Sabtu, 31 Oktober 2015

Lara Djonggrang, Perpaduan Romantis dan Mistis

Tidak terasa sudah setahun lebih aku tidak berkunjung ke restaurant yang sangat terkenal di kawasan elite Menteng ini, tepatnya di Jalan Teuku Cik Ditiro.  Tidak sulit menemukan restaurant ini, cukup cari pohon beringin besar yang dari jarak 100 meter sudah kelihatan, lalu papan nama yang sangat menyolok dengan warna merah berani dan tulisan 'Lara Djonggrang'.  Dulu lumayan sering aku datang kesini khususnya kalau ada keluarga, teman atau rekan bisnis dari luar negeri.  Semua mengatakan hal yang sama bahwa restaurant ini sangat berkesan bagi mereka.  Mungkin kalau bagi kita orang Indonesia, patung-patung candi, lukisan atau kesenian tradisional bisa jadi tidak asing bagi kita atau terkesan biasa-biasa saja, tapi bagi orang asing, hal itu sangat menarik dan unik.  Decak kagum mereka tiada henti menelusuri satu per satu detail ornament dan hasil karya yang dipajang di dinding atau yang diletakkan di dalam ruangan.  Jangan heran, mereka berfoto ria alias narsis sama seperti kita kalau sedang berpergian keluar negeri dan ketemu hal-hal yang unik yang tidak ada di negara kita.  Artinya, kita dan mereka sama-sama norak.
 
Fasad depan terlihat sederhana tapi unik
Pohon beringin penanda restaurant
 
Turun dari mobil di tempat parkir tepat di depan restaurant yang sangat terbatas itu, aku sengaja berhenti untuk menikmati keindahan karya seni yang diletakkan di area depan restaurant.  Beberapa patung menyambut kehadiran tamu dan langsung menyiratkan atmosfer yang berbeda.  Orang memang berbeda-beda pendapatnya bila bicara tentang karya seni berupa patung atau lukisan manusia.  Sebagian mengagumi karena menganggap itu sebuah maha karya yang sulit dan hanya orang-orang yang punya skill dan cita rasa seni yang tinggi yang bisa membuatnya.  Tapi terkadang ada juga yang malah takut karena terfikir hal-hal yang bersifat magic atau mistis.  Aku lebih cenderung mengagumi sebuah karya seni.  Saking kagumnya dan mencoba mengingat-ingat kembali setahun yang lalu saat berkunjung di restaurant ini, sampai ga sadar kalau bapak security itu dari tadi membuka pintu dan mempersilakan aku masuk.  Ternyata dia menjalankan tugas ganda selain sebagai petugas pengamanan dan pengatur parkir, dia juga berperan sebagai penyambut tamu dan membukakan pintu restaurant.  Kerja totalitas dan strategi jitu untuk memberikan kesan pertama yang baik bagi pengunjung.
 
Karya seni di depan pintu utama
 
Memasuki pintu utama, kita akan dibawa ke ruangan China blue.  Memang aksen Pecinan terasa di ruangan ini seperti patung-patung oriental, lukisan dan pernik-pernik negeri tirai bambu.  Yang aku suka dari ruangan ini, meskipun tujuannya untuk menampilkan atau mengangkat budaya Cina, tapi tidak ramai dihiasi dengan lampion atau barongsai seperti restaurant Chinese food kebanyakan.  Disini lebih berkelas dan mudah dipahami temanya.
 
That's the 'Blue' name coming from

Elegan dan super formal
 
Puas melihat-lihat dan mengabadikan ruangan China blue, aku beralih ke ruangan Malang.  Sekilas ruangan ini tidak jauh temanya dengan China blue, meskipun kata pelayan, ruangan Malang adalah untuk mengenang hotel Tugu yang berdiri di kota Malang Jawa Timur yang merupakan sejarah dari restaurant Lara Djonggrang. Unsur-unsur oriental sangat terasa di ruangan ini.
 
Oriental banget kan?
Merah mendominasi ruangan ini

Menyeberang dari ruangan Malang, aku menuju ke ruangan Soekarno.  Dari namanya pasti kita orang Indonesia tahu siapa yang dimaksud dengan Soekarno.  Dialah Presiden Republik Indonesia yang pertama atau dikenal juga sebagai bapak Proklamator negara ini.  Mungkin pemilik restaurant sangat mengidolakan tokoh bangsa yang satu ini, sehingga ruangan ini terkesan seperti kamar khusus Soekarno.  Foto besar dan beberapa foto dalam ukuran kecil Soekarno mendominasi ruangan.  Tapi aku lebih sering mengatakan ke teman-teman asingku kalau ini ruangan nasionalis karena lebih mirip ruangan kenegaraan dengan diletakkannya burung garuda berukuran lumayan besar di dinding atas ruangan dan bendera merah putih juga dalam ukuran besar.  Boleh-boleh saja kan kita pengunjung punya impresi yang berbeda?
 
Lihat foto siapa itu di dinding?

Kayak di istana negara kan?
 
Perut sudah mulai memberi tanda kalau aku harus segera peduli dengannya.  Pelayan yang sudah mengetahui kedatanganku dengan ramah mengarahkan aku ke ruangan Bali.  Sebenarnya aku ingin makan siang di ruangan utama yaitu ruangan Djonggrang, tapi karena kata pelayan, AC di ruangan itu sedang bermasalah, maka aku putuskan tetap di ruangan Bali.  Tidak sekadar nama, ruangan Bali benar-benar membawa kita mengenal sedikit tentang hasil karya Bali seperti lukisan, seni pahat dan pernik-pernik budaya Bali.  Memang tidak utuh kita dibawa ke alam Bali karena ruangan ini yang berukuran kecil, hanya satu meja dengan delapan kursi.  Namun bisa kukatakan bahwa si pemilik cukup berhasil mendiskripsikan tema Bali bagi ruangan ini. 
 
 
Pintu masuk ruangan Bali

Ornamen Bali di bagian tengah depan pintu

Khas Bali dengan patung, payung dan lukisan
 
Di atas meja sudah diletakkan masing-masing piring bagi 8 orang.  Setiap piring disampingnya diletakkan 2 gelas Kristal, satu untuk air putih, satu lagi untuk wine.  Yang unik adalah piring gaya keraton Jawa dan sendok garpunya yang terbuat dari kuningan.  Kita sepertinya sedang dibawa ke jaman kerajaan Jawa kuno.  Setelah pesan makanan dan minuman, aku lanjutkan hunting foto restaurant ini untuk mengisi kolom blog-ku, supaya dapat kubagikan dengan para viewers blog-ku.  Rasanya nikmat bisa berbagi pengalaman dengan orang lain.  Semoga bidikan kamera Iphone 6 plus-ku tidak mengecewakan hasilnya.
 
Piring, tatakan, sendok dan garpunya menarik perhatian
 
Keluar dari ruangan Bali, aku langsung masuk ke ruangan Siam yang bernafas budaya Thailand.  Ada patung kepala Budha ukuran lumayan besar di ruangan ini dan kulihat ada 2 pasangan orang asing yang sedang menikmati makan siangnya sambil sekali-sekali memainkan kamera handphone-nya mengabadikan keunikan ruangan ini. 
 
Ruangan Siam dilihat dari ruangan Bali

Sangat luas terdiri dari 2 bagian

Tanaman ditengah sebagai pembatas

Patung kepala Budha sebagai penanda

Dari ruangan Siam, aku makin ke belakang.  Terdapat space terbuka di bagian tengah gedung ini.  Tata ruang gedung ini sangat bagus.  Area terbuka memang dibutuhkan agar kita tidak bosan dengan area tertutup dan area terbuka berfungsi juga untuk sirkulasi udara agar ruangan tidak pengab, serta dapat juga berfungsi untuk mentransfer sinar matahari dari luar, sehingga ruangan di dalam tidak terlalu gelap plus hemat energy penerangan.  Di area terbuka ini, maksudku di sisi kanan, dibangun taman kecil dengan kolam ikan dibawahnya. Sedangkan di sisi kiri, diletakan satu meja makan dengan kapasitas 4 orang.  Di sebelahnya terdapat toilet yang pintu luarnya berupa gorden kain warna merah.  Jangan khawatir, untuk toilet, maaf bilik buang air besar ada pintu khusus dan terkunci aman bagi pemakainya.  Area terbuka ini sekaligus sebagai pembatas antara smoking area dengan non-smoking area. 
 
Taman tengah ruangan mempercantik suasana
Pajangan karya seni di area terbuka
 
Melintasi jembatan kecil di atas kolam ikan, kita akan bertemu dengan ruangan Pasar Trowulan.  Masih dengan konsep terbuka, di ruangan ini kita akan dapat melihat koleksi benda-benda seni si pemilik restaurant.  Ada yang ditempatkan dalam rak-rak terbuka, ada juga yang di dalam lemari kaca.  Jalan sekian meter ke arah pintu keluar, kita akan bertemu dengan ruangan utama restaurant ini. 
 
Koleksi karya seni di ruangan Pasar Trowulan

Koleksi pemilik yang mengagumka pengunjung
 
Lorong di ruangan Pasar Triwulan

Area dekat pintu masuk ruangan Djonggrang
 
Ruangan Djonggrang adalah masterpiece restaurant ini.  Tanpa perlu bertanya mengapa bernama Djonggrang, saat masuk ruangan ini dan menoleh ke kiri, kita akan disambut dengan patung besar Lara Djonggrang yang terkenal itu.  Meskipun diletakkan di sudut tengah, tapi aku merasakan seolah-olah patung itu berada dekat di sebelahku.  Tamu-tamu asingku paling suka ruangan ini.  Macam-macam komentarnya, kebanyakan mereka mengatakan sakral dan merasakan hawa mistis di ruangan ini.  So far, semua dalam arti yang positif lho.
 
Ruangan masterpiece atau yang utama restaurant ini

Patung besar Lara Djonggrang

Sudut kanan ruangan dengan patung Budha
 
Kembali ke area terbuka, sebenarnya ada satu ruangan lagi yaitu ruangan Bihzad.  Dari namanya memang berbau timur tengah.  Ya, di dalam ruangan ini ornament Timur Tengah terlihat dengan lukisan dinding dan pernik-pernik ruangannya.  Bantal-bantal khas timur tengah cukup mengkonfirmasi tema ruangan ini, namun justru di ruangan inilah kita bisa menikmati dengan leluasa atau pesan wine atau minuman berakhohol langsung dari bar yang ada di dalam.  Kalau lagi rame-rame sama temen yang jumlahnya mencapai 10 orang, aku sering book ruangan ini.
 
Ruangan Bihzad yang lebih romantis

Bar dengan berbagai minuman

Sisi kanan ruangan Bihzad

Cocok untuk acara kumpul-kumpul dengan keluarga atau teman

Serasa kita di Timur Tengah
 
Bicara restaurant identik dengan makanan.  Impresi sebagus apapun pengunjung terhadap pelayanan dan suasana bisa saja langsung hilang bila makanan yang disajikan tidak enak di lidah atau besoknya kita sakit perut dan masuk rumah sakit.  Penilaian langsung jatuh dan pengunjung tidak akan datang lagi ke restaurant itu.  Sadar akan fungsi dari restaurant, di Lara Djonggrang, kebersihan dan rasa makanannya tidak pernah jadi masalah bagiku.  Selanjutnya bagaimana dengan menu makanan?  Setelah kita duduk, kita akan ditawari oleh pelayan sebuah buku menu dengan deretan nama makanan dan minuman yang sering malah membuat kita binggung dan akhirnya bertanya ke pelayan apa menu special atau best seller-nya.  Apalagi di Lara Djonggrang ini, buku menu-nya sangat unik karena ukurannya yang lumayan besar dan berat plus warna merah menyolok khas Lara Djonggrang.  Sepanjang makan di rumah makan ini, aku belum pernah kecewa dengan rasa makanannya.  Begitu juga keluarga dan teman-temanku.  Mau orang kita kek atau bule semuanya belum pernah complain.  Makanya ga heran kalau restaurant ini sering mendapat penghargaan dari institusi dalam negeri maupun internasional. 
 
Ayam bakar khas Lara Djonggrang

Ikan bakar cabe bumbu pindang kluwak

Buku menu yang berukuran besar dan berat

Pasar sate tugu yang multi rasa

Soto buntut goreng khas Lara Djonggrang
 
Ikan bakar cabe bumbu pindang kluwak yang kupesan terasa nikmat.  Daging ikannya sangat lembut, bumbu meresap sempurna dan kuahnya pun terasa enak.  Soto buntut goreng khas Lara Djonggrang pun tidak kalah enaknya.  Dagingnya lembut dan terasa kekuatan racikan bumbunya.  Tidak seperti restaurant kebanyakan yang cenderung hambar dan baru terasa nikmat kalau dimakan bersamaan dengan kuahnya.  Disini setiap sajian memberikan rasa yang saling melengkapi tapi tidak berkurang saat dirasakan masing-masing.  Selanjutnya kucoba juga 'Pasar sate tugu' yang dipesan teman.  Deretan multi rasa sate yang terdiri dari sate lidah sapi, tempe, kambing, ayam, ayam dengan tusuk sate dari batang tebu, ikan, cumi, dan sate udang yang dibakar di dalam batang sereh.  Menikmati sate-sate ini menjadi lebih nikmat dengan 3 macam sambal yang disajikan dalam rumah kerang laut.  Bahkan kalau kita ingin mengambil sambal itu disediakan juga rumah-rumah kerang dalam ukuran kecil sebagai pengganti piring kecil.  Unik kan?
 
Urusan sambal pun mereka peduli dengan penyajiannya
 
Meskipun melewatkan appetizer, untuk dessert aku ga mau ketinggalan.  Dongkal lapis pisang bakar kuah durian sengaja aku pesan untuk melengkapi makan siang kali ini disamping buah-buahan.  3 lapis rasa pisang yang didalamnya berisi parutan kelapa dan gula Jawa merah diletakkan di tengah-tengah mangkok besar yang berisi santan dan durian merendam separuh kue lapis itu.  Kue lapisnya ukurannya sesuai dengan tipikal makanan penutup dan pembuka yaitu sekali gigit langsung ludes.  Kuahnya berasa banget duriannya.  Saking nikmatnya sampai tandas tidak tersisa.  Oiya hampir saja lupa,  temanku juga pesan Bebola oebi gethoek untuk makanan penutup.  Menu ini disajikan elegan bak hidangan hotel bintang 5 dengan fla gula merah dan kelapa muda.  Di atas gethuk bola-bola ini ditaburi kismis untuk menambah kelezatan makanan ini.  Perpaduan rasa yang sempurna antara gurih, manis dan asam.
 
Buah-buahan segar

Dongkal lapis pisang bakar kuah durian

Bebola oebi gethoek fla gula merah dan kelapa muda
 
Soal harga, menurutku cukup worth it.  Sepadan dengan rasa, kenyamanan dan pelayanan yang diberikan.  Tergantung juga dengan menu yang kita pesan.  Di bawah ini sekadar cuplikan harga yang tertera dalam menu.
 
Menu dan harga makanan penutup
 
Suasana makan di Lara Djonggrang meskipun di siang hari, beberapa ruangan didisain dengan lampu yang tidak terlalu terang, sehingga terkesan romantis atau cocok juga menjadi tempat kencan. Semua kembali lagi ke tujuan pengunjungnya masing-masing.  Yang pasti, sampai sekarang restaurant Lara Djonggrang masih menjadi pilihanku bila kedatangan temen-temen asing atau untuk lobby bisnis mitra asingku.  Satu yang memang masih menjadi keluhan pengunjung yaitu tempat parkir mobil yang terbatas.  So, kalau ingin bawa keluarga besar atau teman dalam jumlah besar, sebaiknya booking tempat dulu dan jangan bawa mobil masing-masing biar ga sulit cari tempat parkir.



 

Kamis, 15 Oktober 2015

New Zealand, Keindahan Alam Yang Luar Biasa

Ini negara yang ke-36  setelah Oman dalam catatan perjalananku sampai dengan detik ini.  Masih kurang, targetku 100 negara.  Syukur-syukur aku diberi umur panjang sehingga bisa mewujudkan mimpi dan harapanku.  New Zealand akhir-akhir ini makin dibicarakan orang karena kelebihan yang dimiliki negara ini.  Yang paling menarik adalah keindahan alamnya yang sering diperlihatkan dalam beberapa film box office seperti Lord of the Ring, Hobbit atau TV series seperti Spartacus kesukaanku.  Disamping itu, produk-produk makanan dari bahan susu, coklat, daging dan madu juga lumayan ngetop di dunia.  Tak ayal kalau Pemerintah NZ begitu gencar promosi wisata negaranya melalui kerjasama dengan para pembuat film seperti Peter Jackson.  Dan ga heran kalau aku jadi pengin ngelihat langsung seperti apa itu NZ.
 
Ucapan selamat dating di tempat parker bandara Auckland

Seperti biasa, aku lebih suka terbang langsung dari Jakarta ke negara yang aku tuju dengan flag carrier atau airline kebanggaan negara itu, tapi sayangnya belum ada penerbangan langsung ke NZ.  Terpaksa aku naik Singapore Airlines yang berangkat siang dari Bandara Soekarno-Hatta.  Hari Rabu tanggal 14 Oktober 2015 tepat Tahun Baru Islam, pesawat Boeing 777 seri 300 nomor penerbangan SQ959 jam 15.10 take off terlambat 1 jam karena alasan teknis, dari Bandara Soekarno-Hatta membawaku ke Bandara Changi Singapura.  Setelah ngurus voucher belanja senilai 40 dollar Singapore di Terminal 3 kedatangan Changi, aku melanjutkan penerbangan ke Sydney Australia dengan SQ221 yang lagi-lagi terlambat, meski hanya sekitar 30 menit.  Kata orang, Singapore Airlines sedang diaudit, tapi kenapa pelayanannya jadi terganggu? Harusnya lebih baik kan?

Rehat sebentar di main hall bandara Sydney

Aku terbang ke Sydney karena ingin melanjutkan terbang menggunakan airlines local atau airline-nya New Zealand.  Ada sih penerbangan dari Singapore ke Auckland direct, tapi aku jadi ga pernah ngerasain pake pesawat NZ dong?  Penerbanganku ke Sydney menggunakan Airbus 380 seri 800 , sama seperti saat aku mencoba pertama kalinya A380 dari Brisbane ke Changi.  Itu bertepatan dengan 2 harinya penerbangan A380 di dunia dan Singapore Airline sebagai perusahaan penerbangan pertama yang menggunakan A380.  Mendarat di Sydney International Airport sekitar jam 7.30 pagi waktu Australia.  Setelah lolos pengecekan di transit area, aku bergegas menuju gate 54 untuk melanjutkan penerbangan dari Sydney ke Auckland New Zealand menggunakan pesawat Boeing 767 seri 300 Air New Zealand, nomor penerbangan NZ102. 
 
Tau ga kenapa aku pengin naik Air New Zealand?  Disamping tujuannya ke NZ dan sesuai kebiasaanku dalam traveling, aku ingin membuktikan atau melihat langsung pelayanan di udara Air New Zealand yang katanya unik itu, khususnya video peragaan keselamatan penerbangan yang lazimnya dilakukan oleh para pramugari atau pramugara.  Dan benar, aku dibuat tersenyum dan kagum saat 2 pramugara NZ yang berdiri tegak di lorong kabin pesawat dengan tangan dibelakang badan saat penumpang sedang asyik melihat video peragaan keselamatan penerbangan. Mayoritas penumpang tersenyum, ada juga yang mengacungkan jempol tanda apresiasi atas inovasi yang dibuat NZ yang dibalas dengan senyum oleh pramugara itu.  Video itu super menarik dan tidak membosankan karena disampaikan dengan nyanyian bergaya rapper dan tarian yang attractive, tanpa menghilangkan esensi dari message yang disampaikan.  Cek aja di youtube!
 
Ada yang berbeda di New Zealand saat kita berada di bandara untuk memasuki negara ini.  Hampir di semua negara yang aku kunjungi, counter Imigrasi yang sering menjadi momok bagi siapa pun yang ingin memasuki suatu Negara asing karena mereka sering dibuat dongkol dengan petugas imigrasi yang reseh, belagu atau arogan.  Sering di depan counter imigrasi terlihat antrian panjang yang tidak lain karena petugas Imigrasi yang super ketat memeriksa kredibilitas penumpang yang datang. Bila lolos pemeriksaan Imigrasi, kita baru bisa mengambil bagasi dan siap untuk pemeriksaan berikutnya yaitu Bea cukai.  Ini dia yang berbeda.  Di check point ini cenderung tidak panjang antriannya, tapi di NZ justru disinilah antriannya super panjang!  Sebelum berangkat aku dapat informasi dari teman yang pernah kesana agar hati-hati bawa makanan apapun kalau mau ke NZ karena negara ini sangat melindungi produk-produk makanannya yang didominasi oleh bahan baku coklat, susu, madu dan daging sapi/domba.  Bagiku sih sah-sah saja setiap negara memberlakukan aturan main untuk melindungi negaranya atau produk-produk andalannya.

Apa yang terjadi saat aku berada dalam antrian panjang di depan counter Bea cukai?  Kulihat banyak berserakan makanan dan minuman kemasan yang masih utuh di atas lantai.  Orang-orang sepertinya jadi khawatir dan menempuh cara aman biar bisa masuk NZ dengan meninggalkan barang-barang berisiko itu.  Kalau ku perhatikan form isian dari pihak Bea cukai, sepertinya tidak ada yang istimewa, mirip dengan form di negara kita.  Pikirku, sepanjang kita tidak macam-macam, siap menjawab pertanyaan-pertanyaan dari petugas bea cukai dengan jujur dan tidak melakukan tindakan atau perilaku yang menimbulkan kecurigaan bagi petugas, harusnya kita nyantai aja.  Namun saat aku sudah berada di barisan terdepan antrian, jantungku sempet berdebar juga melihat seorang ibu dan anak gadisnya dimarahin oleh petugas karena tidak jujur menjawab pertanyaan petugas dan akhirnya petugas menyuruh mereka berdua membawa bagasinya ke ruangan pemeriksaan khusus.  Sempat hampir aku mau pindah counter, tapi show must go on, kondisi berubah 180 derajat.  Justru petugas yang marah-marah tadi berubah jadi ramah dan hanya menanyakan apakah aku bawa makanan? Dengan tegas kujawab,"Yes, I bring some candies in my bag, you want to see it?".  Petugas itu tersenyum sambil mengambil form yang sudah aku isi dan memberikan tanda seakan aku lolos pemeriksaan lalu mempersilakan aku menuju mesin x-ray bagasi.  Anjing-anjing pelacak dan polisi kulihat masih mondar-mandir mengikuti langkah para anjing yang sudah sangat terlatih mengendus bagasi.  Ada penumpang yang sangat ketakutan saat anjing itu mengendus saku celananya dan anjing itu ternyata langsung merangkul kaki orang itu, melepaskannya dan menggonggong.  Spontan petugas memeriksa orang itu dengan memaksanya untuk mengeluarkan isi saku celananya.  Aku ga sempet melihat apa itu isi saku celananya karena ga mau cari masalah dengan petugas yang lain dan buru-buru meninggalkan bandara.

Mendarat di Auckland sudah lumayan sore dan terjebak macet keluar bandara menuju kota yang berjarak sekitar 8 km karena bertepatan dengan jam pulang kantor.  Setelah muter-muter kota sebentar, aku makan malam di Grand Park restaurant yang lumayan ngetop di Auckland dalam hal Chinese food.  Sengaja aku pilih restaurant yang dekat dengan hotel tempat aku nginap.  Nama hotel itu Heartland tepatnya di 14 Airpark Dr, Mangere Auckland berlokasi sangat dekat dengan airport yang kebetulan aku besoknya mau explore dulu bagian Selatan NZ.  Aku sudah beli tiket penerbangan domestic dari Auckland ke Christchurch.  Tampilan fasad Heartland hotel sangat sederhana seperti tempat penginapan, tapi lobby sangat luas dengan disain yang apik terpusat di lobby yang bersebelahan dengan ruang makan, meeting room dan berhadapan dengan café hotel.  Tarifnya relative murah berkisar 35 s.d 55 dollar NZ per malam.  Wifi gratis di semua area hotel termasuk kamar.  Kita tinggal login dengan username nomor kamar dan nama kita.  Petugas hotel cukup ramah dan sorry aku ga bisa ngasi info tentang pelayanan sarapan pagi karena aku ga sempat makan pagi.

Ini stop kontak di NZ yang susah nyarinya di Indonesia

Bagian dalam kamar mandi
Shower dengan pengatur deras air diujung bath-up

Tempat tidur yang sedang kupakai

Jam 6 pagi, aku sudah harus check-out hotel menuju bandara.  Pesawatku Boing 767 seri 300 JetStar terbang jam 8.30 pagi ke Christchurch, so jadinya aku sarapan di airport.
 
15' sebelum keberangkatan aku sudah ada di gate 21
Untungnya pesawatku on schedule dan mendarat di Bandara Christchurch yang bersih, tertata rapi dan menarik meskipun sangat kecil kalau dibandingkan Soekarno-Hatta.  Ada yang menarik dari bandara Christchurch yaitu pada area pengambilan bagasi ditempatkan bukit dengan ujungnya yang bersalju sebagai icon Christchurch yang memang terkenal dengan gunung-gunung bersaljunya.  Orang bilang salju abadi.  Di Christchurch atau biasa disebut The most English city outside England, banyak sekali yang ingin kukunjungi seperti Avon river yang kayak Venisia, Botanic Garden yang tidak hanya menarik dengan bunga-bunganya di musim semi dan musim panas, tapi ada Museum Canterbury yang dibangun pada tahun 1870.  Dan yang pasti, aku harus berkunjung ke Lake Tekapo dengan panoramanya yang indah sekaligus melihat church of the Good Shepherd, gereja tua yang lebih tepat dikatakan sebagai chapel karena ukurannya yang kecil. Jangan salah, gereja ini sering menjadi pemotretan pre-wed dan beberapa film banyak mengambil lokasi di gereja ini.
 
Area pengambilan bagasi yang unik
Anjing si pengembala dekat chapel
Church of the good shepherd

Botanical garden-1
Museum Catenbury di Botanical garden

Botanical Garden-2
 
Museum tampak samping

Cakep kan danau Pukaki?

Patung domba yang ngetop itu
Disinilah dijual shasimi salmon segar

Kalau ke Mt Cook harus nyoba Salmon ini

Super segar karena diambil langsung dari tempat penangkarannya

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Queenstown, aku putuskan bermalam di Twizel, kota dengan alam pedesaannya yang indah dan sangat dekat bila kita ingin hiking ke Mountain Cook yang terkenal itu.  Hotel yang kupilih namanya Mackenzie Country Inn di Corner of Ostler & Wairepo streets, 2 Wairepo road.  Tarifnya per malam berkisar 45 s.d 60 dollar NZ.  Hotelnya bersih, luas dan lega.  Kamar tidur dilengkapi dengan tv flat, lemari pakaian, 1 set sofa untuk tamu, di balcony ada kursi untuk nyantai atau berjemur.  Di dalam lemari pakaian terdapat strika dan mejanya plus mini bar dan teko pemanas.  Oiya air semuanya bisa langsung diminum dari kran, tapi kalau ga biasa, ya silakan saja memasak air atau beli air mineral yang jauh banget tempatnya.  Kamar mandi minimalis dengan bath-up dan peralatan yang standard NZ yaitu, sabun (cair dan gel), shampoo dan hand & body lotion.  Sikat dan pasta gigi bawa sendiri ya.  Handuk lengkap termasuk untuk muka.  Tempat makan pagi sangat luas dengan menu yang western khas NZ seperti daging asap babi, sosis ayam, sosis sapi, susu dan kue-kue untuk dessert.  Oiya di hotel ini kita boleh ikut acara all you can eat untuk dinner.  Mau makan steak sapi, kambing atau babi sekenyang-kenyangnya silakan. Selain steak, menu lainnya enak banget.  Aku paling suka sup buahnya yang super menyegarkan dan fudge coklatnya hmm.....pengin nambah dan nambah lagi. Bakery-nya top banget deh hotel ini.  Sayangnya wifi kudu bayar.  5 dolar per 24 jam dan kecepatannya menyebalkan.  Hotel ini juga markas klub Rugby All black, terlihat di setiap sisi ruangannya banyak ditempatkan banner-banner All Black.

Resepsionis Mackenzie Country Inn
Pintu masuk, cocok untuk tempat narsis

Right wing yang luas

Fasad depan
Bar (antara resepsionis & ruang makan) sekaligus ruang nonton bareng

Restaurant sekaligus ruang makan

Bar dan TV layar lebarnya

All Black banners

Lobby depan resepsionis
Kamar tidur yang super luas dan lengkap

Meja kerja, sofa dan TV layar lebar

Sebaliknya, kamar mandi minimalis

Bath-up sekaligus shower

Keinginan untuk menjamah salju terpenuhi.  Aku menyempatkan diri ke Heliworks, perusahaan chopper komersial di Bandara Queenstown yang bisa membawa kita keliling-keliling bukit salju.  Cukup bayar 315 dollar NZ, kita bisa terbang 35 menit pulang pergi plus mendarat di puncak gunung salju dan berfoto ria selama 15 menit.  Untung sekali, cuaca sangat mendukung sehingga dalam perjalanan di udara dengan capten Dave Butson selamat, meski dia sedikit berakrobatik dan tes nyaliku.  Sebenarnya aku juga pengin ikut extreme sport bungy jumping di AJ Hackett bridge, tapi kulihat jembatannya tinggi banget dan bawahnya jurang, spontan kuurungkan niatku.  Perasaan ga enak banget!!!

Pilot Dave Butson yang jago dan ramah

Detik-detik menjelang mendarat di puncak salju

Selamat dan waktunya berfoto ria





Kita cari yang aman-aman saja lah.  Akhirnya aku pergi ke Arrowtown, kota tua bekas tempat penambangan emas.  Tempatnya mirip Balarat di Australia, tapi lebih modern karena jalannya diaspal dan mobil-mobil boleh masuk.  Terus terang aku lebih suka di Balarat, lebih pure seperti kota tua.  Jalannya masih tanah, yang boleh masuk hanya kereta-kereta kuda, bahkan orang-orangnya sengaja pake kostum jaman dulu mirip kampung cowboy. 

Arrowtown dengan latar belakang gunung yang indah

Meski tidak terlalu padat tapi produk yang dijual bagus-bagus

Makan siang dulu di Heritage

Restaurant yang terkenal dengan barbeque-nya

Steak domba dan sapi medium rare hmm.........
Chef Eduardo dari Italy siap melayani makan siang

Lord of the Ring, Hobbit dan Spartacus terang-terangan meng-ekspos keindahan alam NZ.  Tempat yang menjadi favorit para film maker adalah Queenstown karena disini kaya sekali dengan bentuk alamnya mulai dari bukit-bukit hijau, bukit bersalju, jurang, air terjun, sungai, sabana, sampai dengan anjing laut dan tebing-tebing bak ukiran cantik hasil pahatan alam yang luar biasa.  Sepanjang jalan menuju Milford sound yang terkenal itu, tidak henti-hentinya aku mengabadikan keindahan alam NZ.  Perjalanan pulang pergi 10 jam tidak terasa membosankan karena kita sepanjang jalan kita disajikan berbagai macam bentuk kebesaran ciptaanNya.  Amazing!!
Karena saking banyaknya tempat yang harus dikunjungi di Queenstown, kuputuskan untuk 2 malam menginap di Copthorne hotel & resort yang bersebelahan dengan Lakefront.

Keindahan alam menuju Milford
Mampir ke Lake Mirror
Cruise yang siap mengajakku tour Milford sound
Milford sound tour-1

Milford sound tour-2

Milford sound tour-3

Hotel Copthorne unik dan luas sekali.  Ruang lobby plus resepsionis berada di level 5, tapi kamarku ada di level 3, so aku harus turun via lift kalau mau ke kamar.  Karena sedang renovasi di beberapa bagian khususnya menyambungkan ke seluruh lantai, kamarku jadi terasa jauh.  Pengin sih pindah, tapi kata manager hotel, semua kamar sudah full booked.  Setelah melihat lokasi kamar yang menghadap langsung danau yang indah itu, akhirnya kuurungkan niatku untuk pindah kamar ataupun pindah hotel.  Ruang kamar hotel cukup luas dengan ranjang dan sofa, TV layar lebar, lemari pakaian dengan strika dan papannya, mini bar, meja kerja dengan fasilitas internet plus wifi yang super cepat meskipun kita harus bayar 5 dollar untuk pemakaian 24 jam maksimal untuk 3 devices.   Kamar mandi minimalis dengan bath-up, handuk lengkap dan toiletries standard NZ.  Ingat ya, tidak ada sikat gigi, korek kuping dan shaver.  Ruang makan sangat luas dengan menu full western gaya NZ seperti sosis, bacon, scramble egg, bakery dan buah-buah segar.  Pie coklatnya hmm......lezat banget!! Hotel ini dekat dengan pusat kota, so kalau mau cari makan gampang saja tinggal jalan 5 menit nyampe!  Jangan heran, ini kota kecil.  Tidak ada gedung pencakar langit, bahkan mall yang mereka punya tidak lebih seperti supermarket di Jakarta.  Untuk cari souvenir murah, datang saja ke Koha, nama toko yang menjual barang untuk oleh-oleh berlokasi di sebelah mall atau di seberang Thai restaurant, Tham Nak.

Ruang lobby atas
View belakang hotel menghadap Lake Front

Banyak kamar dan seringnya full booked

Ruang resepsionis dan lobby bawah

Tampak depan
Kamar tidur yang lega dan lengkap
Sempetin ke fruit stall yang banyak terdapat jalan pedesaan di NZ

Murah-murah (dibandingkan Indonesia) dan segar buahnya

Perjalanan berikutnya adalah menuju Dunedin karena disana ada tempat kesukaanku, pabrik coklat Cadbury yang menawarkan tour di area pabrik.  Disamping itu ada beberapa bangunan bersejarah yang harus aku lihat juga seperti stasiun kereta api, octagon square, Baldwin street dan gedung-gedung tua di tengah kota Dunedin.  Kalau bisa menyempatkan diri berfoto di Otago University yang ngetop itu.  Yang nyesek di hatiku adalah jalan Baldwin yang panjangnya lebih dari 161 meter itu.  Kalau sekadar jalan yang landai atau tingkat kemiringannya hampir 90 derajat di Indonesia juga ada, aku masih ingat jalan mendaki di kaki gunung Bromo yang bisa dilalui kendaraan roda empat juga. Cuman karena kurang promosi dan kurang perhatian saja, sehingga banyak lokasi-lokasi unik di negeri kita tidak dikenal orang luar atau tidak punya 'nilai jual'.

Inilah jalan Baldwin yang terkenal itu
Akhirnya sempet juga mampir ke Otago University
Salah satu icon Dunedin, stasiun kereta api World Class Train bergaya Victorian

Cukup bayar 20 dollar, aku masuk dalam rombongan tour di Cadbury yang menempati gedung tua dengan 2 silo atau tangki raksasa warna ungu dan putih.  Luar dan dalam gedung pabrik didominasi warna ungu yang merupakan warna kerajaan saat Ratu Elizabeth diangkat menjadi ratu Inggris.  Memang coklat Cadbury berasal dari Inggris, tapi pabrik besarnya ada di New Zealand yang kaya susu sebagai bumbu inti pembuat coklat selain biji kakao itu sendiri.  Sayangnya kita tidak dibolehkan membawa kamera selama tour, so hanya bagian luar atau area publik saja yang bisa aku share dalam blog ini.  Disamping kita diajak mengetahui sejarah Cadbury dan diajari cara membuat coklat, kita juga diberi beberapa produk coklat Cadbury dan merasakan sepuas-puasnya coklat leleh langsung dari mesin.  Christine si pemandu tur Cadbury-ku orangya tegas tapi lucu.  Sering aku dibuat ketawa dengan candanya. Cara menjelaskan pun sangat piawai, pokoknya waktu 1 jam itu tidak terasa bersama dia. Yang paling mengesankan waktu aku dibawa masuk ke silo tempat meramu coklat Cadbury seperti menara pengawas ATC di bandara.  Aku disuruh hati-hati menaiki tangga karena licin penuh coklat.  Benar juga, masuk ke tower itu meskipun agak gelap, terlihat dinding-dinding silo penuh dengan percikan coklat, termasuk pegangan tangganya.  Aroma coklat sangat menyengat, tapi justru aku merasa di surga, namanya juga chocolate addict!  Di tengah-tengah perjalanan, Christine menyuruh aku berhenti dan bersandar ke trail dinding persis di depan 2 bak besi besar yang menggantung di tengah silo.  Satu diatas, satu dibawah yang sepertinya siap menampung tumpahan dari bak atas.  Pada hitungan ke-3 aku disuruh teriak,"We want chocolate!!".  Tepat setelah hitungan ke-3, Christine menekan tombol merah pada panel di dekat dia berdiri dan tiba-tiba mesin berderu dan menumpahkan berton-ton coklat dari bak atas ke bak bawah dan seterusnya sampai jatuh ke bak yang paling bawah.  Itulah cara meramu bahan-bahan pembuat coklat Cadbury.  Akhir tour, aku beli beberapa coklat Cadbury di store dekat pintu keluar yang tidak dijual di Indonesia seperti Moro dan Jaffa.

Pabrik Cadbury tampak depan
Lihat tumpukan coklat di sebelah kiri!

Ini mobil Cadbury th.1919 (kanan) & 1930 (kiri)
Christine yang tegas, cerdas dan lucu
Sebelum pulang, belanja dulu coklat yang ga ada di Indonesia

Capek muterin kota Dunedin, aku mampir sebentar ke restaurant Great Taste yang katanya punya produk salad yang enak, fresh dan bisa sepuasnya kita makan alias all you can eat.  Ternyata tidak hanya salad, kita hanya bayar 15 dollar per orang bebas menyantap semua makanan yang ada di restaurant itu seperti berbagai macam nasi, ayam goreng, sosis, berbagai macam sayuran seperti cap cai, dan berbagai macam buah-buahan.  Tidak hanya itu, kita juga bisa sepuasnya makan cake untuk dessert dan juga ice cream.  Kalau kita ingin menu tambahan seperti steak atau aneka daging bakar, kita tinggal bayar 9 atau 10 dollar tergantung jenis daging yang kita mau.  Di Dunedin aku menginap di Scenic hotel yang berlokasi di 10 Smith St.Dunedin 9016. 

Ranjang dan tv layar lebar siap menyambutku

Minibar dan wifi gratis pun juga siap

Kamar mandi minimalis tapi bersih & lengkap

Pagi-pagi sekali aku harus ke bandara untuk mengejar pesawat ke Auckland.  Aku pilih Air New Zealand karena masih terkesan dengan video peragaan keselamatan yang keren itu.  Dan kenapa kembali ke Auckland, karena aku belum puas dengan kota itu.  Meskipun Auckland kota pertama yang kudatangi di NZ, tapi aku mengawali perjalanan justru ke South Island.  Auckland dan kota-kota wisata yang berada di North Island menjadi pilihan terakhir sebelum balik ke Jakarta.

Setibanya Airbus 320 milik Air New Zealand mendarat di bandara Auckland, aku mampir ke Valentine restaurant untuk makan siang.  Restaurant ini terkenal dengan menu buffet-nya yang murah, enak dan banyak pilihan.  Setelah perut kenyang, aku melanjutkan jalan-jalanku ke Matamata untuk mengunjungi lokasi pembuatan film The Hobbits yang terkenal. 

Peter Jackson memang telah memukau jutaan orang dengan 2 film besarnya, Lord of the ring dan Hobbits.  Di lokasi pembuatan film Hobbits, aku terkagum-kagum dengan detail rumah dan isinya plus lingkungan di sekitar pemukiman yang seolah-olah tidak boleh ada kelihatan cacat sedikitpun.  Penonton dibawa ke alam pertengahan yang penuh fantasi dan benar-benar mehilangkan unsur-unsur yang berbau NZ, meskipun bagi orang yang kenal betul alam NZ pasti dengan mudah tahu kalau itu berlokasi di NZ  Saking detail-nya, sampai-sampai untuk membuat pohon oak-pun, Peter Jackson harus mengimpor daun-daun buatan dari Taiwan.  Sepintas atau seribu pintas pun kita tidak akan tahu kalau pohon-pohon yang berjejer di samping rumah Hobbits adalah pohon buatan.  Kalau kita pegang, baru ketahuan.  Kata Andy, si guide yang membawaku keliling perkampungan Hobbits, ada beberapa hal yang membuat Peter Jackson memilih lokasi itu.  Pertama hamparan rumput, danau dan tekstur perbukitannya menyerupai cerita dalam novel JRR Tolkien.  Kedua, ada pohon oak besar di pinggir danau yang memikat hati Peter Jackson. Ketiga, pemilik Tanah dan peternakan ini punya domba-domba belang kayak Shaun the sheep yang tidak seperti kebanyakan domba-domba NZ yang putih polos.  Dan beberapa alasan-alasan lainya.  Intinya, setelah berkeliling menggunakan helicopter, Peter Jackson merasa sangat cocok dengan lokasi tersebut. 

Rumah Hobbit-1

Rumah Hobbit-2

Kampung Hobbit

Rumah yang popular di film Hobbits, pohonnya buatan lho??
Pohon oak yang memikat hati Peter Jackson

 
Karena hari sudah menjelang sore, dari Matamata aku bergegas menuju Rotorua untuk makan malam sekaligus penginapan.  Aku pilih Millenium hotel yang berlokasi di 1270 Hinemaru Street, Rotorua 3040.  Lokasi hotel ini sangat strategis karena dikelilingi oleh pertokoan khususnya souvenir dan supermarket Pack 'n Save dimana kita bisa belanja kebutuhan camilan khas NZ or made in NZ.  Untuk souvenir aku memilih ke toko Aotea yang memberikan discount 5% bagi pengunjungnya dengan menunjukkan kartu diskon yang bisa didapat di resepsionis hotel.

Lobby hotel sangat luas karena menyatu dengan area bar tempat hang-out tamu hotel.  Kamar tidur minimalis tapi lengkap dengan TV layar lebar, meja kerja, kursi tamu 2 buah, lemari pakaian dengan strika dan mejanya.  Minibar dengan kettle pemanas air.  Kamar mandi lumayan lengkap peralatannya.  Wifi hanya gratis 1 jam pertama.  Selanjutnya kita harus beli 5 dollar untuk pemakaian 24 jam dan maksimal 3 gadget.  Untuk sarapan, kita harus turun 1 level dibawah area lobby.  Lokasinya disamping kolam renang indoor dan menunya lumayan banyak. 

Tempat budaya Maori

Thermal reserve, semburan geyser

Gelembung keluar dari telaga lumpur panas
 
Setelah sarapan, aku pergi ke Te puia, tempat untuk mengenal budaya Maori, penduduk asli NZ, sekaligus mengunjungi Thermal reserve fenomena semburan geyser, bubbling mud pool dan mengetahui cara beternak burung kiwi, binatang symbol NZ.  Dari Te Puia, aku menuju Agrodome untuk melihat pertunjukan pencukuran bulu domba.  Lumayan menghibur pengunjung.  Si pemandu acara dibantu dengan 1 orang perempuan sebagai assistant layaknya pemain sirkus yang dengan cekatan memainkan alat cukurnya membabat habis bulu-bulu domba.  Dia juga berhasil melatih anjing, domba, dan angsa menunjukan atraksi menariknya. 

Beli tiket masuk

Domba mulai dicukur

Setelah dicukur
Pintu masuk Rainbow Spring

Penuh tanaman & binatang yang dilindungi

Air pegunungan yang bisa diminum langsung

Chintia, anak Jakarta yang jadi pemandu

Dari Agrodome, aku pergi ke Rainbow Springs untuk melihat flora dan fauna khas NZ.  Chintia si pemanduku di lokasi wisata itu adalah asli anak Jakarta yang bersuami orang Maori dan telah menetap lama di NZ meskipun masih berwarga negara RI  Disini aku baru tahu kalau di NZ tidak banyak binatang predator seperti harimau, singa, srigala, buaya dan ular.  Bahkan predator seperti possum didatangkan dari Eropa hanya karena saat itu NZ ketiban masalah dengan kelinci yang juga didatangkan dari Eropa berkembang biak sangat cepat dan merusak perkebunan warga.  Alih-alih mengurangi jumlah kelinci, possum dan 2 predator lainnya justru berkembang pesat dan memakan kiwi, binatang kebanggaan NZ yang jumlahnya berkurang sangat dratis atau bisa dikatakan rawan punah.  Makanya sekarang Pemerintah NZ membebaskan warganya berburu hewan-hewan predator dan melarang keras, bahkan memberikan denda sangat besar bila tertangkap membunuh kiwi.
 

Tugu pintu masuk Waitomo
 
Perjalanan berikutnya aku ke Waitomo untuk melihat glow worm caves, gua stalagtit dan stalagmite yang berhiaskan glowing worm yaitu larva ulat yang bersinar di tempat-tempat yang gelap di dalam gua.  Steven si pemandu wisata di Waitomo awalnya terkesan angkuh, tapi setelah kami masuk ke gua dan mendengarkan cerita-ceritanya tentang ulat bersinar, karakter aslinya muncul.  Aku bersama beberapa turis yang bersamaan datang ke tempat itu disuruh nyanyi di depan stalagtit yang menyerupai bentuk Stevie Wonder dengan rambut gimbalnya.  Terang saja tidak ada satu pun yang mau.  Akhirnya Steven lah yang bernyanyi untuk kita.  Masih di dalam gua, kami dibawa keliling gua dengan perahu kecil bermuatan sekitar 20 orang dalam kegelapan dan tidak boleh mengeluarkan suara apapun agar ulat-ulat bersinar yang bergantungan di atap-atap gua tidak terganggu atau malah jatuh menimpa kita.  Bagi yang takut kegelapan atau tidak bisa di tempat-tempat yang pengap, sebaiknya tidak mengunjungi tempat wisata ini. 

Selanjutnya aku pergi ke Auckland untuk makan malam dan bermalam disana sebelum keesokan harinya kembali ke Jakarta.  Aku memilih menginap di Auckland city hotel di 157 Hobson street yang lokasinya sangat strategis karena kita bisa berfoto ria dengan background Skycity tower, icon kota Auckland.  Hotel ini pun dekat dengan Auckland university, radio NZ dan Queens Street yang popular menjadi tempat hang-out warga Auckland.  Lobby hotel sangat minimalis, juga tempat sarapannya.  Waktu masuk kamar, kesan minimalis juga terlihat meskipun ranjangku berukuran lumayan besar dengan lemari pakaian dan meja kerja pun berukuran besar.  Kamar mandi ala shower dengan tersedia tempat duduk lipat, so kita bisa mandi sambil duduk, sayangnya ga ada pembatas antara area shower dengan non-shower.  Jadi kalau mandinya petakilan, air bias nyiprat kemana-mana dan kalau sampai keluar kamar mandi dan membasahi karpet kamar, siap-siap kita kena sangsi denda yang lumayan mahal.  Wifi disini hanya memberikan gratis untuk 30 menit pertama, itupun harus minta voucher di resepsionis supaya dapat password untuk login.  Kalau mau pake 24 jam, hotel mengenakan tariff 10 dollar.  Disamping lokasinya yang strategis, kelebihan hotel ini adalah menu sarapan pagi-nya yang pas untuk orang Asia.  Bubur ayam dan nasi gorengnya enak banget.

Kamar tidur lumayan luas

Meja kerja sekalian meja TV
Lemari pakaian besar di pojok ruangan

Kamar mandi dengan shower gaya duduk
 
Sebelum menuju bandara untuk terbang balik ke Jakarta, aku menyempatkan diri keliling kota Auckland.  Yang pertama pasti harus foto dengan background icon kota Auckland yaitu menara Skycity dan Harbor bridge, jembatan yang mirip di Sydney dekat gedung opera.  Oiya, sekadar info, orang Maori lebih senang menyebut dirinya New Zealander atau orang New Zealand yang asli, sedangkan orang kulit putih atau kaum pendatang lebih sering disebut Kiwi people.


Skycity tower

Harbor bridge