nikmatnya, Nanny’s Pavillon memberikan atmosfer yang berbeda.  Meskipun berukuran yang tidak terlalu besar dan tidak berlokasi di barisan depan Flavor Bliss Alam Sutera, restaurant yang lebih senang disebut ‘Barn’ atau lumbung padi atau gudang gandum para petani tidak pernah sepi pengunjung. Disain eksterior-nya memang unik karena bangunan yang didominasi oleh kayu ini benar-benar ingin dibuat seperti gudang gandum dengan menempatkan beberapa perkakas pertanian di depan restaurant.  Saking uniknya sampai-sampai hampir setiap pengunjung yang baru atau pertama kali datang ke tempat itu selalu mengabadikan diri atau memotret di area itu.  Tak jarang mereka memegang peralatan tersebut ataupun berpose layaknya petani gandum.  Di teras sudah berdiri pelayan yang siap menyambut pengunjung sambil mengarahkan kursi yang kosong.  Oiya, jangan heran, pada hari-hari tertentu terkadang tempat ini dipesan habis oleh orang atau komunitas yang sedang merayakan ulang tahun atau moment-moment penting lainnya.  Kata pelayan, kaum sosialita atau para ekspatriat di sekitar Alam Sutera menjadikan Nanny’s Pavillon sebagai tempat berkumpul, hang out dan sejenisnya.  Tapi beberapa kali aku datang kesini, seringnya justru melihat anak-anak muda yang sedang menikmati kebersamaan dengan teman-teman sebaya.  Bisa jadi karena disini tidak hanya menawarkan makanan yang enak, tapi karena disini juga tersedia wifi gratis yang lumayan kencang koneksinya.
 
Fasad depan yang unik
Bagian teras bagi yang suka suasana agak 'hangat'
Lantai satu
Pengunjung mulai memadati lantai 1

Lantai 1 dilihat dari lantai 2
Perhatikan lampu gantung itu
 
Steak memang jagonya restaurant ini, tapi menu-menu lainnya juga enak.  Karena lokasinya di Indonesia, maka beberapa menu western dipadukan dengan bahan-bahan lokal seperti Denise’s grill baked yang disajikan dengan nasi, bukan kentang.  Medium rare sirloin steak yang kupesan terasa pas banget.  Chef sepertinya sudah ahli dan berpengalaman membuat steak setengah matang yang bagian tengahnya terlihat merah muda. terasa lembut di mulut.  Black pepper sauce dan jagung rebus berukuran ¼ bagian melengkapi nikmatnya makan steak daging sapi ala Barn.
Uncle Harold Sirloin dengan black pepper sauce

Denise's grill baked dengan nasi, bukan kentang

Lychee tea yang dikemas unik

Nanny’s menyediakan 2 lantai bagi pengunjung.  Lantai pertama didisain bak bar ala cowboy.  Ada meja panjang yang dapat memuat sepuluh orang dan ada juga meja untuk berdua atau berempat.  Di lantai satu ditempatkan hiasan-hiasan ala gudang atau perkakas pertanian.  Pengunjung sepertinya ingin dibawa ke suasana gudang orang-orang bule Eropa atau Amerika.  Bahkan di tangga menuju lantai 2 pun ditempatkan perkakas kebun untuk memperkuat tema ‘Barn’ restaurant ini.  Sesampai di lantai 2 kita akan melihat area atap rumah orang-orang barat yang kerap dijadikan tempat tidur atau tempat keluarga.  Di lantai 2 sering menjadi tempat kumpul-kumpul komunitas karena lebih privacy meskipun kalau siang hari justru lebih panas, kecuali AC di dalam ruangan itu berfungsi dengan baik semua.
Lantai 2 yang lebih privacy
Bukan sekadar tatakan piring

Sudut tangga pun dibuat unik

Roda pedati di atas dinding
 
Masalah harga, di Nanny’s relative wajar.  Kalau satu porsi steak besar dihargai Rp 150 ribu, tidak mahal kan?  Menu-menu yang lain pun menurutku masih wajar harganya.  So, ada satu lagi tempat makan yang enak di Tangerang sebagai referensi untuk berkumpul bersama teman, kolega atau orang terkasih.
 

Rabu, 09 Desember 2015

Istanbul, Pertemuan Budaya Timur dan Barat, Perjalanan Sekilas Namun Membekas

Ga nyangka hampir 500 orang melihat blog-ku yang usianya masih sangat muda dan belum banyak isinya.  Berdasarkan data statistik, ulasan tentang tempat wisata lebih banyak dikunjungi pemirsa daripada wisata kuliner.  Perjalananku ke New Zealand mencatat rekor tertinggi dengan lebih dari 100 pemirsa.  Ada rasa bangga dan terharu melihat respon publik terhadap blog-ku, tapi dilain sisi, muncul kekhawatiran pada diri sendiri karena tidak bisa meng-up date acara jalan-jalanku secara periodik. Maklum, sebagai pekerja rutin yang padat agenda, sulit sekali cuti tiap bulan untuk memenuhi hasrat wisata.  Jadinya, ada beberapa cerita lama perjalanan yang aku angkat di blog ini yang syukur-syukur tidak mengecewakan siapa pun yang membacanya.
Kali ini kisah perjalananku ke Turki, satu-satunya negara di dunia yang punya 2 ibukota negara di 2 benua.  Di Asia beribukota Ankara dan yang di Eropa berpusat di Istanbul. Negara yang mayoritas penduduknya beragama islam ini memiliki banyak bangunan masjid yang terkenal karena keindahan arsitektur-nya dan seni interior-nya.  Salah satunya yaitu Blue Mosque atau masjid biru, icon dari kota Istanbul. Sebenarnya banyak sekali bangunan bersejarah yang indah, unik dan menarik yang bisa menjadi icon, tapi sudah menjadi hak warga Istanbul dan Pemerintah-nya untuk menetapkan icon wisata ciri khas kotanya.
Blue Mosque yang tidak biru warnanya, icon Turki
 
Kalau mayoritas selama ini aku mengawali perjalanan dari Jakarta, untuk perjalanan ke Turki justru berbeda karena aku mengawalinya dari kota Athena Yunani.  Ya, setelah menyelesaikan tugas belajar di Athena, aku memutuskan untuk mengunjungi kota Istanbul dan menghabiskan waktu selama 2 malam disana sebelum balik ke Jakarta.  Kupilih terbang bersama Aegean Airlines, maskapai kebanggaan Yunani yang sering memenangi penghargaan sebagai airlines dengan pelayanan terbaik di kelasnya.  Penerbangan yang lumayan singkat sekitar 1 jam 20 menit,  A3-991 membawaku mendarat dengan selamat di Bandara Attaturk pada jam 11 siang.  Lokasi bandara yang sangat jauh dan kondisi jalan yang macet di beberapa titik, membuatku tiba di hotel Hali Istanbul di sore hari.  Sesuai dengan namanya, Hali dalam bahasa Turki berarti karpet atau permadani, hotel Hali memang berada di area yang sepanjang jalannya banyak terdapat penjual karpet atau permadani dengan berbagai macam ukuran dan corak.  Harganya pun variatif dan bisa ditawar. 

Meninggalkan bandara

Sepanjang jalan menuju jantung kota Istanbul

Mendekati persimpangan jalan menuju Istanbul dan Ankara
  
Hotel ini terlihat kecil dari luar dan ternyata serba minimalis bila kita sudah masuk di dalamnya.  Meja resepsionis berukuran kecil di lobby yang juga hanya menyediakan sekitar 6 kursi tamu.  Lift ke lantai kamar-kamar di atas pun berukuran kecil.  Untuk ukuran bule hanya muat 2 orang plus barang bawaan. Tangga disediakan, tapi curam dan sempit, sepertinya kurang pas kalau kita sedang bawa bagasi.  Memang hotel ini lebih tepat bagi para semi backpacker karena fasilitasnya yang tidak terlalu eksklusif juga harganya yang lumayan murah sekitar Rp 700.000 per malam.  Namun hotel ini banyak kelebihannya.  Salah satunya lokasi yang sangat strategis karena dikelilingi oleh obyek-obyek wisata terkenal seperti Blue Mosque, Hagia Sophia, Grand Bazaar dan lain-lain.  Salah dua dan tiganya, dekat dengan minimarket, restaurant dan money changer, serta dikenal oleh para supir taxi dan tour agent lokal.  Ukuran semua kamarnya minimalis, kamar tidur dan kamar mandi dengan fasilitas yang minimal juga.  Sabun mandi dan shampoo sih ada.  Hair dryer dan lemari es ukuran kecil juga ada. Bagiku tidak ada masalah karena dengan hanya menginap 2 malam, waktuku akan banyak diisi acara jalan-jalan keluar, jadi hotel hanya untuk tempat tidur dan mandi saja. 
Malam pertama di Istanbul aku bergabung dengan grup night cruise menikmati suasana di malam hari selat Bosphorus dengan kapal pesiar.  Aku sengaja ikut tur yang brosur promosinya tersedia di meja resepsionis hotel supaya lebih mudah dan karena mempertimbangkan waktu juga yang sangat terbatas, makanya aku menggunakan jasa resepsionis hotel yang katanya bisa membantuku untuk mendaftarkan dan mengatur acara jalan-jalanku.  Bahkan entah karena apa, si resepsionis memberiku diskon.  Di brosur tertulis harga 75 euro dollar per orang untuk night cruise sudah termasuk makan malam di kapal pesiar, tapi dia mengatakan bahwa aku cukup bayar 50 euro.  Awalnya aku ragu, tapi positive thinking sajalah, bisa jadi memang dia benar-benar ingin berbuat baik kepadaku.  Anggap saja ini memang hari baikku.
Tepat jam 7 malam sebuah bus besar berhenti di depan hotel Hali.  Resepsionis yang baik itu memberitahuku untuk segera naik ke bus karena bus tersebut tidak boleh lama-lama berhenti di jalan depan hotel yang tidak terlalu lebar itu.  Aku yang memang sudah siap, segera memasuki bus yang ternyata sudah banyak penumpangnya.  Seorang anak muda yang bertugas sebagai kenek bus sekaligus guide sekaligus juga bendahara, menagih uang registrasi kepadaku.  Setelah selembar uang 50 euro kuserahkan, dia langsung menyerahkan tiket night cruise tour kepadaku. Artinya aku resmi jadi peserta night cruise dan terbukti benar aku dapat diskon 33%.
Selain menikmati pemandangan kota sepanjang selat Bosphorus, di dalam kapal pesiar itu semua pengunjung dihibur dengan berbagai macam hiburan mulai dari nyanyian, sulap, tarian tradisional sampai dengan tari perut.  Selama 3 jam perjalanan kita bebas makan dan minum yang disuguhkan prasmanan.  Semua makanan khas Turki seperti kebab, kuskus, humus dan lain-lain.  Minuman yang free hanya teh, kopi, air putih dan coca cola.  Kalau minta yang lain seperti wine atau bir kita harus bayar.  Sebenarnya aku ingin menunjukkan semua keramaian dan kemeriahan perjalanan night cruise, tapi sayangnya foto-foto selama perjalanan itu belum ketemu sampai sekarang.

Keindahan Blue Mosque dilihat dari selat Bosphorus

Sudut istana Topkapi

Keesokan harinya, aku membeli dan bergabung dengan paket tur ke Princes' Islands atau Pulau Pangeran.  Ini bukan sekadar pulau, tapi rangkaian 9 pulau yang menyimpan sejarah bagi negara Turki dan sekarang menjadi tempat peristirahatan bagi orang-orang kaya Turki khususnya di musim panas.  Bungalow, hotel, villa selalu penuh tamu, makanya jauh-jauh hari kita harus booking kalau ingin bermalam di pulau ini.  Karena penasaran ingin tahu apa sih daya tarik sebenarnya dari pulau ini, tanpa pikir panjang aku segera setuju dengan penawaran dari resepsionis hotel Hali.  Untuk full package termasuk makan siang, guide dan fasilitas lainnya, setiap orang harus bayar 100 euro.  Kembali lagi aku dapat harga murah, potongan 25%, so hanya bayar 75 euro.  Kalau mau ikut tur ini, kita harus bangun pagi banget karena jam 9 bus sudah menjemput kita menuju dermaga.  Pulang pergi perjalanan kapal dibutuhkan waktu 4 jam.  Acara jalan-jalan di pulau diberi waktu 4 jam. Karena cuman 4 jam, makanya kita cuman mampir ke 2 pulau saja.  Tapi menurutku tidak ada ruginya kalau kita menghabiskan waktu yang pendek di Istanbul dengan mengunjungi tempat-tempat favorit warga Turki.  Pokoknya dari pagi sampai sore kita akan menikmati tur ini.
 
 
Kapal di dermaga yang siap mengantar ke Princes Islands

Pemandangan kota sepanjang selat Bosphorus

Menjauhi kota Istanbul

Pulau pertama yang kami kunjungi adalah Heybeli.  Pulau ini kecil sekali ukurannya, terlihat dari jalan dan jumlah rumah atau bangunan yang ada di sana tidak banyak.  Justru aku menyebutnya sebagai tempat pengasingan para narapidana karena saat kapal bersandar di dermaga pulau ini, yang pertama kita lihat adalah gedung penjagaan dengan seorang petugas yang berdiri tegap di depan pintu.  Awalnya aku kira gedung pemerintahan biasa, so main jeprat jepret kamera.  Tapi setelah beberapa kali mengambil gambar, petugas di depan pintu itu memberikan tanda stop atau melarang aku melanjutkan aksiku.  Guide yang mendampingi kami tur menjelaskan bahwa itu adalah penjara dan termasuk yang tidak boleh diambil gambarnya.  Maklum turis he...he...
 
 
Petugas memberi tanda agar aku berhenti memotret

Suasana di dekat dermaga
Dermaga pulau

Rumah-rumah di depan dermaga

Peserta tur diberi kesempatan menaiki kereta kuda yang maksimal diisi oleh 4 penumpang.  Aku kebagian dengan sepasang turis Perancis yang sudah kakek nenek.  Kereta kuda itu membawa kami mengelilingi pulau.  Entah karena masih terlalu pagi atau memang jumlah penduduknya yang sedikit, aku jarang melihat orang lalu lalang di jalan yang lebarnya sekitar 6 meter ini.  Sepi.  Hanya beberapa orang yang terlihat dan kebanyakan di dekat dermaga.  Setelah puas keliling pulau dengan kereta kuda, kami diberi kesempatan selama 1 jam untuk jalan-jalan sendiri di pulau.  Ini kesempatan untuk mengabadikan hal-hal yang menarik di pulau Heybeli.


Kereta kuda yang siap mengantar keliling pulau
Tugu penanda

Masyarakat berbaur

Ramai saat liburan musim panas
Selanjutnya kapal membawa kami ke pulau yang lebih besar dan yang paling ramai dikunjungi turis domestik maupun internasional yaitu Pulau Buyukada.  Disamping luas areanya, pulau ini dikenal dengan restaurant atau cafĂ© di sepanjang dermaga yang menyajikan berbagai macam makanan.  Kalau kalian penggemar sea food, disinilah tempatnya.  Aku sempat melihat di terminal pelabuhan ratusan orang baru turun dari kapal.  Sepertinya pulau ini memang menjadi tempat favorit bagi semua orang.  Disini juga banyak kita temui toko-toko yang menjual cinderamata.  Namun ironisnya, hanya di area dekat dermaga atau pelabuhan yang ramai.  Semakin kita ke dalam ke lokasi pemukiman, area ini sama seperti pulau yang sebelumnya, sepi tidak banyak kita temui orang di luar.
 

Sudut pulau yang sangat ramai

Batas pusat keramaian

Area pemukiman yang sepi
Rumah yang unik

Patung seorang pejuang Turki

Pengantin lokal

Patung putri duyung

Berbekal peta gratis yang tersedia di hotel tentang kota Istanbul, aku menelusuri satu per satu tempat-tempat wisata di hari terakhir sebelum meninggalkan Turki.  Sasaran utamaku Blue Mosque yang terkenal itu.  Banyak wajah-wajah bule turis asing yang melakukan hal yang sama sepertiku.  Mereka lebih suka jalan kaki menikmati pemandangan kota, apalagi saat itu matahari bersinar terang, suhu udara juga tidak panas untuk ukuran kita orang Asia.  Sekitar 20 menit akhirnya aku tiba di bagian belakang masjid.  Tepatnya ada tugu mirip monas dan taman besar tapi tidak rimbun oleh tanaman sehingga lebih terlihat seperti jalan.  Setelah puas mengambil foto, aku masuk ke dalam masjid yang ternyata membolehkan orang asing non muslim masuk, tapi dengan ketentuan tidak boleh pake pakaian yang terbuka atau seronok.  Yang pria tidak boleh pake celana pendek kelihatan dengkul atau pahanya, sedangkan perempuan harus menggunakan scraf untuk menutupi rambutnya.  Di dalam masjid masih ada aturannya.  Area yang dibatasi dengan partisi kayu pendek tidak boleh dimasuki dan semua pengunjung harus meredam suaranya alias tidak boleh berisik.  Kata teman Turki-ku, Masjid Sultan Ahmed atau blue mosque yang dibangun tahun 1609 ini dulu mempunyai ornament yang berbentuk binatang, tapi sekarang tidak ada satu pun ornament di dalam masjid yang menyerupai bentuk binatang atau manusia.  Lukisan di atap masjid lebih mirip tanaman atau bunga yang didominasi warna biru. 
 
Tugu 'monas' ukuran kecil

Memasuki area Blue Mosque
Megah dan bersejarah

Bagian dalam masjid-1

Bagian dalam masjid-2

Bagian dalam masjid-3

Dari Blue Mosque aku melanjutkan perjalanan ke Hagia Sophia yang berada di seberang atau berhadap-hadapan dengan dengan Masjid Sultan Ahmed.  Ternyata di depan taman yang memisahkan dua bangunan bersejarah ini sedang ada pertunjukkan musik dan tari khas Turki.  Sepertinya pertunjukkan ini sedang direkam oleh sebuah stasiun televisi karena terlihat begitu banyak kamera, microphone dalam ukuran besar dan sutradara yang beberapa kali menyuruh si pemain musik mengulangi gerakannya. 

Hagia Sophia yang terkenal itu

Titik 0 kota Istanbul
Live show di depan Hagia Sophia

Padat penonton

Mengambil foto disela-sela 'break'

Dari Hagia Sophia, aku masih dengan berjalan kaki menuju ke Yerebatan Sarnici yaitu tempat penampungan air bawah tanah di jaman kuno dulu yang menyimpan sejarah dan sangat terkenal karena disanalah kita dapat melihat patung kepala ratu jahat berambut ular atau Medusa.  Simbol matanya yang dulu membuat siapa pun yang menatapnya akan menjadi batu, dijadikan cinderamata dalam aneka bentuk seperti gantungan kunci, tempelan kulkas (magnet) dan lain-lain.  Tapi di dalam tunnel ini kepala Medusa sengaja dibalik karena konon untuk menghilangkan kekuatan sihirnya yang jahat itu sehingga aman bagi siapapun yang melihatnya.
 

Kepala Medusa bagian depan

Kepala Medusa sisi kiri

Tempat tunnel di bawah tanah dan patung Medusa

Setelah puas melihat tunnel bawah tanah, aku bergegas pergi ke istana Topkapi.  Di tempat ini kita dapat melihat peninggalan barang-barang berharga kerajaan Turki.  Istana ini sangat luas terdiri dari bangunan-bangunan yang dijadikan tempat penyimpanan barang-barang bersejarah mulai dari alat dapur, perhiasan, baju-baju perang sampai dengan senjata yang digunakan dalam perperangan.  Namun sayang sekali, hampir semua tempat penyimpanan melarang pengunjung memotret. Jadi aku hanya memotret sisi luar gedung yang tidak kalah menariknya. Dari tempat ini kita pun bisa melihat keindahan kota Istanbul dengan selat Bosphorus-nya.

Topkapi-1

Topkapi-2

Topkapi-3

Topkapi-4

Topkapi-5

Tidak lengkap rasanya kalau kita ke Turki belum berkunjung ke Grand Bazaar, pasar tradisionil yang sangat terkenal di Turki. Pasar ini sangat luas, konon ada lebih dari 500 toko. Makanya kita harus hati-hati dan selalu mengingat jalur-jalur khususnya yang menuju pintu keluar.  Disinilah tempat yang tepat untuk membeli souvenir atau oleh-oleh dari Turki.  Tapi seperti biasa di pasar-pasar tradisional, disini kita harus pandai menawar barang.  Penjual cenderung memulai dengan harga 100 persen lebih tinggi.  Jadi jangan ragu-ragu pasang harga, kalau ga cocok, pergi saja. 

 
Grand Bazaar-1

Grand Bazaar-2

Itulah sekilas perjalanan 3 hari 2 malamku di Istanbul.  Memang sih ga puas, tapi aku perlu bersyukur masih diberi kesempatan menjejakkan kaki ke negara ini dan memaksimalkan waktu yang sedikit itu untuk menelusuri kota Istanbul.  Akhirnya, Turkish Airline membawaku kembali ke Jakarta.