Senin, 30 Juli 2018

Menengok Pesona Lombok (Bagian 1)

Ini catatan perjalananku di Lombok sebelum musibah gempa bumi 6,4 scala Richter tanggal 29 Juli 2018 pukul 05.47 sampai dengan 09.20 yang menewaskan 15 jiwa. Turut bela sungkawa kepada seluruh korban bencana dan berdoa semoga masyarakat Lombok diberi kekuatan dan ketabahan, serta Pemerintah Lombok dapat bertindak dengan sigap menolong warganya dan bangkit kembali membangun daerahnya.  Aamiin...........


I love Lombok


28 tahun yang lalu aku pernah menghabiskan waktu liburan sekolah di kota ini.  Lombok dibenakku adalah pulau yang belum begitu populer di mata orang Indonesia, namun ironisnya sudah lebih dikenal oleh wisatawan mancanegara.  Bagi turis nusantara, Lombok lebih cenderung sebagai destinasi alternatif setelah Bali.  Fokus perhatian mereka tidak bisa beranjak dari pulau dewata.  Bisa dikatakan propinsi dengan ibukota bernama Mataram ini masih dilihat sebelah mata oleh bangsa sendiri. Aku masih ingat, saat itu Lombok hanya punya 1 bandara yang berukuran kecil dan hanya diterbangi oleh pesawat berbadan kecil.  Selaparang nama bandara itu.  Sedangkan kota Mataram pun juga masih sepi di malam hari.  Sebagian besar aktifitas warga banyak dilakukan di pagi sampai sore hari.  Tempat keramaian di kota hanya ada di restaurant cepat saji KFC yang menempati gedung 2 lantai dan menjadi yang pertama kali serta satu-satunya perusahaan komersial yang mengoperasikan eskalator.  Makanya KFC tidak pernah sepi pengunjung dan menjadi tempat favorit warga setempat.  Disamping menarik perhatian penduduk lokal, aku sering kesini karena sekalian mendapat hiburan gratis berupa tingkah polah warga yang terlihat 'kaget' dengan tangga berjalan modern itu.  Sebagian bertanya-tanya dan ingin tahu bagaimana naik ke lantai 2 pakai eskalator.  Ada yang main lompat aja karena takut kakinya kejepit tangga eskalator, ada yang maju mundur ragu tidak berani naik, ada juga yang teriak dan tidak sedikit yang jatuh terjengkang ke belakang.  Lucu!


I love Lombok International Airport

Bandara Internasional Lombok, tampak dari airside


Kini Lombok sudah banyak perubahan.  Pulau ini sekarang punya bandara yang berdiri megah di kota Praya Lombok Tengah sebagai pintu gerbang utama propinsi Nusa Tenggara Barat, menggantikan bandara Selaparang di kota Mataram.  Meskipun tidak sebesar Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta, tapi fasilitas dan pelayanan yang diberikan lebih baik dari bandara sebelumnya.  Bandara yang dikelola oleh Angkasa Pura I ini berusaha mempromosikan beberapa obyek wisata yang ada di Nusa Tenggara Barat.


2 conveyor belt untuk pengambilan bagasi domestik

Promosi wisata Lombok

Promosi wisata Sumbawa Barat

Menuju area parkir kendaraan


Perjalananku kali ini diawali dengan berkunjung ke gua Prabu Bangkang yang kabarnya adalah wisata baru yang lagi nge-hits.  Lokasinya di desa Prabu kecamatan Pujut, Lombok Tengah.  Tidak jauh dari Bandara Internasional Lombok.  Sudah banyak turis asing yang datang kesini dan mendapatkan foto-foto yang indah selama berada di dalam gua.  Karena masih baru, tempat wisata ini minim sekali fasilitas.  Tidak ada toilet, tidak ada petunjuk yang jelas, bahkan tidak ada guide profesional yang stand by disana.  Aku saja hanya mendapat penjelasan dari seorang ibu yang katanya tinggal di sekitar gua tersebut dan tahu sejarah gua ini.  Meskipun harus bayar Rp 25.000 per orang untuk sekali masuk, sang ibu menjelaskan bahwa uang itu hanya sebagai donasi, bantuan biaya perawatan fasilitas wisata ini.  Menurut cerita sang ibu, gua Prabu Bangkang dulunya ada gua seorang raksasa yang sakti mandraguna.  Saking saktinya si raksasa, maka tidak ada seorang pun yang berani mendekati gua itu.  


Bagian depan menuju gua

Bagian depan gua

Bau guano sudah tercium dari bibir gua


Spot menarik ada di bagian tengah gua yang persis punya lobang ke atas.  Sinar matahari akan tepat menyinari bagian lobang itu sehingga terlihat seperti sinar Illahi atau kalau kita foto di tengah lobang itu seperti seorang hamba yang mendapat pancaran keberkahan dari Tuhan.


Dinding luar gua

Bagian dalam

Tempat sembahyang di dalam gua


Tapi untuk menuju tempat foto itu, kita harus tahan dengan bau kotoran kelelawar yang sangat menyengat hidung kita.  Tumpukan guano ada di seluruh dasar dan dinding gua bagian dalam.  Kondisinya lumayan gelap dan pengap, sehingga dengan segala pertimbangan, kuputuskan untuk tidak pergi ke spot itu.


Bagian favorit untuk berfoto tapi gelap, pengab dan bau

Siluet dilihat dari dalam gua


Masih satu arah dengan Gua Prabu Bangkang, perjalananku berlanjut ke Tanjung Aan.  Tempat ini adalah wisata pantai yang menjadi lokasi yang tepat melihat matahari tenggelam.  Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa turis asing suka berjemur di sore hari sambil menikmati sunset.  Disamping itu, pantai ini punya keunikan karena memiliki 2 macam pasir.  Ada yang sehalus pasir putih seperti di pantai-pantai lain di Indonesia, tapi ada juga yang berbentuk seperti biji merica.  Kalau tidak percaya, datang saja kesini.  Mau bawa pulang itu pasir pun bisa.  Bahkan beberapa anak kecil akan menyerbu kita menawarkan jasa termasuk menawarkan pasir unik itu yang dikemas di dalam botol air mineral.  Harganya Rp 5.000 per botol.  Jasa lain yang ditawarkan oleh anak-anak pantai ini yaitu pemotretan.  Untuk yang satu ini jangan ditolak karena bakal nyesal jadinya.  Kenapa?  Ternyata anak-anak ini punya kemampuan yang luar biasa dalam mengoperasikan gadget untuk mendapatkan foto-foto yang bagus.  Mereka tidak pernah mematok harga jasa, tapi dengan upah Rp 10.000 saja mereka sudah senang.  Hasil-hasil fotonya menimbulkan decak kagum kita.


Jalan menuju Tanjung Aan

Pasir pantai yang putih dan bersih


Fenomena pengelolaan pantai sepertinya mengenai Tanjung Aan juga.  Kulihat beberapa pengusaha cafe mem-blok area pantai sehingga terkesan eksklusif hanya pengunjung cafe itu saja yang boleh masuk.  Apalagi guide yang membawaku pun mengarahkan ke tempat yang lebih terbuka dan tidak ada nama cafe disana.  Sebagai seorang traveler dan warga negara yang punya hak menikmati kekayaan alam Indonesia, rasa-rasanya perlu khawatir kalau fenomena ini mengarah kepada sesuatu yang negatif, merugikan warga setempat atau wisatawan lainnya.  Pantai, apalagi laut seharusnya tidak menjadi aset hak milik seseorang.  Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dalam menikmati kekayaan alam negerinya.  Di Bali dulunya orang tidak boleh sembarangan lewat ke pantai dimana disitu berdiri sebuah hotel.  Security hotel tidak akan segan-segan lagi mengusir kita untuk pergi dari pantai itu seolah-olah pantai sampai ke laut yang ada di depannya itu milik pengusaha hotel itu.  Apalagi kalau yang lewat itu wajah-wajah Asia seperti kita?  Ironisnya, para bule cenderung dibiarkan keluar masuk hotel menikmati fasilitas hotel seperti kolam renang atau pantai, padahal tidak semua bule-bule itu berduit.  Banyak juga yang bule kere, tapi itulah kisah sedih yang terjadi di Bali dulu.  


Bagian pantai yang berpadu, pasir dan karang

Spot berfoto


Aku terlalu dini sampai di Tanjung Aan ini, maksudnya tidak saat matahari tenggelam.  Jam saat itu masih menunjukkan pukul 13.30 siang. Matahari memang sudah mulai condong ke bawah, tetapi sinarnya masih berasa seperti ada di atas kepala kita.  Untungnya, angin semilir berhembus sedikit mengatasi panasnya udara saat itu.  Tempat favorit wisata ini berada di puncak sebuah batu karang yang bertengger di bibir pantai selaksa bukit kecil.  Para wisatawan menyempatkan diri untuk menaiki bukit itu dan mengambil gambar dari atas.  Tapi menurutku justru pemandangan dari arah bawah yang lebih indah karena kita bisa berfoto diatas lempengan batu karang dan merasakan percikan ombak.  Perpaduan biru langit dengan deburan biru ombak membentuk harmonisasi keindahan di Tanjung Aan.


Pemandangan alam yang indah

Bukit kecil di bibir pantai


Berikutnya aku mampir sebentar ke Bukit Merese yang lumayan kerap dikunjungi wisatawan.  Sepintas tidak ada yang special dengan tempat ini.  Hanya sebuah bukit tinggi dan lembah di bawah yang langsung berhadapan dengan laut lepas.  Bukit-bukit itu pun bisa dikatakan gersang, tidak banyak ditumbuhi tanaman.  Rumput-rumput kecil di permukaan bukit terlihat menguning dan meranggas diganti dengan batu-batu bukit.  Tapi anehnya, tempat ini sering menjadi spot foto yang bagus oleh mereka yang pandai mempermainkan kamera.  Sekali lagi, disini tersedia 'jasa pemotretan' oleh anak-anak lokal.  Cukup dengan imbalan Rp 10.000, mereka dengan antusias akan mengarahkan berbagai macam gaya kepada kita.  Keahlian mereka menggunakan kamera handphone sering menghasilkan foto-foto yang unik dan menarik.


Mulai pendakian

Pantai di seberang Bukit Merese

Pantai di bawah Bukit Merese

Dominasi turis lokal

Bukit kering, panas dan angin kencang

Seperti dapat cahaya illahi (karya anak pantai)


Dari Bukit Merese, aku menyempatkan diri mampir ke desa wisata Sasak Ende karena tempat ini menjadi wajib kita kunjungi bila kita ingin mengenal lebih jauh tentang Lombok.  Sasak adalah suku asli pulau Lombok.  Di desa inilah Pemerintah Daerah membuka diri dan memberi kesempatan bagi siapa pun yang ingin tahu orang Sasak, seperti bagaimana mereka membangun rumah, bagaimana mereka bercocok tanam, menenun dan membuat pakaian, sampai ke bagaimana adat dan tradisi dalam keluarga Sasak.


Billboard lokasi

Gerbang masuk

Perkampungan Sasak Ende-1

Perkampungan Sasak Ende-2

Perkampungan Sasak Ende-3

Perkampungan Sasak Ende-4


Dulu mereka menutup diri dengan dunia luar, namun sekarang, dengan perkembangan jumlah populasi penduduk, berkembangnya perumahan, teknologi dan perekonomian Lombok, rasanya sulit bagi mereka bila harus menutup diri atau menjauhi dunia luar.  Dengan kearifan lokal, Pemda setempat melakukan pendekatan dan berhasil menyakinkan mereka untuk membuka diri dan mau berinteraksi dengan orang lain, sehingga di kehidupan mereka kini sudah bersentuhan dengan teknologi modern.


Guide dan penduduk setempat

Penenun kain tradisional

Kain tenun yang siap dijual

Memilah buah asam kering

Lihat antena parabola sebelah kanan

Anak-anak Sasak Ende


Lombok selalu dibandingkan dengan Bali.  Bisa jadi karena lokasi kedua pulau ini berdekatan dan bisa jadi karena sama-sama mengedepankan wisata alam sebagai andalan.  Kedua pulau ini memang dikarunia keindahan alam yang luar biasa oleh Sang Pencipta.  Pantai, bukit, gunung, hutan, sungai semua mereka punya.  Bagi Lombok, wisata pantai masih menjadi daya tarik ampuh memikat hati para wisatawan.  Salah satu wisata pantai itu adalah gugusan pulau kecil atau gili yang sangat terkenal itu.  Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan.  Ketiga gili ini mempunyai ukuran yang berbeda dan masing-masing punya kelebihan tersendiri.  Hal yang sama diantara mereka adalah sama-sama punya pasir putih yang bagus, air laut yang bersih berwarna hijau kebiru-biruan dan alam bawah laut yang indah.  Namun dari ketiga gili ini, Gili Trawangan-lah yang paling terkenal.


Perahu yang siap membawaku ke wisata Gili

Kapasitas sampai 12 orang

Ombak cenderung tinggi di sore hari


Mungkin saja karena areanya yang paling luas atau karena tempat hiburannya yang paling banyak, sehingga Gili Trawangan selalu menjadi destinasi utama orang ke Lombok.  Sewaktu pulau ini dibuka untuk umum, Gili Trawangan sempat menjadi nudist beach terutama bagi turis asing.  Mereka tidak ragu untuk telanjang berjemur atau berenang di pantai.  Bisa jadi karena saat itu penduduk sangat sedikit dan wisatawan lokal belum mengenal gili.  Tapi sekarang, bisa dikatakan pemandangan itu tidak ada lagi.  Tidak ada yang benar-benar telanjang, mereka menggunakan pakaian pantai semua.  Disamping aturan main yang diberlakukan oleh Pemda setempat, mereka juga tidak ingin menjadi pusat perhatian wisatawan lokal.


Turis asing menikmati keindahan laut Lombok

Gradasi warna yang indah

Saat yang tepat untuk bersantai di pantai


Banyak sekali aktivitas yang dapat kita lakukan di Gili Trawangan.  Bagi penggemar alam bawah laut, mereka bisa melakukan snorkling atau diving sekalian.  Diantara Gili Meno dan Gili Trawangan, terdapat tempat snorkling yang bagus dan selalu ramai pengunjung karena disini ditempatkan puluhan patung di dasar laut.  Dengan air yang jernih dan cuaca yang mendukung, dapat dipastikan para snorkler tidak akan mengalami kesulitan menemukan patung-patung tersebut.  Namun, perlu diwaspadai, air laut yang terlihat tenang dari atas, bukan berarti tenang juga di bawah.  Arus air di bawah laut terkadang cukup kuat sehingga membuat snorkler tidak menyadari sudah terseret arus.  Ini yang paling ditakuti oleh pemandu wisata, jangan sampai kehilangan tamunya gara-gara hilang di bawa gelombang.


Para snorklers beraksi

Alam bawah laut yang indah

Taman patung bawah laut

Menjadi tempat snorkling favorit


Bagi yang tidak senang berbasah-basahan dengan air laut, mereka bisa jogging atau bersepeda.  Kita tidak perlu bawa sepeda sendiri dari rumah, cukup pinjam di tempat penyewaan sepeda yang hampir ada di sepanjang pantai.  Tarifnya bervariasi.  Ada yang menawarkan Rp 25.000 untuk per jam pemakaian atau Rp 50.000 untuk seharian.  Maksudnya seharian itu bukan 24 jam, melainkan mulai jam buka penyewaan yaitu jam 8 pagi sampai jam tutup 6 sore.  Tapi sebenarnya semua bisa dinegosiasikan.


Romantis

Jalan pasir dan tanah


Jadi banyak sekali aktifitas yang dapat kita lakukan di Gili Trawangan.  Bagi yang beragama islam, jangan khawatir, di gili ini tersedia masjid berukuran besar untuk beribadah warga atau tamu yang datang. Makanan halal pun sangat mudah di dapat disini.  Gili Trawangan menerima semua umat, tidak pernah mempermasalahkan latar belakang agama, etnis atau budaya.  Semua berbaur disini.  Di Gili Trawangan anda akan melihat yang berjilbab dan yang berbikini.  Masih ingin tahu berikutnya? simak aja bagian keduanya.