Minggu, 13 Agustus 2017

Siem Reap Cambodia (Kamboja), Dari Angkor Wat Sampai Penukaran Dollar Yang Tidak Menjadi Syarat

Mungkin sama denganku, semua orang yang telah menonton aksi si cantik Angelina Jolie dalam 'Tomb Raider', pasti ingin mengunjungi Kamboja, negara kerajaan yang punya tempat wisata mendunia, Angkor Wat.  Aksi laga di area kuil mengundang decak kagum penonton.  Bukan karena kecantikan si pemeran utamanya, melainkan kita dibuat kagum dengan lokasi shooting film itu yang membuat kita ingin melihat langsung kuil itu.  Kuil tersebut memang unik atau boleh dikatakan tidak ada di negara lain, selain Kamboja.  Keunikannya terletak pada simbiosis antara bangunan kuil dengan tanaman yang akar dan batangnya seperti mencekeram kuil.  Inilah sebenarnya kelebihan dari kuil di Kamboja.  Pohon-pohon itu bukannya merusak bangunan, malah justru memperkuat bangunan.  Tidak salah kalau produser film banyak mengambil tempat shooting di negara ini karena mereka punya banyak komplek kuil yang luar biasa menarik perhatian dunia.  


Jalan Jalan Ala Fery, you can copy it but don't own it
Icon wisata Kamboja


Meskipun tidak sebesar Borobudur, suka atau pun tidak, nama Angkor Wat lebih dikenal daripada Borobudur.  Banyak alasannya.  Sebagian orang mengatakan karena ijin menggunakan tempat wisata yang sekaligus tempat suci lebih mudah di Kamboja daripada Indonesia.  Aturan di Indonesia lebih ribet.  Ada juga yang bilang kalau kita kalah promosi wisatanya.  Kurang maksimal. Tapi aku tetap bangga dengan candi-candi yang kita miliki.  Mereka lebih terawat baik daripada candi di Kamboja.  Fakta di lapangan tidak dapat dibohongi.  Aku saksi hidup keberadaan candi-candi tersebut, makanya akan kuulas dan tampilkan gambar nyata kondisi candi-candi itu, tanpa edit dan bebas dari polesan apapun.


Jalan Jalan Ala Fery. You can copy it, but don't own it
Jalan menuju Angkor Wat

Jalan Jalan Ala Fery. You can copy it, but don't own it
Dikelilingi oleh kolam besar, makanya kita harus lewat jembatan


Tempat pertama yang kunjungi selama berada di Siem Reap justru bukannya Angkor Wat, melainkan floating village atau kampung terapung.  Aku terbayang kampung itu akan seperti yang ada di Thailand.  Ternyata tidak.  Jalan menuju kampung itu sama sekali kurang menarik.  Kita seperti dibawa ke perkampungan kumuh, kotor dan terbelakang.  Rumah-rumah di sepanjang jalan terlihat kurang terawat dengan baik.  Jalannya pun juga sama, aspal sebagian jalan terkelupas, lobang dimana-mana.  Bahkan persis mendekati dermaga untuk berperahu ke kampung terapung, jalan hanya berupa tanah diperkeras, bukan aspal atau beton, sehingga debu berterbangan saat angin datang.  


Jalan menuju Kampung terapung

Mendekati lokasi, dermaga


Kulihat beberapa perahu bersandar di pinggir sungai.  Beberapa orang memasuki perahu yang tepat berada di ujung jembatan dermaga.  Aku tidak tahu persis berapa tarif per orang untuk naik perahu.  Yang kutahu cuma Lam, supirku mengatakan bahwa aku harus bayar 25 USD dan 25.000 riel Kamboja kalau ingin sewa perahu pergi ke kampung terapung.  Mahal banget pikirku untuk ukuran Kamboja.  Tapi setelah kupikir daripada aku berdebat hanya sekadar harga yang ga cocok, kucoba memahami apa maksudnya mengapa aku harus bayar lebih mahal.  Ternyata benar dugaanku.  Aku sewa satu perahu sendirian, bukan bersama-sama dengan penumpang lainnya. Gara-gara ini yang bikin aku harus bayar mahal, pikirku.  


Perahu bersandar di pinggir sungai
Beberapa sudah siap untuk berangkat
Dermaga yang sangat sederhana


Kami berada di atas perahu yang segera meninggalkan dermaga.  Ukuran perahu yang kusewa tidaklah besar, hanya berkapasitas 20 orang.  Sang nahkoda sepertinya masih berusia muda.  Dia ramah menyapa dan memperkenalkan diri.  Lam pun mulai bercerita tentang tempat wisata ini bahwa sungai ini akan berujung ke sebuah danau besar yang juga nanti nyambung dengan sungai Mekong, sungai terbesar di Indo China.  Bila sedang pasang, air akan meluap sampai diatas dermaga dan jalan masuk ke tempat wisata ini.  Bersyukur aku pas datang saat air tidak pasang dan tidak sedang super surut alias kering. 


Sekolah
Rumah penduduk
Pengunjung yang melintasi perahuku
Gereja


Disini dapat kita temui tidak hanya rumah terapung penduduk yang mengandalkan hidup sebagai nelayan, tetapi ada juga warung, rumah makan, sekolah, kantor pemerintahan dan gereja.  Ada gedung sekolah peninggalan imigran Vietnam dan ada bangunan yang didirikan atas bantuan negara asing.  Kamboja memang negara yang banyak menerima bantuan asing.  Sepanjang aku di Siem Reap, hampir semua candi disini untuk biaya restorasi-nya diperoleh dari bantuan/hibah dari luar negeri.  Namun sebagian orang Kamboja yang kutemui mengatakan bahwa korupsi masih merajalela di negara ini.  Industri pariwisata sebagai penyumbang terbesar kedua setelah pertanian, tidak dapat berbuat banyak.  Aksesibilitas ke tempat wisata masih jelek.  Bangunan peninggalan tidak terawat dengan baik, penduduk kurang peduli karena mereka masih dipusingkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari.  Harusnya hal ini menjadi pelajaran bagi pemerintah Indonesia yang gencar menarik wisatawan asing ke Indonesia


Gedung bantuan Korea Selatan
Kantor Polisi
Mini market


Spot paling menarik di floating village ini sebenarnya adalah sunset atau matahari tenggelam.  Karena Kamboja tidak memiliki obyek wisata pantai, makanya panorama sunset hanya dapat dinikmati di atas danau.  Tapi, aku tidak mau menghabiskan waktu seharian di kampung terapung ini hanya untuk sekadar melihat matahari tenggelam.  Lebih baik aku habiskan waktu menjelajahi sebanyak mungkin tempat wisata disini, apalagi aku 'selalu' tidak punya banyak waktu.  Alih-alih menunggu sunset, aku malah menemukan obyek menarik di kampung terapung ini yaitu penangkaran buaya.  Tepat di pos terakhir sungai ini ada area paling bawah dari bangunan bertingkat tiga ini yang digunakan untuk peternakan buaya.  Jumlahnya banyak sekali dan dipisah antara yang masih balita dengan yang dewasa karena dikhawatirkan yang tua akan melahap yang muda.  Disini juga disediakan daging buaya yang telah dikeringkan atau siap untuk diolah, serta produk-produk kerajinan tangan dari kulit buaya yang harganya diatas 1000 dollar semua.


Menuju pos terakhir
Penangkaran buaya di pos terakhir
Berpose untuk pengunjung
Mereka menyediakan daging ular juga


Tempat kedua yang kukunjungi, tidak lain dan tidak bukan, Angkor Wat.  Orang tidak akan tahu dan percaya kalau kita sudah pergi ke Kamboja bila belum berkunjung dan berfoto di Angkor Wat karena memang kuil ini menjadi icon, simbol atau landmark dari Kamboja.  Makanya semua wisatawan bila datang ke Kamboja tidak akan melewatkan waktunya untuk berkunjung ke Angkor Wat.  Menempati area seluas 163 hektar, kuil hindu ini dibangun sejak abad 12 Masehi oleh Raja Suryawarman dan diselesaikan oleh generasi berikutnya, Raja Jayawarman VII. Angkor berarti City, sedangkan Wat berarti Monastery.  Jadi Angkor Wat adalah Monastery City atau kota peribadatan para pemuka agama hindu saat itu.  Ada juga yang mengartikan sebagai kota suci karena kuil besar ini dihuni oleh orang-orang suci.  Di sekeliling kuil dibangun kolam besar yang berfungsi sebagai penampung sumber mata air, irigasi, beternak ikan dan penghalang bagi musuh yang mau menyerang kota.  Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Angkor Wat, mereka harus beli tiket terlebih dahulu di gedung pemerintahan yang berdekatan dengan museum nasional Angkor.  Bila beli tiket untuk kunjungan 1 hari, kita harus bayar 37 USD per orang, tetapi kalau ingin 2 hari atau 3 hari, tarifnya sama yaitu 62 USD per orang.  Tiket yang kita beli ini tidak untuk berkunjung ke Angkor Wat saja, melainkan ke semua candi atau kuil yang ada di Siem Reap.  Dan tiket itu pun tidak bisa dipalsukan karena disamping ada tanggal berlakunya, di tiket itu juga ada foto close up kita.  Apalagi di setiap tempat wisata selalu terdapat petugas berseragam ungu yang mengecek tiket.


Tempat pembelian tiket ke komplek Angkor (seluruh kuil)
Tidak ada yang untuk 2 hari, harganya sangat murah
Tampak dari luar
Pintu gerbang
Menuju kuil utama
Jalan menuju kuil


Karena tempat ini bersejarah bagi penganut agama Hindu, tidak mengherankan banyak wisatawan berwajah India datang kesini.  Mereka ingin mengetahui cerita dan bukti nyata peninggalan para pemuka agama mereka.  Tapi anehnya, aku tidak menemukan pemuka agama Hindu disana.  Yang ada malah biksu-biksu agama Budha.  Seragam warna kuning dan kepala plontos sudah cukup menjelaskan siapa mereka.  Konon kabarnya, di pertengahan sejarah para raja beralih agamanya menjadi penganut Budha.  Jadi jangan heran kalau di kuil-kuil hindu ini kita temui patung-patung budha.


Gerbang utama depan
Bangunan di antara jalan masuk menuju kuil utama
Konon tempat ini menjadi holding area, terima tamu
Suasana di dalam kuil
Koridor-koridor di dalam


Spot terbaik untuk berfoto di Angkor Wat adalah persis di depan kolam dalam.  Lokasi kolam itu tepat berada di samping kiri bangunan inti bila kita menghadap kuil.  Pengunjung harus masuk dulu dan berjalan menuju kuil utama.  Di samping kolam terdapat tempat penjualan souvenir dan cafe terbuka.  Tempat itu sangat teduh karena pohon-pohon besar yang rindang.  Biasanya wisatawan menjadikan tempat itu untuk tempat rehat sebelum atau sesudah mengelilingi kuil.  Hasilnya, seperti foto yang kutampilkan di depan itu.  Refleksi bangunan terlihat di atas permukaan kolam. 


Jalan Jalan Ala Fery. You can copy it, but don't own it
Ini spot terbaik mengambil gambar yang aku maksud
Kuil utama tampak dari samping
Luar biasa, mereka sudah bisa membangun kuil bertingkat 5
Sembahyang cara Budha di kuil Hindu
Terlihat dari samping kiri halaman belakang
Bagian belakang Angkor Wat



Selanjutnya aku menelusuri semua kuil bersejarah peninggalan para raja di Kamboja.  Percaya atau tidak semua itu kuil Hindu tetapi sudah berubah fungsi menjadi kuil Budha.  Setelah Angkor Wat, aku datang ke Prasat Kravan yang dibangun oleh Raja Ishanawarman II di abad ke 10.  Candi ini tidak jauh lokasinya dari Angkor Wat, tapi ukurannya sangat jauh berbeda.  Sangat kecil, lebih mirip gerbang perbatasan suatu daerah.  Pengunjung lebih sering hanya mengambil gambar lalu pergi.


Jalan Jalan Ala Fery. You can copy it, but don't own it
Prasat Kravan


Tujuan berikutnya, Banteay Kdei, candi yang dibangun pada masa kejayaan Raja Jayawarman VII ini ukurannya lebih besar dari Prasat Kravan, tetapi masih kalah besar dengan Angkor Wat.  Halaman depan kuil dipenuhi oleh penjual souvenir. Mereka khususnya anak-anak dibiarkan menjajakan barang dagangan.  Fenomena menyedihkan sebuah negara berkembang.  Tempat parkir kendaraan tidak tersedia, maksudnya kendaraan kita bebas parkir dimana saja.  

Gerbang depan atau belakang?
Harus jalan dulu sebelum ketemu candi yang dituju
Pintu gerbang yang kumasuki tampak dari belakang
bangunan yang tinggal puing-puing di kanan kiri jalan
Konon katanya ini tempat sembahyang para biksu


Kalau dilihat dari gerbang depan, kuil ini terlihat kecil.  Kita dipaksa jalan kaki sekitar 200 meter sebelum menemukan keunikan Banteay Kdei.  Tidak itu saja.  Ternyata area kuil memanjang jauh dan mempunyai 2 pintu gerbang.  Pintu gerbang yang kumasuki itu ternyata bagian belakang kuil, makanya aku banyak menemui turis yang jalan berlawanan arah denganku.


Kuil utama Banteay Kdei
Serba Budha di dalam kuil Hindu itu
Menuju bangunan belakang
Samping kanan dalam
Bangunan depan
Dari samping kiri


Disini aku sedikit terbantu dengan 'guide' dadakan yang dari pintu depan sepertinya sudah mengincarku.  Sebenarnya aku sudah merasakan gelagatnya dan sudah mengira bahwa dia akan mengambil keuntungan dengan penjelasannya.  Tapi ga masalah bagiku, toh aku memang butuh penjelasan tentang keberadaan kuil ini.  Si 'guide' menjelaskan bahwa kuil ini populer karena Angelina Jolie, meskipun dia salah pronounciation saat menyebut nama aktris terkenal itu.   Kuakui, aku terbantu dengan cerita dia misalnya pahatan di tiang atau pilar candi yang menggambarkan beberapa gerakan tarian.  Katanya di candi ini dulu sering diadakan pesta atau pertunjukkan seni tari. Dia juga memberi tahu sudut pengambilan gambar yang terbaik dari semua bangunan di candi ini.  So, murah kan dengan 1 dollar sudah dapat 'guide' dadakan?


Mendekati bangunan tengah
Dinding pilar yang banyak pahatan pose tarian masa itu
Bangunan penanda Banteay Kdei

Ciri khas kuil Hindu
Menuju keluar


Kita bisa berlama-lama di Banteay Kdei karena kuil ini menempati area yang cukup luas dan memiliki banyak bangunan yang unik untuk diabadikan.  Namun sayang, aku harus mengatur waktu dengan sangat bijak.  Perjalananku harus segera dilanjutkan.  Sasaran berikutnya, Ta Phrom.  Kata orang, inilah candi yang paling unik dan lokasi utama pengambilan gambar film Tomb Raider.  Kenapa?  Karena disinilah kita dapat melihat simbiosis mutualisme candi dengan tanaman.  Simbiosis menciptakan suatu pemandangan yang luar biasa mengagumkan.  Semua akan kuceritakan plus gambar-gambar bukti nyata. 


Halaman depan menuju kuil
Ruangan belajar para mahasiswa
Renovasi atas bantuan Pemerintah India
Banyak area yang perlu diperbaiki
Puing-puing yang akan disusun kembali dalam renovasi
Bagian yang telah direnovasi


Kuil ini dibangun sekitar abad ke-12 dan membutuhkan waktu delapan tahun sampai seluruh desain terwujud.  Raja Jayawarman VII adalah otak dari pembangunan kuil ini yang dipersembahkan kepada sang ibunda tercinta, makanya orang Khmer menyebut kuil ini sebagai King's Mother temple.  Kuil Ta Phrom ini melengkapi atau sebagai pasangan dari kuil Preah Khan yang dibangun sebelumnya dan dikenal sebagai King's Father temple.  


Ruangan dalam yang penuh dengan lorong-lorong
Tower di bagian tengah
Keunikan Ta Phrom yang dipertahankan
Jangan sampai hancur karena tidak dirawat
Bagian yang masih baik kondisinya
Gedung perpustakaan di bagian depan


Kuil Ta Phrom berfungsi sebagai tempat suci para rohaniwan dan sekaligus sebagai tempat menuntut ilmu sekelas universitas di masa itu.  Makanya disini banyak ditemukan ruangan-ruangan kelas, tempat istirahat dan tempat tinggal seperti asrama bagi para mahasiswa.  Juga perpustakaan terbesar di masa itu ada di kuil ini.  Lokasi Ta Phrom sangat jauh dari pusat kerajaan karena Raja Jayawarman sengaja ingin membangun tempat pendidikan yang jauh dari keramaian agar mahasiswa dan para rohaniwan dapat fokus, tidak terganggu oleh kehidupan duniawi.  Kuil ini benar-benar menyatu dengan alam.  Hal ini yang menjadi daya tarik utama dari Ta Phrom.  Simbiosis yang kuat antara kuil dengan tanaman (alam) dan inilah yang membuat sutradara Tomb Raider memilih Ta Phrom sebagai pilihan utama lokasi syuting Angelina Jolie.


Spot favorit-1
Spot favorit-2
Spot favorit-3
Spot favorit-4
Spot favorit-5
Action favorit haha.......!!


Lelah menelusuri setiap sudut Ta Phrom, aku break sebentar untuk makan siang di Jungle restaurant yang letaknya tidak jauh dari pintu depan Ta Phrom.  Restaurant ini terlihat mungil dari depan, tapi setelah masuk ke dalam, ternyata bangunannya memanjang ke belakang.  Desain ruangan terlihat sederhana tapi terasa nyaman di dalam.  Putaran kipas angin lumayan menghapus hawa panas di luar.  Aku tidak sempat memotret makanan dan minuman yang kusantap siang itu karena terlalu lapar dan haus.  Yang pasti, perlu dicoba makan salad mangga muda dan gulai nanas-nya, hmm...laziz...!!


Setiap meja selalu ada keranjang sampah

Bersih dan nyaman


Tempat wisata selanjutnya yang kukunjungi yaitu Ta Keo, candi besar tapi tidak terlalu terkenal.  Disamping tempatnya yang jauh di dalam hutan dan tidak memiliki akses khususnya signage yang jelas, kuil ini sepertinya tidak menjadi destinasi yang dipromosikan oleh Pemerintah Kamboja. Padahal Ta Keo usianya lebih tua daripada Ta Phrom karena kuil ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Jayawarman V.   Dan bangunan kuil ini sangat menarik bagiku karena bentuknya lebih menyerupai bangunan candi di Indonesia.  Untuk restorasi dan mempercantik kuil ini Pemerintah Kamboja mendapat bantuan dari China.


Ta Keo yang terpencil itu

Tidak kalah indah dengan kuil-kuil yang lain



Nasib Ta Keo tidak jauh berbeda dengan Ta Nei.  Bahkan menurutku lebih dramatis karena meskipun lokasinya tidak jauh dari Ta Keo, tapi suasananya lebih sepi.  Tidak terbayang bagaimana kalau cuaca sedang mendung dan hujan, suasana menjadi makin menyeramkan.  Untungnya waktu kesana aku sempat bertemu dengan satu grup pebalap sepeda, sehingga perasaan ngeri itu mulai hilang.  Dan setibanya di lokasi, beruntung ada 2 orang yang sepertinya mereka tinggal di rumah yang ada di bagian samping belakang kuil.  Tapi aku menyarankan bagi yang jalan sendirian dan belum kenal daerah ini, sebaiknya hati-hati, jangan sampai tersesat atau sebaiknya datang bersama rombongan besar dan siang hari.  


Bentuknya jauh lebih kecil dari Ta Keo
Punya kemiripan dengan Ta Phrom
Mendapat bantuan dana pemugaran dari Jepang
Pintu belakang kuil
Dibangun oleh Raja Jayawarman VII


Selanjutnya aku mengunjungi Chau Say Tevoda (CST) dan Thommanon yang lokasinya sama dan saling berhadapan posisinya.  Ada yang mengatakan bahwa kedua kuil ini kembar, tapi setelah datang dan melihat sendiri, aku tidak melihat kemiripan dari kedua kuil hindu ini.  Chau Say Tevoda dibangun di pertengahan abad 12 oleh Raja Suryawarman II dan diselesaikan oleh Raja Jayawarman VII, raja yang sangat berpengaruh dan paling sering menorehkan namanya dalam sejarah kuil-kuil di Kamboja.  


CST-1

CST-2

CST-3


Sedangkan Thommanon temple menempati dataran yang lebih tinggi dari Chau Say Tevoda.  Thommanon lebih cenderung mengedepankan unsur female karena disini banyak pahatan sosok perempuan di hampir setiap dinding kuil.  Oiya, orang Khmer menyebut pintu depan kuil itu Gopura.  Katanya itu istilah yang juga dipakai di jaman raja-raja tempo dulu.  Beda tipis dengan bahasa kita, gapura.


Thommanon-1
Thommanon-2
Thommanon-3
Thommanon-4


Berjarak sekitar 500 meter dari Thommanon dan Chau Say Tevoda, terdapat Victory gate yang bersejarah itu. Victory gate atau gerbang kemenangan merupakan salah satu dari 5 gerbang yang dibangun oleh Raja Jayawarman VII.  Di bagian atas gapura dipahat 4 kepala sang raja sedang tersenyum menghadap ke 4 arah mata angin..


Lihat bagian atas gapura

Victory gate terlihat dari jauh


Memang Kamboja dapat dikatakan berhasil 'menjual' kekayaan candi-nya.  Meskipun sebagian besar dalam kondisi menyedihkan dan membutuhkan 'uluran tangan' dari pihak luar, tempat-tempat wisata ini tidak pernah sepi dikunjungi oleh wisatawan.  Pemerintah Kamboja 'tidak malu' menerima bantuan dari negara luar untuk membiayai program restorasi semua candi.  Salah satunya, candi Bayon.  Menempati area yang tidak seluas Angkor Wat, Bayon memiliki keunikan tersendiri yaitu tower atau menara candi yang ada disini dipenuhi dengan 216 wajah sang raja.  Bayon merupakan candi utama bagi penganut agama Budha Mahayana.



Tampak depan
Bangunan bagian dalam
Pilar yang gagah dan megah
Tampak samping
Perhatikan bagian atas tower
Favorite pose semua wisatawan, kissing me


Di sisi luar candi, tepatnya di bagian dinding dipahat relief kisah sang Raja Jayawarman VII saat menjamu tamunya, juga saat beliau mempertahankan kerajaan dari serangan musuh.  Strategi perang sang raja tergambar jelas di pahatan dinding, betapa beliau sangat cerdik dengan membuat jebakan-jebakan dan 'memberdayakan' buaya yang siap mencabik-cabik tubuh musuh yang jatuh ke sungai di sekitar istana.


Relief di dinding
Menara-menara candi menunjukkan kemegahan
Mendekati salah satu ruangan
Patung Budha di dalam candi
Wajah Raja Jayawarman VII
Ada dimana-mana


Persis di depan Bayon, terdapat Baphuon temple yang tidak kalah menarik bentuknya.  Ini satu-satunya candi yang jalan masuknya seperti fashion show runway atau jalan para model memperagakan busana.  Kita harus jalan sekitar 200 meter sebelum memasuki bangunan utama candi.  Baphuon dibangun di pertengahan abad 11 oleh Raja Udayadityawarman II yang ingin mempersembahkan candi ini untuk Dewa Shiwa.


Pintu gerbang menuju Baphuon


Runway entrace yang panjang itu


Masih di area Angkor Thom, selain Bayon dan Baphuon, yang menjadi destinasi para wisatawan yaitu istana Raja Jayawarman VII, Phimeanakas dan the terrace of elephants atau teras gajah.  Disebut teras gajah karena disepanjang 350 meter dinding gapura timur dipahat relief pasukan ber-gajah kebanggaan Raja Jayawarman VII yang berhasil memenangi pertempuran. Yang sangat disayangkan adalah istana Phimeanakas yang dibangun oleh Raja Rajendrawarman di akhir abad 10 dan diselesaikan oleh Raja Suryawarman I.  Istana itu didiami oleh raja-raja Angkor sampai di masa kejayaannya yaitu di masa pemerintahan Raja Jayawarman VII. Sayangnya, kondisi istana tinggal puing-puing, tidak terlihat kemegahannya layaknya sebuah istana.




Sisa-sisa kemegahan istana Phimeanakas

Teras gajah


Dari area Angkor Thom aku keluar komplek candi ini melalui gerbang Selatan.  South gate ini salah satu gerbang yang juga menjadi tempat yang tidak dilewatkan oleh wisatawan karena disini ditunjukkan 2 sifat manusia.  Di sepanjang jalan atau jembatan berjajar patung setengah badan.  Sebelah kiri bila dilihat dari arah jalan, terlihat wajah-wajah yag ramah, senyum, menggambarkan sosok sang Divas.  Sedangkan di sisi kanan terlihat wajah-wajah jahat, marah, cemberut, menggambarkan sosok sang Demons.  Maksudnya kalau kita keluar dari istana, ada 2 pilihan hidup, menjadi orang baik atau orang jahat.


South gate yang sarat arti

Wajah-wajah sang Divas

Kebalikannya, wajah-wajah sang Demons


Kuil berikutnya yang kukunjungi yaitu Baksei Chamkrong.  Meskipun berada di pinggir jalan raya, tapi kuil ini kurang menarik bagi wisatawan.  Padahal bentuknya unik sekali.  Pintu masuknya sangat tinggi seperti tempat sembahyang suku Indian di Amerika Latin.  Yang paling kuingat di tempat ini adalah aku sempat tertawa terbahak-bahak sampai Lam, supirku pun ikut tertawa.  Ada wanita bule yang mungkin ingin memanjat naik ke puncak kuil, tapi di tengah perjalanan dia mengalami kesulitan turun, apalagi dia ribet dengan gaunnya.  Aku mengetawakan kenekatannya, sotoy atau rasa percaya dirinya yang berlebihan. Sudah jelas tangga ke puncak kuil itu sangat curam, rapuh dan sangat beresiko, tapi dia tetap memaksa diri naik.  Semoga si bule nekat ini belajar dari kesalahannya.


Lihat perempuan yang sedang nekat memanjat

Sering dilewatkan wisatawan


Perjalanan selanjutnya ke candi Phnom Bakheng.  Ini perjalanan terberat selama mengunjungi candi-candi di Siem Reap Kamboja.  Aku harus berjalan kaki mendaki bukit yang curam dan jauh sekitar 400 meter.  Karena lokasinya diatas bukit makanya candi ini disebut Mountain temple.  Aku tertarik ingin melihat Phnom Bakheng karena ini candi satu-satunya yang mendapat bantuan dari Amerika Serikat untuk biaya restorasi.  Penasaran, mengapa candi yang didirikan di abad ke-9 oleh Raja Yasowarman ini menarik perhatian Amerika.  Kalau dilihat dari bentuknya, candi ini mirip Borobudur, model-nya berundak dan menempatkan satu menara di tengah candi.  Bedanya, Phnom Bakheng adalah candi Hindu untuk persembahan dewa Shiwa, makanya tidak punya stupa seperti kebanyakan candi-candi Budha di Indonesia.


Jalan menuju candi Phnom Bakheng
Tepat berada di puncak bukit
Tangga pendakian itu yang membuatku nyerah
Dalam masa restorasi atas bantuan Amerika

Candi berikutnya yang kukunjungi yaitu Banteay Srei.  Lokasinya jauh dari kedua komplek Angkor, Wat dan Thom.  Wisatawan memang jarang mengunjungi candi yang berada diluar komplek.  Kebanyakan mereka sudah cukup puas bila hanya mengunjungi Angkor Wat dan Angkor Thom. Hal ini tidak berlaku bagiku.  Aku harus memaksimalkan waktu jalan-jalanku dengan menyinggahi sebanyak-banyaknya destinasi wisata.  Bilamana perlu ke tempat-tempat menarik yang masih perawan atau belum dipromosikan sebagai destinasi wisata oleh pemerintah negara tersebut.  


Candi Hindu untuk persembahan ke Dewa Shiwa

Mungil tapi indah


Cukup dengan menunjukkan tiket terusan Angkor complex, kita bisa masuk ke Banteay Srei.  Di halaman depan terdapat informasi beberapa candi di dunia.  Yang sangat membanggakan, Borobudur disebut sebagai candi terbesar di dunia. Banteay Srei merupakan candi satu-satunya yang tidak dibangun oleh raja atau kelurga kerajaan, melainkan dibangun oleh Bangsawan kaya raya, Wisnukumara dan Yadnawarana yang bertugas sebagai penasihat Raja Rayendrawarman II.  Candi ini juga unik karena berwarna coklat kemerahan.  Konon katanya terbuat dari batu pasir merah.


Dijuluki sebagai Citadel of Women

Juga disebut sebagai Jewel of Khmer Art

Selain Banteay Srei, ada juga nama candi yang menggunakan nama Banteay yaitu Banteay Samre. Candi Hindu yang dibangun oleh Raja Suryawarman II ini mirip seperti Angkor Wat ukuran mini.  Bentuk menara, gapura dan batu yang digunakan pun sama.  Bagaimanapun juga, candi ini masuk dalam daftar tempat yang harus kudatangi di Siem Reap.


Pintu samping candi
Dari luar kelihatan besar dan megah
Bagian dalam Banteay Samre
Menara utama di area tengah
Sisa peninggalan ada di dalam candi


Sebagaimana acara jalan-jalanku, aku tidak melulu hanya ingin tahu tempat-tempat menarik di suatu negara, tapi aku selalu ingin mencoba masakan khas lokal dan bergaul dengan orang setempat juga.  Aku menghindari makan makanan yang bukan asli dari daerah itu, misalnya tidak mungkin aku makan makanan Itali di Kamboja, atau makan bebek Peking di Siem Reap.  So, aku juga melakukan wisata kuliner.  Salah satu yang ingin aku share dengan pemirsa blog-ku yaitu Rom Chong Angkor.  Aku singgah kemari di tengah perjalanan menuju Banteay Samre.  Lam, supirku ternyata makin paham apa yang aku mau.  Rom Chong ternyata tempat yang tepat dan berhasil memuaskan selera makanku.  Dan restaurant ini pun juga ramai didatangi oleh turis asing.  Artinya aku tidak salah mampir kesini.  Rasa makanannya top banget!!


Papan nama restaurant yang dibuat sangat sederhana
Semua pengunjungnya turis asing
Juice kacang mede dan ayam goreng mangga muda
Menu ikan-nya pun lezat banget

Langkah kaki belum mau berhenti untuk bergerak terus menelusuri satu persatu candi di Siem Reap.  Sekarang aku mengunjungi East Mebon temple.  Candi Hindu yang dibangun pada abad ke-10 oleh Raja Rayendrawarman ini mempunyai ciri khas 3 menara dibagian tengah.  Dari ukurannya, candi ini sebenarnya lumayan besar, tetapi sepertinya candi ini tidak banyak dikunjungi oleh wisatawan.  Saat aku datang, terlihat sedikit turis asing di tempat itu.  Tapi tidak masalah bagiku, setiap orang punya preferensi masing-masing dalam menetapkan agenda perjalanan.


Menuju halaman tengah candi

3 menara utama di tengah

Halaman samping

Dari East Mebon aku selanjutnya pergi ke Prasat Ta Som.  Candi ini dibangun oleh Raja Jayawarman untuk ayahnya, Dharanindrawarman II.  Dari depan terlihat kecil bangunannya, makanya aku tidak keberatan saat supirku mengatakan akan menungguku di pintu keluar.  Tak apalah, paling juga sebentar pasti sudah ketemu pintu keluar.  Ternyata, Ta Som sangat luas dan areanya memanjang jauh.  Hampir setengah jam aku menghabiskan waktu untuk melihat setiap sudut candi, mengambil gambar dan berjalan keluar.  Dan ternyata supirku menurunkan aku di pintu belakang karena saat aku keluar, jalan yang kutemui lebih lebar dan ramai.  


Gapura pertama yang kumasuki

Masuk ke bagian dalam candi

Bangunan di bagian tengah


Berikutnya aku mendatangi candi yang benar-benar kecil ukurannya.  Neak Pean nama candi itu.  Keunikan dari candi ini, kita harus berjalan kaki di atas jembatan kayu yang dibangun di atas rawa-rawa.  Kira-kira 200 meter panjang jembatan kecil itu.  Tidak ada hand rail di sisi kanan dan kiri jembatan, jadi pengunjung harus hati-hati berjalan.  Neak Pean dibangun oleh Raja Jayawarman VII menyerupai danau suci di Himalaya yang airnya ampuh menyembuhkan berbagai macam penyakit.  Bentuk bangunannya seperti kepala naga yang muncul di atas permukaan danau.


Jembatan menuju candi Neak Pean

Inilah candi yang super mungil itu

Danau buatan yang lebih mirip kolam

Candi terakhir yang kudatangi di Siem Reap adalah Preah Khan. Sekali lagi Raja Jayawarman VII ingin menunjukkan kepada rakyatnya rasa cinta dan hormatnya kepada orang tua dengan cara membangun istana untuk mereka.  Candi ini sepertinya kurang menarik minat pengunjung.  Meskipun tempatnya tidak terpencil seperti Ta Nei, tetapi jumlah wisatawan yang datang tidak banyak.  Padahal Preah Khan merupakan salah satu masterpiece sang raja. 


Dari luar terlihat kecil
Ternyata memanjang ke belakang
Mirip dengan Ta Phrom
Luas areanya
Beberapa bagian masih utuh

Selain mengunjungi candi-candi yang ada di Siem Reap, menikmati makanan lokal, aku juga tertarik untuk mengunjungi salah satu tempat wisata yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Kamboja yaitu Kulen water fall atau air terjun Kulen.  Lokasinya sangat jauh dari hotel tempatku menginap.  Kurang lebih 2 jam aku menempuh perjalanan ke Kulen.  Untuk berkunjung ke tempat ini kita harus memiliki tiket masuk yang tidak harus dibeli di pintu masuk lokasi melainkan dapat dibeli di counter wisata di kota.  Juga tempat ini memberlakukan ketentuan 'buka tutup' wisatawan yang akan berkunjung.  Maksudnya, mulai dari pagi subuh sampai pukul 11.30 waktu setempat (sama dengan WIB) adalah waktu buka bagi kendaraan dari bawah menuju puncak bukit dimana air terjun itu berada.  Tidak diperbolehkan kendaraan mengambil jalur turun, kecuali petugas atau warga setempat yang banyak menetap di puncak bukit sekitar air terjun.  Makanya kalau mau berkunjung ke tempat ini harus pagi-pagi benar berangkat supaya dapat kesempatan sampai di tempat masih di jam buka.  Sedangkan arus kendaraan turun dimulai jam 12.00.


Loket tiket masuk di depan pintu gerbang
Petugas dengan portal masuk area Kulen
Jalan sempit dan sepi
Sebagian besar jalan tanah


Sebelum melihat air terjun Kulen, sebaiknya terlebih dahulu berkunjung ke tempat peribadatan yang berada di sekitar air terjun. Disini ada patung Budha besar dengan posisi sedang tiduran,  Patung tersebut diletakkan di dalam sebuah rumah yang dibangun di atas bukit.  Jadi kita harus menaiki tangga untuk dapat mencapai lokasi.  Untungnya tidak terlalu tinggi, sehingga kita tidak terlalu terkuras tenaganya. 


Pasar di kaki bukit menuju tempat peribadatan
Patung Budha di atas bukit
Masih berada di bawah tangga menuju puncak
Tangga menuju 'rumah' Budha
Inilah patnng Budha berukuran besar
Wajah Sang Budha
Rumah ibadah di puncak tempat patung Budha terbesar berada



Ada kondisi yang ironis saat mengunjungi tempat peribadatan yaitu pengemis yang memadati di setiap tangga menuju puncak.  Tampang dan penampilan mereka menyedihkan.  Belum lagi anak-anak kecil dan orang tua renta yang menawarkan dagangannya.  Gambaran kemiskinan yang mayoritas dialami oleh negara-negara sedang berkembang.


Pengemis di pinggir tangga
Wajah memelas minta sedekah
Patung Budha di sekitar puncak
Air suci yang katanya bisa bikin awet muda
Umat Budha sedang sembahyang
Lihat tangga sebelah kanan

Suasana hatiku tidak langsung berubah saat tiba di lokasi air terjun khususnya air terjun yang kedua.  Air terjun yang pertama berada di bagian atas dan tidak tinggi kucuran airnya, sedangkan air terjun yang menjadi perhatian wisatawan adalah yang kedua yang berada di lembah yang tidak jauh dari lokasi air terjun yang pertama.  Tidak seperti yang kubayangkan, jalan menuju air terjun hanya dibuat ala kadarnya, tidak diaspal atau diperkeras.  Belum lagi tangga turunan yang curam dan kita harus berjalan di atas batu-batu besar pinggir sungai yang licin.  Wah, pokoknya lumayan pegal dan was-was dibuatnya.  Dan yang mengecewakan ternyata air terjun itu tidaklah tinggi dan airnya terlihat berwarna coklat karena dasar tanah di kubangan penampung air terjun sebelum mengalir ke sungai berupa pasir coklat.  Kalau kita tidak tahu mungkin enggan mandi atau berendam di kubangan itu.  Tapi anehnya, tempat ini ramai oleh bule-bule dari Eropa dan Amerika.  Bahkan ada yang mengajak anak-anaknya ikut berenang disana.  Kalau diperhatikan baik-baik, air terjun di Indonesia lebih baik, tapi mengapa turis asing kurang berminat datang?  


Air terjun pertama
Seperti air terjun buatan karena sangat rendah
Tangga turunan menuju air terjun kedua
Sudah terlihat kucuran air-nya
Batu-batu besar di sepanjang lokasi
Jalan kayu ala kadarnya
Inilah air terjun Kulen, lihat warna airnya
Bayar 1 dollar untuk sewa locker


Selama di Siem Reap Kamboja, aku menginap di hotel Kouprey.  Lokasinya dekat dengan bandara, tetapi jauh dari pusat kota.  Ini bukan hotel bintang 5, tetapi banyak mendapat ulasan yang sangat baik dari para tamu yang pernah menginap disini.  Desain bangunan dari luar terlihat sederhana dengan bangunan kecil di depan yang berfungsi sebagai restaurant sekaligus tempat sarapan.  Kolam renang ukuran sedang ditempatkan di sepanjang jalan masuk ke pintu hotel.  Petugas hotel sangat ramah dan berseragam khas pakaian lokal.  Area lobby lumayan luas dan diletakkan patung kerbau sawah besar yang dalam bahasa Kamboja disebut Kouprey.


Gerbang depan hotel
Kolam renang yang nyaman
Jalan menuju pintu hotel
Patung 'Kouprey' di tengah lobby
Area lobby yang luas


Kamboja memang gencar mempromosikan diri sebagai negara kaya candi, meskipun fakta dan data menunjukkan bahwa kita, Indonesia mempunyai lebih banyak candi daripada Kamboja.  Coba kalau ada program wisata candi, lalu dibuat mudah aksesibilitas khususnya transportasi ke candi-candi tersebut, lalu wisatawan dibuat berkesan dengan penampilan candi yang terawat baik dan dilengkapi dengan petunjuk yang 'ramah internasional', aku yakin akan semakin banyak turis mancanegara yang berkunjung ke Indonesia.  Ramah internasional itu maksudnya bahasa Inggris.  Indonesia kurang ramah bagi orang asing.  Papan petunjuk lebih cenderung hanya berbahasa Indonesia.  Lihat petunjuk di jalan raya, hampir semuanya bahasa Indonesia, apalagi jalan kecil di desa atau jalan menuju tempat candi-candi itu yang cenderung terpencil keberadaanya.  Ini yang menunjukkan belum sinkron antara Kementerian Pariwisata yang gencar ingin menarik turis sebanyak-banyaknya ke Indonesia dengan ketentuan Pemerintah yang mengharuskan semua petunjuk menggunakan bahasa Indonesia. 


Banteay Srei-1

Banteay Srei-2


Tapi ada juga yang tidak perlu kita tiru dari Kamboja yaitu mata uang sebagai alat transaksi.  Di Kamboja, kita dapat dengan bebas menggunakan uang dollar Amerika karena Pemerintah Kamboja memberikan kebebasan kepada masyarakat dan orang asing melakukan transaksi dengan dollar, meskipun mereka punya uang lokal yaitu Riel.  1 dollar Amerika dihargai 4.000 Riel.  Semua restaurant yang kukunjungi, loket masuk tempat wisata, bahkan supir tuk-tuk pun memasang tarif dengan dollar.  Mata uang lokal kalah pamor dengan mata uang asing, padahal bagaimana pun juga, mata uang suatu negara adalah harga diri dan kekuatan sebuah Pemerintahan.  Bagaimana negara itu punya harga diri bila masyarakat-nya lebih suka menggunakan mata uang negara lain?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar