Pesawat Airbus 320 seri
200 milik maskapai Citilink dengan nomor penerbangan QG 950 mendaratkanku tepat
waktu di bandara Sam Ratulangi Manado pagi itu.
Meskipun aku harus bangun dini hari karena pesawatku take off sebelum
subuh, aku sangat excited pergi ke Manado, ibukota Sulawasi Utara. Ini adalah yang pertama kalinya aku ke kota
ini. Tujuan utamaku memang urusan
kerjaan, tapi kembali lagi seperti biasa, aku harus bisa memanfaatkan
kesempatan disela-sela kesibukan menyelesaikan pekerjaan untuk melakukan
aktivitas yang berimbang yaitu jalan-jalan.
Fokus tetap tidak berkurang terhadap tanggung jawab. Artinya, kalau memang bepergian untuk urusan
dinas, so pasti pekerjaan menjadi prioritas utama, selanjutnya kalau memang
sudah selesai urusan pekerjaan tersebut, baru aku melangkah ke prioritas berikutnya.
|
Front row Airbus 320-200 Citilink |
|
Conveyor belt kedatangan Bandara Sam Ratulangi |
|
Penumpang siap meninggalkan bandara |
Ada anekdot lucu yang
kudengar dari temanku. Dia bilang, kalau
ke Manado jangan lupa dengan 3B.
Bunaken, Bubur manado dan Bibir manado.
Kalau yang dua itu aku paham, tapi yang terakhir itu yang bisa menjadi
salah pengertian. Namanya juga anekdot,
pasti banyak becandanya. Mungkin maksudnya Bibir manado itu, kecantikan
gadis-gadis Manado yang selalu menjadi buah bibir dimana-mana.
|
Jembatan Soekarno |
Bubur Manado menjadi
sasaran pertamaku. Makanan yang satu ini
sebenarnya banyak di Jakarta dan aku pun sudah pernah merasakannya. Namun rasa bubur itu akan lain bila
kita menikmatinya langsung dari negeri asalnya.
Di kawasan wisata kuliner Tinutuan Wakeke itulah aku pergi. Di sepanjang jalan ini terdapat beberapa
rumah makan yang menyediakan menu bubur Manado.
Awalnya mau pergi ke Dego-dego, rumah makan rekomendasi dari situs
TripAdvisor, tapi kata sopir yang membawaku, rumah makan itu sudah tidak ada
lagi, katanya baru saja terbakar dan terpaksa di renovasi. Sepertinya memang demikian adanya, waktu kita lewat di depannya,
terlihat ada bangunan yang sedang direnovasi, meski tidak terlihat tanda-tanda habis kebakaran.
Akhirnya, aku cari tempat lain untuk menikmati bubur manado. Pilihan tertuju pada salah satu tempat yang terlihat ramai pengunjung saat itu. Adalah Kios Pelangi yang berada di ujung jalan Wakeke.
|
Billboard nama rumah makan itu |
|
Fasad depan bangunan |
|
Pengunjung mulai berdatangan |
|
Menu andalannya bubur Manado 'Tinutuan' |
Nama yang ‘asing’ buat
kita orang Jakarta karena pakai istilah ‘kios’ untuk sebuah rumah makan. Maklum, kata kios lebih cenderung kita
gunakan untuk toko kecil atau counter kecil seperti kios koran, kios telepon
atau pulsa. Jarang sekali dan ini yang
pertama kali aku melihat sebuah rumah makan dengan nama kios. Namun, kembali lagi, seperti kata
Shakespeare, apalah arti sebuah nama? Untuk sebuah rumah makan, nama dan lokasi
terkadang tidak menjadi ukuran. Kita
lebih cenderung ke rasa dan harga.
Ambiance atau suasana rumah makan, interior, pelayanan para waiters
cenderung sekadar menjadi added value saja.
Dan memang benar, bubur manado Tinutuan disini enak, apalagi kalau
dibarengi dengan es brenebon, hmm……..
|
Bubur Manado Tinutuan |
|
Es brenebon yang mirip es campur |
Manado kaya akan wisata
alamnya. Daerah ini dianugrahi keindahan
alam yang luar biasa. Pegunungan,
pantai, danau, pedesaan, hasil bumi dan sebagainya. Makanya aku ingin tahu bagaimana sesungguhnya
kondisi tempat wisata itu, apakah terawat dengan baik, atau apakah seperti tempat
wisata kebanyakan di daerah lain yang tidak terawat, jorok, dan mengecewakan. Bukannya skeptik atau apriori, tapi pengalaman buruk yang membuat diri kita sebagai wisatawan cenderung khawatir akan mengalami hal yang sama lagi. Kita akan sangat kesal kalau jauh-jauh menuju
tempat wisata yang dipromosikan dengan sangat gencar dengan foto-foto yang
indah, tetapi kenyataannya berbeda 180 derajat!! Suka atau tidak, ini fenomena tempat wisata
Indonesia. Aku sering dibuat kecewa
dengan tempat wisata yang ada. Kita jago
promosi tapi kurang tanggap tentang impresi.
|
Perpaduan ciptaan Tuhan dan manusia |
Tempat wisata yang
kutuju siang itu Danau Tondano. Kata
sopir, kalau lancar jarak tempuhnya sekitar 3 jam dari kota Manado. It’s okay bagiku, justru aku bisa lihat
langsung pemandangan sepanjang perjalanan.
Benar sekali, di tengah perjalanan kami berhenti sejenak di sebuah
vihara yang unik, besar dan punya pagoda yang menyolok ukuran dan
warnanya. Vihara Buddhayana
namanya. Beruntung saat itu tidak banyak
pengunjung sehingga kami mudah cari tempat parkir mobil dan leluasa mengambil gambar
patung-patung dewa yang ada di sepanjang jalan masuk vihara.
|
Komplek Vihara Buddhayana |
|
Kuil di depan |
|
Kolam air tempat berdoa |
|
Kuil kura-kura |
Di area vihara ini
terdapat beberapa tempat ibadah dengan bermacam bentuk bangunan. Ada bangunan yang menyerupai kura-kura, makanya disebut vihara kura-kura.
Ada juga yang berbentuk naga dan ada juga yang seperti kuil Buddha pada
umumnya. Sedangkan satu-satunya pagoda yang ada di vihara ini yang berdiri tegak dengan
warna merah menyala diberi nama Ekayana.
|
Patung dewa-1 |
|
Patung dewa-2 |
|
Pagoda Ekayana |
|
Di dalam kuil kura-kura |
Disini kita
diperbolehkan untuk mengambil gambar semua bangunan termasuk isi dari setiap
kuil sembahyang. Hanya saja ada satu ketentuan
bila kita mau sembahyang atau mendekati patung dewa yang ada didalam kuil itu, kita
harus melepas alas kaki. Meskipun tidak
terlalu luas, vihara ini lumayan menghibur pengunjung yang harus bayar tiket
masuk Rp 10.000 per orang. Tempatnya
bersih, bangunannya terawat dengan baik dan punya background pemandangan yang
sangat baik.
|
Di dalam kuil naga |
|
Kuil naga dilihat dari belakang |
|
Kuil naga tampak depan |
Gerimis rintik-rintik menyambut kedatanganku di danau Tondano.
Sopir merekomendasikan berteduh sekaligus makan siang di Astomi,
restoran yang menjorok ke danau.
Restoran ini berdiri diatas bangunan yang terbuat dari bambu dan
kayu. Furniture dan interior-nya sangat
sederhana, tapi terlihat bersih. Ada
beberapa turis asing sudah menempati 2 meja di sudut. Dari senyumnya terlihat jelas kalau mereka
menikmati suasana dan makanan yang disajikan.
Meskipun mendung, pemandangan di danau Tondano masih terlihat
indah. Dari restoran Astomi kita bisa
melihat bukit-bukit hijau di seberang danau dan perahu para nelayan diatas riak
danau yang tenang. Namun ada 2 hal yang perlu
diperbaiki atau menjadi perhatian bagi pemerintah daerah Sulawesi Utara. Pertama, menurutku jalan atau akses jalan ke tempat
wisata itu masih sempit. Sangat sulit
untuk bus bila berpapasan. Kalau
kendaraan kecil mungkin tidak jadi masalah, tapi sekarang kan Pemda Sulut
sedang gencar-gencarnya menarik wisatawan asing? Nah kalau mereka pakai mobil besar atau bus
tetapi terpaksa berlama-lama di jalan karena macet dan harus pelan laju
kendaraannya, apakah impresi mereka bakal baik dan mau datang kembali kesini?
|
Restoran Astomi |
|
Menjorok ke danau |
|
Menu makan siang itu, udang goreng mentega |
|
Ikan bakar dengan dua macam sambal |
|
Perkedel ikan |
|
Ikan rica-rica |
Yang kedua adalah
tumbuhan enceng gondok yang sangat banyak menutupi permukaan danau. Alangkah baiknya kalau danau ini bersih dari
enceng gondok dan tanaman itu diangkut keluar lalu dimanfaatkan
untuk menjadi produk kerajinan lokal seperti anyaman tas, tikar yang punya
nilai komersil? Karena kalau dibiarkan,
tanaman ini akan mengurangi keindahan alam danau Tondano.
|
Mendung di danau Tondano |
|
Enceng gondok yang merusak pemandangan |
Dari Danau Tondano, aku menuju ke Bukit Kasih. Ini juga menjadi destinasi bagi para wisatawan juga bila ke Sulawesi Utara. Disini terdapat monument yang berdiri tegak di tengah area dengan topping bola dunia dan burung merpati lambang perdamaian. Monumen ini dibangun untuk mengingatkan masyarakat Minahasa yang hidup damai bersaudara meskipun berbeda keyakinan. Makanya di ujung bukit dibangun 5 tempat ibadah sebagai perwujudan kerukunan beragama. Aku tidak sempat menaiki tangga menuju bukit itu karena saat itu sedang gerimis, khawatir kalau anak tangga menjadi licin dan berisiko, serta waktu yang kumiliki tidak banyak sehingga aku lebih baik memaksimalkan waktu yang ada mengunjungi sebanyak mungkin obyek wisata. Yang lucu adalah saat penjaja foto disana yang sambil membawa burung hantu besar menawarkan jasanya. Katanya itu burung khas daerah Kanonang tempat tugu kasih berada dan diwujudkan dalam patung burung di ujung tugu. Lho, bukan kah yang diujung tugu itu burung merpati? Merpati dan burung hantu kan berbeda, bung?!
|
Monumen perdamaian |
|
Diujung bukit itu berdiri 5 tempat ibadah |
|
Awal tangga pendakian ke bukit |
|
Lihat deretan anak tangga itu? |
Kekecewaanku dengan Danau Tondano terbayar dengan mengunjungi Danau Linow. Sangat berbeda dengan Tondano, Danau Linow sangat indah. Keindahannya itu sebenarnya karena danau ini dirawat dengan baik. Area-nya sangat bersih, fasilitas di dalamnya terawat dengan baik, punya restaurant dan menyediakan spot untuk berfoto ria dan super nyaman bagi keluarga termasuk anak-anak.
|
Keindahan alam yang luar biasa |
|
Jauh berbeda dengan danau Tondano |
Kalau dicermati, Danau Linow sepertinya dikelola oleh swasta. Bila ingin mengunjungi tempat wisata ini, kita harus siap membayar dua pungutan sebelum tiba di danau. Pertama kita harus bayar saat mendekati kawasan. Petugas yang stand by di pos seberang jalan akan memberhentikan mobil kita dan meminta kita untuk membayar tiket masuk Rp 5.000 per orang. Harga tiket sih tidak masalah, tetapi tempat kita diberhentikan itu yang bermasalah karena persis di jalan tanjakan. Bayangkan kalau itu bus besar dengan supir yang bisa saja ceroboh atau lupa menginjak rem? Mungkin Pemda Sulut sebaiknya memindahkan pos petugas ke tempat yang lebih aman dan tidak berisiko. Pungutan berikutnya adalah saat memasuki area danau. Di depan pintu masuk, petugas akan menghampiri kita dan meminta kita untuk membayar tiket masuk Rp 25.000 per orang. Dengan tiket ini kita bisa mendekati danau, masuk ke cafe dan dapat menukar tiket masuk dengan minuman teh atau kopi.
|
Tiket masuk Danau Linow |
|
Koridor menuju danau |
|
Bersih, terawat dan tertata rapi |
|
Bahkan sangat nyaman untuk bersantai |
Kata orang, berkunjung
ke Manado tidak akan lengkap sebelum kita mengunjungi Bunaken. Dari dulu aku selalu dengar nama pantai ini,
sangat terkenal dan selalu menjadi tujuan wisata para turis asing dan lokal. Apalagi aku yang baru pertama kali ke Manado,
sudah barang tentu tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengunjungi Bunaken. Hanya ada satu cara pergi ke Bunaken yaitu melalui
transportasi laut. Kita bisa naik speed boat dari Plaza Marina di
tengah kota Manado menuju Bunaken. Disini juga menawarkan program paket. Dengan membayar Rp 450.000 per orang, kita akan
diangkut pergi-pulang pakai boat dan snorkeling. Khusus saat pulang atau kembali ke kota, kita akan dapat kesempatan menaiki boat yang
didisain khusus untuk dapat melihat pemandangan bawah laut. Maksudnya dibagian tengah lambung perahu
itu disediakan 2 dek terbuka dan dilapisi kaca untuk bisa melihat alam bawah laut.
|
Billboard depan pantai marina |
|
Pemandangan di dermaga |
|
Speed boats bersandar dan siap mengantar penumpang |
|
Aku sudah tidak sabar ingin segera berangkat |
|
Saat meninggalkan plaza marina |
Jarak tempuh dari plaza
marina ke Bunaken sekitar 45 menit.
Untungnya tidak ada ombak besar selama perjalanan pergi dan pulang pagi
itu, sehingga aku tidak cemas sama sekali.
Setibanya di Bunaken pun situasinya masih sepi, hanya terlihat beberapa
toko kecil dipinggir pantai yang menjajakan sewa baju dan peralatan
snorkeling. Tapi selang beberapa menit,
pantai ini menjadi ramai oleh pengunjung yang datang berkelompok seperti study
tour atau group tour. Sepintas lalu
kalau diamati dari bibir pantai, penduduk disini sedikit jumlahnya, tapi aku
tercengang saat penjual pisang goreng mengatakan kalau pantai ini punya 2
kelurahan. Rumah penduduk banyak berada
dibalik bukit besar pinggir pantai. Bicara tentang pisang goreng, ada yang unik
disini. Kalau kita di Jakarta mungkin
biasa makan pisang goreng pakai mesis coklat atau parutan keju, tapi kalau di
Bunaken, pakai sambal! Kata penjual,
memang beginilah cara orang Manado makan pisang goreng. Bahkan makan apapun mereka selalu
menyertakan sambal didalamnya. Mereka
memang penyuka makanan pedas, makanya kalau tidak ada sambal, kenikmatan makan
jadi hilang.
|
Di tengah laut |
|
Mendekati Bunaken |
|
Siap bersandar dan turun |
|
Welcome to Bunaken |
|
Tugu yang kurang terawat |
|
Dermaga dan spot yang baik untuk berfoto ria |
Makan siang di Bunaken
mengingatkanku seperti makan di pantai Seminyak Bali. Meja panjang terbuat dari kayu dan kursi
plastik disusun rapi diatas pasir pantai.
Menu makan siang tidak jauh dari ikan dan udang. Kalau di Astomi aku kurang begitu merasakan
nikmatnya ikan, di Bunaken kebalikannya, aku dapat menikmati ikan bakar dan ikan rica-rica
yang super nikmat dan super pedas!
Anehnya, meskipun pedas, aku bisa menyantap habis ikan yang disuguhkan
di mejaku. Ternyata bukan saja aku,
turis-turis dari Cina yang duduk berseberangan juga menikmati makan siang
mereka, bahkan ada seseorang dari mereka yang bilang ‘minta sambal’ ke pemilik
warung makan dengan bahasa Indonesia yang lumayan fasih terdengar.
|
Siap mengantar snorkeling |
|
Trainer sedang memberi penjelasan dan pengarahan |
|
Acara snorkeling dimulai |
|
Alam bawah laut yang indah disini |
Ada satu tempat makan
yang sangat popular di Manado yaitu Wisata Bahari. Bersyukur aku dapat datang kesana dan tidak
kesulitan mendapat tempat karena kabarnya kalau mau makan disini harus booking
terlebih dahulu apalagi di akhir pekan atau sedang musim liburan. Tempat ini tidak pernah sepi karena selain berlokasi sangat strategis di pinggir pantai, mudah ditempuh dan
punya tempat parkir luas, restaurant ini menyediakan seafood yang fresh. Kita bisa memilih sendiri seafood hidup itu
di pintu masuk restaurant yang akan kita makan nanti. Tapi kalau malas milih juga tidak
apa-apa. Pelayan akan siap membantu
memberikan rekomendasi makanan apa yang cocok dan yang sesuai dengan selera
kita.
|
Sunset menyambut kedatanganku di Wisata Bahari |
|
Restaurant Wisata Bahari yang terkenal itu |
|
Area indoor dengan small stage dan organ tunggal |
|
Area outdoor dengan pemandangan kota dan pantai |
Aku pilih menu andalan
di Wisata Bahari, garapo salad dan minuman juice wisata bahari. Garapo salad ini super unik. Ikan garapo atau kerapu digoreng garing lalu
diberi parutan keju, irisan lobak dan nanas.
Katanya sih ini makanan pembuka, tetapi bagiku malah seperti main
course. Sedangkan juice wisata bahari,
menurutku lebih mirip mixed fruits alias campuran beberapa buah-buahan. Soal rasa, semua makanan yang disajikan
terasa pas di lidahku meskipun tahu sendiri, Manado kurang bersahabat bagi
penikmat kuliner yang punya level pedas paling bawah seperti aku. Semuanya pedas dan super pedas. Tapi anehnya, semua makanan di restaurant ini
dapat kunikmati dengan baik. Artinya aku
tidak merasa tersiksa menyantap makanan itu.
|
Juice wisata bahari |
|
Garapo salad |
|
Fried lobster |
|
Garapo 2 rasa, rica-rica pedas dan asam manis |
Selama di Manado, aku
menginap di hotel Aryaduta. Lokasi hotel
ini sangat strategis di tengah kota, dekat dengan kawasan bisnis Mega Mas dan
Manado Town Square (Mantos), mall terbesar di propinsi Sulewasi Utara, juga
dekat dengan kawasan kuliner tepi pantai dan tinggal jalan kaki kalau ingin ke
Pelabuhan Plaza Marina.
|
Ruang tamu di dalam kamar |
|
Pintu luar, lemari pakaian dan cermin besar |
|
Ranjang luas, bersih, rapi dan nyaman |
|
TV, meja kerja tersedia di dalam kamar |
Disamping lokasi yang
strategis, kelebihan hotel ini adalah fasilitas yang dimiliki lumayan oke
punya. Lobby yang luas dan nyaman
sebagai tempat meeting point, fasilitas meeting room juga bagus dan bervariasi,
tempat breakfast yang luas dengan menu yang bervariasi juga, serta kebersihan
seluruh area hotel termasuk kamar tidur yang membuat para tamu betah. Wifi tersedia gratis di semua area dengan
kecepatan yang lumayan kencang.
|
Lobby area |
|
Kamar mandi |
|
Shower |
|
toiletries |
Wajarnya kalau
bepergian, kita selalu ingin membawa buah tangan untuk keluarga, teman atau
orang-orang tercinta. Hampir semua orang
disini kalau ditanya dimana tempat beli oleh-oleh di Manado jawabannya sama, Merciful. Aku sampai penasaran seperti apa sih Merciful
itu? Ternyata tempatnya agak jauh dari
hotel. Kalau dilihat sepintas lalu, gedung Merciful
memliki beberapa tingkat, tetapi sepertinya produk oleh-oleh hanya terdapat di
lantai dasar. Jumlahnya pun tidak
seperti yang aku bayangkan. Tidak banyak
variasi produknya dan space-nya pun kecil untuk display oleh-oleh. Tapi tak apalah,
yang penting aku bisa membawa pulang beberapa produk khas Manado dan yang pasti
sempat merasakan klappentart khas Manado.
|
Halaman parkir di Merciful |
|
Counter makanan |
|
Counter kerajinan dan produk lokal |
|
Meja 'tester', bisa dimakan sepuasnya |
Tak terasa sudah
waktunya pulang balik ke Jakarta. Perjalanan
ke Manado meskipun hanya 2 hari memberi kesan mendalam. Rasanya pengin balik lagi kesana karena ada
beberapa tempat wisata yang belum aku kunjungi seperti makam Imam Bonjol dan
beberapa kuliner top khas Manado yang terlewatkan. Kalau berangkat menggunakan maskapai
Citilink, kembali ke Jakarta aku menggunakan maskapai Batik Air.
|
Bye bye Sam Ratulangi Airport |
Semoga dapat kesempatan
sekali lagi mengunjungi Manado. Biasanya kalau ada yang pertama, berikutnya ada yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar