Bisa jadi aku terlalu peduli dengan Solo sehingga perhatianku begitu detail dengan kota yang satu ini, apalagi menyangkut obyek-obyek wisata yang ada disini. Pengalaman kali ini merupakan anti klimaks dari perjalananku yang benar-benar tidak ingin terulang lagi. Tidak ada unsur benci, dongkol, atau marah atas pengalaman ini, tapi setidaknya ini menjadi pelajaran bagi diriku pribadi untuk tidak berekspektasi terlalu tinggi dengan obyek wisata yang baru diluncurkan, salah duanya yang akan aku sampaikan secara singkat di bawah ini.
1. The Heritage Palace
Obyek wisata ini baru diluncurkan sebulan yang lalu oleh pengusaha swasta yang ingin memberikan warna baru bagi pengunjung di Solo. Sepertinya sengaja dibuka di peak season Lebaran karena Solo sampai sekarang masih menjadi destinasi 'mudik' dan jalan-jalan warga Indonesia. Kontras banget dengan Jakarta yang menjadi sangat sepi di Idul Fitri. Penerbangan, kereta api, bus sudah di-booking jauh-jauh hari oleh warga Solo yang bermukim atau sekadar mencari penghasilan di ibukota. Ditambah lagi yang nekat atau 'suka' mudik dengan mobil sendiri dan para penduduk non muslim ibukota pun ikut-ikutan memanfaatkan libur panjang untuk bersenang-senang ke Solo, meskipun sebenarnya bukan itu alasannya. Faktor penyebab utama sebenarnya karena si asisten rumah tangga alias pembantu sudah pada mudik semua, jadinya tidak ada yang bersih-bersih rumah. Penyebab yang lain, Jakarta sangat sepi dan belum bisa menjadi tempat yang énak' untuk berlibur lebaran. Suasana Idul Fitri tidak bisa didapat di Jakarta, kecuali kalau kita memang tidak merayakannya atau memang hidup sebatang kara, atau memang kita lebih suka suasana yang sepi. Akibatnya, Solo menjadi sangat sibuk menyambut kehadiran 'warga baru' dari luar kota. Kendaraan berplat B hilir mudik di jalan-jalan kota Solo. Aku hanya bisa tersenyum melihat pemandangan ini. Masa' dari kota macet ketemu macet lagi??
|
The Heritage Palace, tempat hiburan baru di Solo |
|
Gedung tua dan mobil kuno sebagai daya tarik THP |
Keramaian kota Solo oleh penduduk asli dan pendatang dimanfaatkan pengelola The Heritage Palace (THP) untuk me-launching produknya. Wajar saja menurutku, karena bagi seorang pengusaha, moment ini tidak boleh disia-siakan. Ini saat yang tepat untuk memanfaatkan 'pasar' yang ada. Tapi apakah kita siap atau tidak menerima respon dari pasar? Apakah kita siap menerima dan melayani pengunjung yang datang berduyun-duyun? Apakah kita siap memberikan perhatian dan kepuasan bagi semua pengunjung? Itu yang menurutku perlu disiapkan dengan matang oleh THP dan sepertinya mereka belum siap betul menyambut tamunya.
|
Tempat parkir yang lumayan luas |
|
Seharusnya tenda-tenda tidak menutupi keindahan gedung tua |
Dengan membayar Rp 50.000 untuk tiket masuk yang harus kita beli di loket yang dibangun ála kadarnya', kita boleh menikmati fasilitas yang ditawarkan THP. Pintu masuk menjadi satu dengan pintu keluar. Petugas di depan hanya menanyakan tiket kita, lalu memberikan stempel kecil bertinta di tangan kita sebagai tanda kita telah bayar. Tiket masuk dapat kita tukar dengan segelas minuman ringan kemasan plastik di dalam gedung 3D. Oiya, THP juga menyediakan arena 3D selain mobil-mobil kuno yang di pajang di area terbuka.
|
Tiket yang bisa ditukar dengan minuman plus bonus stiker |
|
Resto di dekat pintu masuk, debu lantai harus diantisipasi |
|
Pemandangan tidak sedap yang harus segera diatasi oleh Pengelola |
Aku acungin jempol untuk pemilihan lokasi dan gedung tuanya. Konsep heritage yang vintage menjadi nyambung. Tapi jumlah mobil yang dipajang serta area untuk mempertontonkan mobil-mobil jadul sangat terbatas, bahkan sangat sempit menurutku. Apalagi THP berani mengusung promosi sebagai Museum Angkut, ekspektasiku langsung teringat Museum Angkut yang ada di Malang. Kalau boleh jujur, jauh sekali perbandingannya, baik dari sisi jumlah koleksi maupun luasannya. Meskipun yang di Malang tidak punya bangunan outdoor yang seindah THP, tapi desain interiornya lebih unggul dan boleh diacungin jempol.
|
(hanya ini) area terbuka tempat pajangan mobil kuno |
|
Petugas berkaos merah yang siap membantu pengunjung berfoto |
Aku juga menghargai upaya pengelola THP untuk mempekerjakan tenaga-tenaga muda yang stand by membantu pengunjung dalam mengabadikan atau berfoto di area pameran. Mereka menggunakan seragam casual kaos merah dan cukup ramah melayani pengunjung, namun dengan jumlah koleksi terbatas dan area yang tidak luas, serta pengunjung yang berjubel itu apakah kita bisa dengan leluasa dapat berfoto dengan nyaman? Pengunjung cenderung sulit diajak kompromi untuk bergantian. Mereka merasa punya hak untuk menikmati fasilitas disini karena mereka sudah bayar. Pekerja THP pun merasa tidak enak hati kalau harus 'menghalau' mereka saat membantu pengunjung lain yang minta difoto. Kebayang kan harus ngantri berdiri di tempat terbuka yang panas? Apalagi suhu di Solo sangat panas akhir-akhir ini, aku dan bisa jadi pengunjung lainnya benar-benar kurang nyaman berlama-lama disini.
|
Museum 3D penambah variasi hiburan |
|
Antusias pengunjung sehingga ruangan terasa sesak dan panas |
Hal lain yang perlu menjadi perhatian yaitu museum 3D. Meskipun menempati area yang luas dan menawarkan berbagai macam ilustrasi, tapi aku kurang sreg dengan material yang dipakai. Sebaiknya mereka menggunakan lukisan atau gambar tempel yang tidak glossy karena yang dipakai di THP ini hasil fotonya malah kurang hidup dan memantulkan sinar. Siapa pun pasti menginginkan punya foto yang seakan-akan menyatu dengan latar belakang gambar yang ada, makanya pemilihan material, tata cahaya ruangan dan penempelan atau seni lukis background itu menjadi prioritas.
|
Spot favorit, arena World Cup 2018 |
|
Cukup bervariasi |
|
Material gambar perlu diperhatikan |
2. Agrowisata Jawa Unik
Tempat wisata ini lebih parah dari THP. Mulai dari pintu depan sampai dengan wahana ataupun spot-spot di dalamnya, benar-benar belum siap menerima pengunjung. Mungkin tidak perlu diulas secara detail kekecewaanku setelah berkunjung disini, tapi minimal memberikan gambaran yang riil dan jujur tentang tempat ini. At least bisa menjadi pelajaran bagiku agar tidak terlalu berharap dengan obyek wisata baru dan pelajaran juga buat pengelola tempat wisata agar tidak terburu-buru meluncurkan produk dengan persiapan yang minim.
|
Brosur promosi |
Agrowisata Jawa Unik (AJU) ini baru diluncurkan di tanggal 17 Juni 2018, tepatnya di musim liburan Lebaran 2018. Awalnya aku super antusias saat mengetahui ada obyek wisata baru di Solo. Maklum, selama ini aku belum pernah punya pengalaman buruk jalan-jalan ke Solo, bahkan kota ini menjadi tempat favoritku dengan berbagai alasan. Intinya, aku ingin lebih dalam mengetahui kelebihan ataupun potensi kota ini, sama seperti saat aku memutuskan untuk berangkat ke AJU. Yang ada dibenakku saat itu adalah tempat yang berada di dataran tinggi dengan tanah yang subur dan ditumbuhi pohon-pohon rindang serta mempunyai desain landscape yang fenomenal, sehingga punya nilai komersial yang layak untuk menjadi obyek wisata. Terbayang di pikiranku, aku bisa berjalan di kebun-kebun buah dan bunga, menapaki pematang sawah, memanen beberapa buah yang sudah ranum di pohon, atau melihat cipratan air dari ikan-ikan di kolam. Tapi, apa yang kubayangkan tidak sama seperti kenyataan.
|
Pintu depan tempat pembelian tiket masuk |
|
Tiket masuk dengan harga tertulis, bukan tercetak |
|
Patung buah naga, buah aslinya belum ada |
|
Patung buah lagi |
Dengan ongkos masuk Rp 50.000 per orang yang menurutku terlalu mahal untuk ukuran Solo, pengunjung harus kecewa dengan fasilitas yang ada di AJU. Akses jalan menuju lokasi memang sudah baik, tapi jalan yang mendekati lokasi terasa sempit untuk lalu lalang mobil dan belum diaspal. Tempat parkirnya cukup luas untuk kendaraan roda empat dan roda dua, tapi petugas parkir terlihat bekerja asal-asalan, tidak menggunakan seragam, kurang cekatan membantu pengunjung memarkirkan atau mengeluarkan kendaraan dan sepertinya hanya peduli dengan uang parkir saja. Bayangkan suasana hati pengunjung siang itu yang sudah kepanasan bertemu dengan tukang parkir yang begitu? Jelas saja, kesan pertama sudah tidak baik sebelum memasuki lokasi.
|
Bagian depan luar yang masih banyak perbaikan |
|
Bagian depan dalam setelah pintu masuk |
|
Pajangan di dekat pintu masuk |
|
Bangunan 2 lantai terlihat dari halaman depan |
|
Pengunjung cukup menikmati patungnya dulu |
Di AJU terdapat bangunan 2 lantai yang berisi desain-desain interior dalam rumah. Pengunjung bisa melihat berbagai macam pahatan daun pintu, jendela, atau partisi ruangan yang semuanya terbuat dari kayu. Sayangnya, penjelasan atau pun cerita singkat dari masing-masing produk itu sangat kurang, sehingga pengunjung dipaksa memahami sendiri pajangan yang dilihat. Belum lagi pengaturan suhu di setiap ruang pameran yang kurang diperhatikan, sehingga pengunjung merasa kegerahan.
|
Mebelair kayu di lantai bawah |
|
Coba kalau ada sejarah atau cerita singkat tentang meja ini? |
|
Furniture kayu ukir di sepanjang lorong |
|
(kembali lagi) miskin informasi, pengunjung tidak mendapat pengetahuan |
Boleh-boleh saja pihak pengelola memberlakukan larangan bagi pengunjung untuk membawa makanan atau minuman dari luar, tapi bagaimana kalau pihak pengelola tidak memberikan banyak pilihan makanan dan minuman yang dijual di dalam? Saat aku berada di dalam, kulihat ada beberapa tempat untuk makan atau minum di pinggir kolam, tetapi disitu tidak ada petugas ataupun informasi menu makanan, sehingga pengunjung mengira itu sekadar tempat untuk duduk-duduk santai. Ada juga beberapa orang berseragam kaos hijau yang kutanya tentang hal ini dan mereka menjawab bahwa pengunjung boleh menempati tempat itu tapi harus pesan makanan yang ada di restaurant dekat situ. Aku pun langsung menuju restaurant. Sontak saja aku ilfil setelah melihat menu makanan yang kurang menarik dan harganya yang menurutku terlalu mahal untuk ukuran Solo yang terkenal super murah bila dibanding Jakarta.
|
Resto pinggir kolam |
|
Masih sepi atau kurang promosi? |
|
Rumah tradisional berukuran besar |
|
Yang ini berukuran kecil |
Memang aku tidak mengeksploitasi keadaan dengan menampilkan gambar-gambar buruk dari kedua obyek wisata itu dengan maksud agar kita tidak fokus pada hal-hal yang tidak baik yang hanya akan mengingatkanku atas pengalaman buruk ini. Juga aku harus tetap yakin serta memberi kesempatan kepada pengelola untuk setiap hari berusaha memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumennya. Tapi catatan pribadiku ini harus bisa jujur menuturkan kondisi yang sebenarnya yang aku lihat dan aku rasakan. Minimal adalah bukti dari penglihatanku tanpa bermaksud untuk menjelek-jelekan tempat wisata itu. Kalau orang bijak bilang, berikan informasi yang berimbang, sampaikan dengan jujur, dan selanjutnya biarkan pembaca yang menilai.
|
Kolam ikan sekaligus pasar apung |
|
Masih sepi pengunjung |
|
Spot menarik untuk foto |
|
Colorful dan eye catching |
Semoga informasi ini bermanfaat sebagai masukan buat kedua pengelola wisata THP dan AJU serta pengelola wisata lainnya, dan juga untuk pemerhati sekaligus penikmat obyek wisata dalam merencanakan tempat wisata yang akan dikunjungi. Aku berharap saat artikel ini dibaca publik, kondisi THP dan AJU menjadi lebih baik. Jangan berhenti berkarya dan memberikan yang terbaik bagi negeri ini. Maju terus pariwisata Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar