Selasa, 02 Mei 2017

Manado Tebar Pesona Menuju Wisata Berkelas Dunia



Pesawat Airbus 320 seri 200 milik maskapai Citilink dengan nomor penerbangan QG 950 mendaratkanku tepat waktu di bandara Sam Ratulangi Manado pagi itu.  Meskipun aku harus bangun dini hari karena pesawatku take off sebelum subuh, aku sangat excited pergi ke Manado, ibukota Sulawasi Utara.  Ini adalah yang pertama kalinya aku ke kota ini.  Tujuan utamaku memang urusan kerjaan, tapi kembali lagi seperti biasa, aku harus bisa memanfaatkan kesempatan disela-sela kesibukan menyelesaikan pekerjaan untuk melakukan aktivitas yang berimbang yaitu jalan-jalan.  Fokus tetap tidak berkurang terhadap tanggung jawab.  Artinya, kalau memang bepergian untuk urusan dinas, so pasti pekerjaan menjadi prioritas utama, selanjutnya kalau memang sudah selesai urusan pekerjaan tersebut, baru aku melangkah ke prioritas berikutnya.


Front row Airbus 320-200 Citilink
 
Conveyor belt kedatangan Bandara Sam Ratulangi

Penumpang siap meninggalkan bandara


Ada anekdot lucu yang kudengar dari temanku.  Dia bilang, kalau ke Manado jangan lupa dengan 3B.  Bunaken, Bubur manado dan Bibir manado.   Kalau yang dua itu aku paham, tapi yang terakhir itu yang bisa menjadi salah pengertian.  Namanya juga anekdot, pasti banyak becandanya.  Mungkin maksudnya Bibir manado itu, kecantikan gadis-gadis Manado yang selalu menjadi buah bibir dimana-mana.


Jembatan Soekarno


Bubur Manado menjadi sasaran pertamaku.  Makanan yang satu ini sebenarnya banyak di Jakarta dan aku pun sudah pernah merasakannya.  Namun rasa bubur itu akan lain bila kita menikmatinya langsung dari negeri asalnya.  Di kawasan wisata kuliner Tinutuan Wakeke itulah aku pergi.  Di sepanjang jalan ini terdapat beberapa rumah makan yang menyediakan menu bubur Manado.  Awalnya mau pergi ke Dego-dego, rumah makan rekomendasi dari situs TripAdvisor, tapi kata sopir yang membawaku, rumah makan itu sudah tidak ada lagi, katanya baru saja terbakar dan terpaksa di renovasi.  Sepertinya memang demikian adanya, waktu kita lewat di depannya, terlihat ada bangunan yang sedang direnovasi, meski tidak terlihat tanda-tanda habis kebakaran.  Akhirnya, aku cari tempat lain untuk menikmati bubur manado.  Pilihan tertuju pada salah satu tempat yang terlihat ramai pengunjung saat itu.  Adalah Kios Pelangi yang berada di ujung jalan Wakeke.


Billboard nama rumah makan itu

Fasad depan bangunan

Pengunjung mulai berdatangan

Menu andalannya bubur Manado 'Tinutuan'


Nama yang ‘asing’ buat kita orang Jakarta karena pakai istilah ‘kios’ untuk sebuah rumah makan.  Maklum, kata kios lebih cenderung kita gunakan untuk toko kecil atau counter kecil seperti kios koran, kios telepon atau pulsa.  Jarang sekali dan ini yang pertama kali aku melihat sebuah rumah makan dengan nama kios.  Namun, kembali lagi, seperti kata Shakespeare, apalah arti sebuah nama? Untuk sebuah rumah makan, nama dan lokasi terkadang tidak menjadi ukuran.  Kita lebih cenderung ke rasa dan harga.  Ambiance atau suasana rumah makan, interior, pelayanan para waiters cenderung sekadar menjadi added value saja.  Dan memang benar, bubur manado Tinutuan disini enak, apalagi kalau dibarengi dengan es brenebon, hmm……..


Bubur Manado Tinutuan

Es brenebon yang mirip es campur


Manado kaya akan wisata alamnya.  Daerah ini dianugrahi keindahan alam yang luar biasa.  Pegunungan, pantai, danau, pedesaan, hasil bumi dan sebagainya.  Makanya aku ingin tahu bagaimana sesungguhnya kondisi tempat wisata itu, apakah terawat dengan baik, atau apakah seperti tempat wisata kebanyakan di daerah lain yang tidak terawat, jorok, dan mengecewakan.  Bukannya skeptik atau apriori, tapi pengalaman buruk yang membuat diri kita sebagai wisatawan cenderung khawatir akan mengalami hal yang sama lagi.  Kita akan sangat kesal kalau jauh-jauh menuju tempat wisata yang dipromosikan dengan sangat gencar dengan foto-foto yang indah, tetapi kenyataannya berbeda 180 derajat!!  Suka atau tidak, ini fenomena tempat wisata Indonesia.  Aku sering dibuat kecewa dengan tempat wisata yang ada.  Kita jago promosi tapi kurang tanggap tentang impresi. 


Perpaduan ciptaan Tuhan dan manusia


Tempat wisata yang kutuju siang itu Danau Tondano.  Kata sopir, kalau lancar jarak tempuhnya sekitar 3 jam dari kota Manado.  It’s okay bagiku, justru aku bisa lihat langsung pemandangan sepanjang perjalanan.  Benar sekali, di tengah perjalanan kami berhenti sejenak di sebuah vihara yang unik, besar dan punya pagoda yang menyolok ukuran dan warnanya.  Vihara Buddhayana namanya.  Beruntung saat itu tidak banyak pengunjung sehingga kami mudah cari tempat parkir mobil dan leluasa mengambil gambar patung-patung dewa yang ada di sepanjang jalan masuk vihara. 


Komplek Vihara Buddhayana

Kuil di depan

Kolam air tempat berdoa

Kuil kura-kura


Di area vihara ini terdapat beberapa tempat ibadah dengan bermacam bentuk bangunan.  Ada bangunan yang menyerupai kura-kura, makanya disebut vihara kura-kura.  Ada juga yang berbentuk naga dan ada juga yang seperti kuil Buddha pada umumnya.  Sedangkan satu-satunya pagoda yang ada di vihara ini yang berdiri tegak dengan warna merah menyala diberi nama Ekayana. 


Patung dewa-1

Patung dewa-2

Pagoda Ekayana

Di dalam kuil kura-kura


Disini kita diperbolehkan untuk mengambil gambar semua bangunan termasuk isi dari setiap kuil sembahyang.  Hanya saja ada satu ketentuan bila kita mau sembahyang atau mendekati patung dewa yang ada didalam kuil itu, kita harus melepas alas kaki.  Meskipun tidak terlalu luas, vihara ini lumayan menghibur pengunjung yang harus bayar tiket masuk Rp 10.000 per orang.  Tempatnya bersih, bangunannya terawat dengan baik dan punya background pemandangan yang sangat baik.


Di dalam kuil naga

Kuil naga dilihat dari belakang

Kuil naga tampak depan


Gerimis rintik-rintik menyambut kedatanganku di danau Tondano.  Sopir merekomendasikan berteduh sekaligus makan siang di Astomi, restoran yang menjorok ke danau.  Restoran ini berdiri diatas bangunan yang terbuat dari bambu dan kayu.  Furniture dan interior-nya sangat sederhana, tapi terlihat bersih.  Ada beberapa turis asing sudah menempati 2 meja di sudut.  Dari senyumnya terlihat jelas kalau mereka menikmati suasana dan makanan yang disajikan.  Meskipun mendung, pemandangan di danau Tondano masih terlihat indah.  Dari restoran Astomi kita bisa melihat bukit-bukit hijau di seberang danau dan perahu para nelayan diatas riak danau yang tenang.  Namun ada 2 hal yang perlu diperbaiki atau menjadi perhatian bagi pemerintah daerah Sulawesi Utara.  Pertama, menurutku jalan atau akses jalan ke tempat wisata itu masih sempit.  Sangat sulit untuk bus bila berpapasan.  Kalau kendaraan kecil mungkin tidak jadi masalah, tapi sekarang kan Pemda Sulut sedang gencar-gencarnya menarik wisatawan asing?  Nah kalau mereka pakai mobil besar atau bus tetapi terpaksa berlama-lama di jalan karena macet dan harus pelan laju kendaraannya, apakah impresi mereka bakal baik dan mau datang kembali kesini?


Restoran Astomi
Menjorok ke danau
Menu makan siang itu, udang goreng mentega
Ikan bakar dengan dua macam sambal
Perkedel ikan
Ikan rica-rica


Yang kedua adalah tumbuhan enceng gondok yang sangat banyak menutupi permukaan danau.  Alangkah baiknya kalau danau ini bersih dari enceng gondok dan tanaman itu diangkut keluar lalu dimanfaatkan untuk menjadi produk kerajinan lokal seperti anyaman tas, tikar yang punya nilai komersil?  Karena kalau dibiarkan, tanaman ini akan mengurangi keindahan alam danau Tondano.


Mendung di danau Tondano
Enceng gondok yang merusak pemandangan


Dari Danau Tondano, aku menuju ke Bukit Kasih.  Ini juga menjadi destinasi bagi para wisatawan juga bila ke Sulawesi Utara.  Disini terdapat monument yang berdiri tegak di tengah area dengan topping bola dunia dan burung merpati lambang perdamaian.  Monumen ini dibangun untuk mengingatkan masyarakat Minahasa yang hidup damai bersaudara meskipun berbeda keyakinan.  Makanya di ujung bukit dibangun 5 tempat ibadah sebagai perwujudan kerukunan beragama.  Aku tidak sempat menaiki tangga menuju bukit itu karena saat itu sedang gerimis, khawatir kalau anak tangga menjadi licin dan berisiko, serta waktu yang kumiliki tidak banyak sehingga aku lebih baik memaksimalkan waktu yang ada mengunjungi sebanyak mungkin obyek wisata.  Yang lucu adalah saat penjaja foto disana yang sambil membawa burung hantu besar menawarkan jasanya.  Katanya itu burung khas daerah Kanonang tempat tugu kasih berada dan diwujudkan dalam patung burung di ujung tugu.  Lho, bukan kah yang diujung tugu itu burung merpati?  Merpati dan burung hantu kan berbeda, bung?!


Monumen perdamaian
Diujung bukit itu berdiri 5 tempat ibadah
Awal tangga pendakian ke bukit
Lihat deretan anak tangga itu?


Kekecewaanku dengan Danau Tondano terbayar dengan mengunjungi Danau Linow.  Sangat berbeda dengan Tondano, Danau Linow sangat indah.  Keindahannya itu sebenarnya karena danau ini dirawat dengan baik.  Area-nya sangat bersih, fasilitas di dalamnya terawat dengan baik, punya restaurant dan menyediakan spot untuk berfoto ria dan super nyaman bagi keluarga termasuk anak-anak.  


Keindahan alam yang luar biasa

Jauh berbeda dengan danau Tondano


Kalau dicermati, Danau Linow sepertinya dikelola oleh swasta. Bila ingin mengunjungi tempat wisata ini, kita harus siap membayar dua pungutan sebelum tiba di danau.  Pertama kita harus bayar saat mendekati kawasan.  Petugas yang stand by di pos seberang jalan akan memberhentikan mobil kita dan meminta kita untuk membayar tiket masuk Rp 5.000 per orangHarga tiket sih tidak masalah, tetapi tempat kita diberhentikan itu yang bermasalah karena persis di jalan tanjakan.  Bayangkan kalau itu bus besar dengan supir yang bisa saja ceroboh atau lupa menginjak rem?  Mungkin Pemda Sulut sebaiknya memindahkan pos petugas ke tempat yang lebih aman dan tidak berisiko.  Pungutan berikutnya adalah saat memasuki area danau.  Di depan pintu masuk, petugas akan menghampiri kita dan meminta kita untuk membayar tiket masuk Rp 25.000 per orang.  Dengan tiket ini kita bisa mendekati danau, masuk ke cafe dan dapat menukar tiket masuk dengan minuman teh atau kopi.


Tiket masuk Danau Linow
Koridor menuju danau
Bersih, terawat dan tertata rapi
Bahkan sangat nyaman untuk bersantai

 
Kata orang, berkunjung ke Manado tidak akan lengkap sebelum kita mengunjungi Bunaken.  Dari dulu aku selalu dengar nama pantai ini, sangat terkenal dan selalu menjadi tujuan wisata para turis asing dan lokal.  Apalagi aku yang baru pertama kali ke Manado, sudah barang tentu tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengunjungi Bunaken.  Hanya ada satu cara pergi ke Bunaken yaitu melalui transportasi laut.  Kita bisa naik speed boat dari Plaza Marina di tengah kota Manado  menuju Bunaken.  Disini juga menawarkan program paket.  Dengan membayar Rp 450.000 per orang, kita akan diangkut pergi-pulang pakai boat dan snorkeling.  Khusus saat pulang atau kembali ke kota, kita akan dapat kesempatan menaiki boat yang didisain khusus untuk dapat melihat pemandangan bawah laut.  Maksudnya dibagian tengah lambung perahu itu disediakan 2 dek terbuka dan dilapisi kaca untuk bisa melihat alam bawah laut. 


Billboard depan pantai marina
Pemandangan di dermaga
Speed boats bersandar dan siap mengantar penumpang
Aku sudah tidak sabar ingin segera berangkat
Saat meninggalkan plaza marina



Jarak tempuh dari plaza marina ke Bunaken sekitar 45 menit.  Untungnya tidak ada ombak besar selama perjalanan pergi dan pulang pagi itu, sehingga aku tidak cemas sama sekali.  Setibanya di Bunaken pun situasinya masih sepi, hanya terlihat beberapa toko kecil dipinggir pantai yang menjajakan sewa baju dan peralatan snorkeling.  Tapi selang beberapa menit, pantai ini menjadi ramai oleh pengunjung yang datang berkelompok seperti study tour atau group tour.  Sepintas lalu kalau diamati dari bibir pantai, penduduk disini sedikit jumlahnya, tapi aku tercengang saat penjual pisang goreng mengatakan kalau pantai ini punya 2 kelurahan.  Rumah penduduk banyak berada dibalik bukit besar pinggir pantai. Bicara tentang pisang goreng, ada yang unik disini.  Kalau kita di Jakarta mungkin biasa makan pisang goreng pakai mesis coklat atau parutan keju, tapi kalau di Bunaken, pakai sambal!  Kata penjual, memang beginilah cara orang Manado makan pisang goreng.   Bahkan makan apapun mereka selalu menyertakan sambal didalamnya.  Mereka memang penyuka makanan pedas, makanya kalau tidak ada sambal, kenikmatan makan jadi hilang.


Di tengah laut
Mendekati Bunaken
Siap bersandar dan turun
Welcome to Bunaken
Tugu yang kurang terawat
Dermaga dan spot yang baik untuk berfoto ria


Makan siang di Bunaken mengingatkanku seperti makan di pantai Seminyak Bali.  Meja panjang terbuat dari kayu dan kursi plastik disusun rapi diatas pasir pantai.  Menu makan siang tidak jauh dari ikan dan udang.  Kalau di Astomi aku kurang begitu merasakan nikmatnya ikan, di Bunaken kebalikannya, aku dapat menikmati ikan bakar dan ikan rica-rica yang super nikmat dan super pedas!  Anehnya, meskipun pedas, aku bisa menyantap habis ikan yang disuguhkan di mejaku.  Ternyata bukan saja aku, turis-turis dari Cina yang duduk berseberangan juga menikmati makan siang mereka, bahkan ada seseorang dari mereka yang bilang ‘minta sambal’ ke pemilik warung makan dengan bahasa Indonesia yang lumayan fasih terdengar. 


Siap mengantar snorkeling
Trainer sedang memberi penjelasan dan pengarahan

Acara snorkeling dimulai
Alam bawah laut yang indah disini


Ada satu tempat makan yang sangat popular di Manado yaitu Wisata Bahari.  Bersyukur aku dapat datang kesana dan tidak kesulitan mendapat tempat karena kabarnya kalau mau makan disini harus booking terlebih dahulu apalagi di akhir pekan atau sedang musim liburan.  Tempat ini tidak pernah sepi karena selain berlokasi sangat strategis di pinggir pantai, mudah ditempuh dan punya tempat parkir luas, restaurant ini menyediakan seafood yang fresh.  Kita bisa memilih sendiri seafood hidup itu di pintu masuk restaurant yang akan kita makan nanti.  Tapi kalau malas milih juga tidak apa-apa.  Pelayan akan siap membantu memberikan rekomendasi makanan apa yang cocok dan yang sesuai dengan selera kita.


Sunset menyambut kedatanganku di Wisata Bahari

Restaurant Wisata Bahari yang terkenal itu

Area indoor dengan small stage dan organ tunggal

Area outdoor dengan pemandangan kota dan pantai


Aku pilih menu andalan di Wisata Bahari, garapo salad dan minuman juice wisata bahari.  Garapo salad ini super unik.  Ikan garapo atau kerapu digoreng garing lalu diberi parutan keju, irisan lobak dan nanas.  Katanya sih ini makanan pembuka, tetapi bagiku malah seperti main course.  Sedangkan juice wisata bahari, menurutku lebih mirip mixed fruits alias campuran beberapa buah-buahan.  Soal rasa, semua makanan yang disajikan terasa pas di lidahku meskipun tahu sendiri, Manado kurang bersahabat bagi penikmat kuliner yang punya level pedas paling bawah seperti aku.  Semuanya pedas dan super pedas.  Tapi anehnya, semua makanan di restaurant ini dapat kunikmati dengan baik.  Artinya aku tidak merasa tersiksa menyantap makanan itu. 


Juice wisata bahari

Garapo salad

Fried lobster

Garapo 2 rasa, rica-rica pedas dan asam manis


Selama di Manado, aku menginap di hotel Aryaduta.  Lokasi hotel ini sangat strategis di tengah kota, dekat dengan kawasan bisnis Mega Mas dan Manado Town Square (Mantos), mall terbesar di propinsi Sulewasi Utara, juga dekat dengan kawasan kuliner tepi pantai dan tinggal jalan kaki kalau ingin ke Pelabuhan Plaza Marina. 


Ruang tamu di dalam kamar

Pintu luar, lemari pakaian dan cermin besar

Ranjang luas, bersih, rapi dan nyaman

TV, meja kerja tersedia di dalam kamar


Disamping lokasi yang strategis, kelebihan hotel ini adalah fasilitas yang dimiliki lumayan oke punya.  Lobby yang luas dan nyaman sebagai tempat meeting point, fasilitas meeting room juga bagus dan bervariasi, tempat breakfast yang luas dengan menu yang bervariasi juga, serta kebersihan seluruh area hotel termasuk kamar tidur yang membuat para tamu betah.  Wifi tersedia gratis di semua area dengan kecepatan yang lumayan kencang. 


Lobby area

Kamar mandi

Shower
toiletries


Wajarnya kalau bepergian, kita selalu ingin membawa buah tangan untuk keluarga, teman atau orang-orang tercinta.  Hampir semua orang disini kalau ditanya dimana tempat beli oleh-oleh di Manado jawabannya sama, Merciful.  Aku sampai penasaran seperti apa sih  Merciful itu?  Ternyata tempatnya agak jauh dari hotel.  Kalau dilihat sepintas lalu, gedung Merciful memliki beberapa tingkat, tetapi sepertinya produk oleh-oleh hanya terdapat di lantai dasar.  Jumlahnya pun tidak seperti yang aku bayangkan.  Tidak banyak variasi produknya dan space-nya pun kecil untuk display oleh-oleh. Tapi tak apalah, yang penting aku bisa membawa pulang beberapa produk khas Manado dan yang pasti sempat merasakan klappentart khas Manado. 


Halaman parkir di Merciful

Counter makanan

Counter kerajinan dan produk lokal

Meja 'tester', bisa dimakan sepuasnya


Tak terasa sudah waktunya pulang balik ke Jakarta.  Perjalanan ke Manado meskipun hanya 2 hari memberi kesan mendalam.  Rasanya pengin balik lagi kesana karena ada beberapa tempat wisata yang belum aku kunjungi seperti makam Imam Bonjol dan beberapa kuliner top khas Manado yang terlewatkan.  Kalau berangkat menggunakan maskapai Citilink, kembali ke Jakarta aku menggunakan maskapai Batik Air. 


Bye bye Sam Ratulangi Airport
Check-in area
Security Check Point yang kedua
Area tengah boarding lounge
Boarding lounge menghadap airside
Boeing 737 seri 800NG Batik Air


Semoga dapat kesempatan sekali lagi mengunjungi Manado. Biasanya kalau ada yang pertama, berikutnya ada yang kedua, ketiga dan seterusnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar