Rabu, 20 Juni 2018

Menelusuri Kota Tua Hoi An di Vietnam

Kalau ke kota Da Nang, jangan lupa mampir ke Hoi An (baca Hoyan).  Meskipun harus menempuh 1 jam perjalanan via darat, Hoi An menjadi tempat wajib dan sering ditawarkan dalam satu paket perjalanan ke Da Nang.  Itulah yang terjadi dengan perjalananku kali ini.  Berkunjung ke Ba Na Hills sekalian mengunjungi Hoi An.  Travel agent lokal menyarankan aku ke Hoi An yang katanya menjadi obyek wisata sangat terkenal karena mempunyai kota tua yang telah diklaim UNESCO sebagai tempat bersejarah dunia.


Bangunan di kota tua

Umurnya sudah ratusan tahun

Jembatan tua di atas anak sungai Thu Bon


Jam 9 pagi kendaraan dan pemandu sudah siap mengantarku pergi.  Berdasarkan itinerary, hari ini aku akan dibawa ke beberapa tempat wisata.  Sebelum ke kota tua Hoi An, aku akan diantar ke Linh Ung Pagoda di Son Tra Peninsula. Katanya kuil dan patung Budha disini cukup unik dan sakral bagi orang Vietnam.  Awalnya aku bertanya dalam hati, bukankah aku sudah sering melihat patung-patung Budha di Thailand dan Sri Langka?  Apalagi aku juga barusan melihat patung Budha berukuran besar di Ba Na Hills, terus apa bedanya dengan yang di Hoi An?  Pikir punya pikir, daripada mikir doang dan tidak tahu jawabannya, lebih baik aku ikuti saja saran guide-ku.


Patung Budha


Dalam perjalanan sebelum sampai di pagoda, kami melewati pantai dengan puluhan perahu kecil nelayan yang sedang bersandar.  Dari aromanya yang masuk ke mobil, aku merasakan bau amis yang menyengat hidung.  Tebakanku benar, kata guide, daerah yang kita lintasi sekarang adalah perkampungan nelayan.  Dia mengajakku keluar untuk melihat pantainya yang bersih dan perahu yang berwarna-warni.  Siapa tahu aku ingin berselfi ria disini, katanya.  Dengan halus kutolak ajakannya karena aku tidak kuat dengan bau amis itu.  Kalau dari dalam mobil saja sudah tercium santer, gimana berdekatan langsung dengan sumbernya?  Terlihat juga beberapa aktivitas pembangunan hotel di pinggir pantai, sepertinya daerah ini sedang disiapkan untuk menjadi salah satu objek wisata.  Tapi bagaimana dengan bau amis itu?  Dan juga bagaimana dengan sampah di pinggir jalan sepanjang pantai?  Semuanya memang tidak akan kelihatan kalau kita melihatnya dari seberang bukit.  Fatamorgana.


Kota Hoi An terlihat dari jauh


Setibanya di lokasi, aku memang melihat bangunan pagoda di seberang jalan tempat kami parkir kendaraan. Si guide pribadi malah langsung mengajakku ke arah patung Budha berada.  Kulihat beberapa turis dari Korea kepanasan dengan suhu di Vietnam siang itu.  Ada yang pakai payung, ada juga yang bawa kipas angin wajah yang berukuran kecil.  Namun sebagian besar sepertinya tidak peduli dengan panasnya matahari.  Seakan-akan perhatian semuanya tertuju pada objek-objek menarik disini.


Pagoda Linh Ung


Semua pada berfoto disini


Yang ini kurang diminati turis



Selain patung Budha, ada juga tanaman bonsai yang sengaja ditempatkan di sekitar patung.  Banyak juga yang tertarik dengan kreasi tanaman itu, apalagi dipadukan dengan patung-patung binatang di bawahnya.  Ada yang berumur puluhan tahun dan semua hanya diletakkan begitu saja tanpa pengamanan sedikit pun.  Memang tidak ada tangan-tangan usil memetik daun atau merusak tanaman.  Bisa jadi mereka takut terkena akibatnya bila berbuat buruk di tempat suci.


Kuil di tengah lokasi

Ini juga spot menarik untuk foto

Tanaman bonsai dimana-mana

Dipadukan dengan patung binatang

Umurnya ada yang ratusan tahun, katanya


Kota tua Hoi An merupakan kawasan khusus yang galak dipromosikan Pemerintah Vietnam.  Menurut data pariwisata, sudah 5 juta lebih turis asing yang mengunjungi tempat ini.  Kebanyakan mereka dari Asia seperti China, Korea dan Jepang.  Makanya di bandara Da Nang terlihat beberapa maskapai asing yang terbang langsung dari/ke Da Nang.  Hebat juga, pikirku, kota kecil tetapi punya bandara besar dan ramai oleh maskapai besar.  Bila ingin masuk ke kawasan kota tua ini, kita harus beli tiket masuk terlebih dahulu.  Jangan tanya harga kalau di Vietnam, disini semua lebih murah daripada di Jakarta.


Bale-bale di depan

Silakan nilai sendiri bangunan di kota tua

Sebagian besar masih terawat dengan baik

Tapi sebagian besar sudah beralih fungsi


Semua pengunjung hanya diperbolehkan berjalan kaki, naik becak lokal atau naik sepeda.  Ada juga yang naik motor, tapi kata pemanduku, mereka itu warga setempat yang tinggal di kota tua.  Ya, memang benar, sebagian besar kota tua itu sudah berubah fungsi.  Rumah-rumah atau bangunan kuno yang ada disini sudah beralih menjadi bangunan komersial seperti toko, restaurant, cafe dan lain-lain.  Sayang seribu sayang, feel memasuki kota tua jadi hilang.  Coba kalau mereka mempertahankan bangunan itu seperti dulu lagi atau membatasi area komersial?  Mungkin atmosfer kembali ke jaman dulu akan langsung dirasakan oleh pengunjung.  


Pengunjung lebih cenderung hanya jalan kaki dan lewat begitu saja

Sebagian kecil saja yang berfoto

Pos becak menunggu customer

20 Dollar, harga turis sekali putaran

Pasar rakyat


Seperti yang kukatakan tadi, memang tidak semuanya berubah fungsi, ada sebagian yang dipertahankan seperti rumah tertua disini yang dimiliki oleh Pemerintah lokal dan dijadikan sebagai museum.  Folk Culture Museum namanya.  Di museum yang dibuka pada tanggal 24 Maret 2005 ini kita bisa melihat 490 artifacts yang menceritakan sejarah perkembangan peradaban masyarakat setempat misalnya bagaimana mereka bercocok tanam, membuat pakaian, dan lain-lain.


Pintu depan Folk Culture Museum

Pintu belakang Folk Culture Museum

Kaligrafi Vietnam

Perahu nelayan

Alat pemintal benang

Jas hujan

Teh tradisional


Namun kalau kita kurang menyukai bangunan kuno, kita dapat menelusuri sungai Thu Bon dengan perahu nelayan.  Tapi kalau boleh jujur, tidak ada yang menarik dengan river cruise ini karena air sungainya coklat, tidak jernih dan pemandangan di sekitar sungai sama sekali kurang enak dilihat.  


Sang nahkoda

Berderet perahu nelayan di dermaga sungai

Meninggalkan dermaga

Air sungai kecoklatan

Ada resort yang menjadikan sungai sebagai 'view'

Menuju ke jembatan


Tempat yang paling dituju oleh turis asing adalah Covered Bridge atau Japanese Bridge, jembatan kecil yang dibangun di awal abad 17 Masehi oleh komunitas warga Jepang yang berdiam di daerah ini untuk berbisnis.  Jembatan ini berfungsi untuk menyatukan area pemukiman warga Jepang dengan area komersial yang didominasi oleh warga Cina dan lokal Vietnam.  Setelah warga Jepang meninggalkan area ini, warga Cina dan lokal melakukan restorasi jembatan dan menambahkan beberapa ornamen tradisi Tiongkok dan Vietnam.  Alhasil jembatan ini menjadi cerminan perpaduan seni Jepang, Cina dan Vietnam.  Kalau aku antara kagum dan heran melihat jembatan ini.  Kagum karena bangunan yang kecil tidak sarat dengan sejarah dan biasa-biasa saja bisa menarik perhatian dunia dan mendatangkan devisa bagi negara.  Dan herannya, kali kecil di bawah jembatan itu jorok, tidak bersih.  Juga hawa di dalam jembatan itu panas dan pengab oleh manusia, tapi anehnya semua orang ingin datang kesini.


Lihat jembatan kecil di kali itu

Bagian dalam jembatan

Tempat sembahyang di tengah jembatan

Turis asing pada tidak kuat dengan panasnya

Foto jadul jembatan Jepang

Patung Dewa Monyet di dalam gerbang


Masih seperti jembatan Jepang itu, guide mengajakku masuk ke Chinese Assembly Hall.  Katanya, rumah ini dulunya milik saudagar terkaya di Hoi An dan kerap menjadikan rumahnya sebagai tempat pertemuan.  Maklum saja, di jamannya, bangunan sebesar itu sudah menjadi bangunan yang paling megah saat itu.  Apalagi beberapa bagian bangunan menggunakan material batu, semen, yang jarang digunakan oleh orang-orang miskin.  Dan di dalam rumah itu pun masih tersimpan benda-benda bersejarah berupa peralatan rumah tangga yang mahal harganya.  Tapi yang jadi masalah dan membuatku enggan berlama-lama disini adalah tempatnya yang terlalu sempit untuk menampung puluhan turis yang datang.  Udara menjadi pengab dan panas.  Apalagi turis Cina yang selalu berisik, tidak pernah bisa pelan kalau berbicara.  Pemandu lokal tempat itu pun terlihat kecapaian dan terburu-buru menjelaskan sejarah dari rumah ini.  


Tampak dari luar

Ranjang

Turis Cina yang super berisik memadati bagian tengah ruangan


Peninggalan si saudagar kaya itu


Ada tempat yang lebih menarik dan nyaman untuk dikunjungi yaitu kuil kuno satu-satunya yang ada di kota tua.  Kalau dari luar, sebenarnya tidak terlalu istimewa bentuknya, tapi kata guide-ku, kuil ini banyak meninggalkan sejarah komunitas Cina yang sangat menjunjung tinggi dewi, bukan dewa.  Terbukti di dalam kuil ini ditempatkan di bagian tengah, sebuah patung seorang dewi. Hanya karena sudah kepanasan dari tadi dan badan sudah lengket semua karena keringat, aku jadi kurang memperhatikan penjelasan guide-ku.  Aku lebih cenderung berteduh di tempat ini dan mengambil gambar beberapa bagian.


Tempat beli tiket masuk

Gerbang depan

Kuil tampak depan

Lukisan di dalam kuil

Bagian tengah kuil

Lihat patung dewi di bagian tengah itu

Tempat berdoa di bagian belakang gedung


Kalau aku lebih menyukai tempat makannya alias restaurant tempatku bersantap siang dan malam.  Disamping tempatnya teduh, nyaman karena ber-AC atau kipas angin, makanan yang disajikan juga enak banget, khususnya salad sebagai makanan pembuka.  Sangat fresh dan enak.  Makan siang aku di Tam Tam restaurant sedangkan makan malam di Morning Glory.  


Tam Tam-1

Tam Tam-2

Morning Glory-1

Morning Glory-2

Morning Glory-3

Morning Glory-4


Untungnya di kedua restaurant itu, saladnya hampir sama bentuk dan rasanya.  Hanya berbeda di variasi appetizer-nya saja.  Namun aku merasa lebih nyaman di Morning Glory karena pelayannya lebih ramah, cekatan dan informatif. 


Salad yang penuh herbal, sehat dan menyegarkan

Sup ikan melengkapi makanan pembuka


Bagi yang menyukai kerajinan tenun sutra, di kota tua ini terdapat beberapa tempat kerajinan tersebut.  Tidak hanya produk-produk yang dijual saja, tetapi tempat ini sekaligus menjadi workshop bagi pekerja pembuat produk itu.  Maksudnya disini kita bisa melihat bagaimana mereka dengan trampil mengolah kain sutra menjadi produk yang mempunyai nilai jual seperti lukisan, seprei, sarung bantal, taplak meja, dan lain-lain.  Bahkan kita juga bisa melihat bagaimana mereka membuat kain tenun dari ulat sutra.  Pegang kepompong dan ulat sutra yang masih hidup pun bisa.


Bangunan home industry kerajinan sutra

Mau tahu apa yang ada di tampah itu?

Ulat sutra hidup, berani pegang?

Kepompong yang siap untuk dipintal

Mesin pintal jadul

Sudah menjadi benang, siap untuk ditenun menjadi kain

Pekerja kain sutra


Jujur saja, rasa-rasanya cukup 1 kali saja aku mengunjungi kota tua ini.  Katakanlah sekadar tahu dan menjadi tambahan di catatan perjalananku.  Kalau disuruh memilih, aku lebih suka ke Ba Na Hills daripada ke Hoi An.  Makanya bagi yang belum pernah ke sini, semoga informasi ini bermanfaat bagi anda yang ingin memutuskan kemana mau pergi.