Senin, 11 September 2017

Sensasi Puncak Becici dan Merapi


Adalah perusahaan ditempatku bekerja mengadakan acara jalan-jalan ke Yogyakarta sebagai agenda puncak dari rapat kerja teknis salah satu direktorat.  Kami mengunjungi beberapa tempat wisata dan menjelajahi kulineri makanan Jogja.  Namun aku hanya menampilkan acara yang penuh sensasi saja yaitu saat mengunjungi Puncak Becici dan bersafari jeep ke puncak Merapi.  Kenapa Puncak Becici? Karena menurutku ini seperti sudah menjadi tren wisata saat ini.  Orang masih senang bernarsis diri mengambil gambar dengan background menantang.  Maksudnya, mereka tidak hanya sekadar mengabadikan pemandangan, tetapi mereka ingin yang sedikit menantang untuk mendapatkan latar belakang yang menawan itu.  Terkadang mereka harus berdiri di pinggir jurang atau berada di ketinggian.  Jadilah, beberapa tempat sekarang menyajikan spot-spot foto yang sedikit adu nyali, termasuk di Puncak Becici.


Gubuk di atas tebing


Lumayan jauh menuju Puncak Becici dari hotel tempatku menginap.  Tiba di lokasi menggunakan bus ternyata punya cerita tersendiri.  Tempat parkir terbatas dan berupa tanah diatas permukaan yang mempunyai sempadan curam.  Space yang tersedia membuat manuver bus berbahaya bila sang sopir tidak hati-hati mengendalikan stir.  Bisa-bisa bus jatuh terguling ke bawah.


Persis di atas jurang
Yang takut ketinggian jangan mencoba yang satu ini


Beberapa spot foto menarik ada disini.  Mulai dari bersifat romantis dan aman lokasinya sampai dengan yang berisiko dan bikin hati miris.  Hanya satu hal yang membuat kurang nyaman disini, ternyata hawanya panas banget.  Meskipun berada di dataran tinggi dan rimbun oleh pokok pinus, tidak jaminan kita merasakan kesejukan alam di sepanjang area.  Malah sebaliknya, terik matahari berasa banget menerpa tubuh kita.  Semakin kita naik ke puncak, suhu semakin tinggi alias panasss.


Romantis, tidak perlu miris
Sedikit menantang nyali


Selain Puncak Becici, ada satu tempat lagi yang lumayan berkesan bagiku selama perjalanan di Yogya yaitu jeep tour ke puncak Merapi. Jiwa adventure sepertinya terpuaskan disini.  Pas banget aku dapat jeep willis dengan tampilan bak tentara Amerika di Perang Dunia ke-2.  Warnanya hijau army, benar-benar gagah kalau naik mobil ini.  Masker dibagikan kepada seluruh peserta karena kita akan melalui medan berdebu.  Makanya, semua peserta disarankan menggunakan kacamata juga. 


Jeep tour-1
Jeep tour-2
Jeep tour-3
Jeep tour-4
Jeep tour-5
Jeep tour-6



Bisa dikatakan di sepanjang perjalanan, kita akan digoncang terus oleh jeep ini.  Memang medan lumayan ekstrim, penuh dengan batu-batu cadas, lobang, sempit dan berdebu.  Untungnya semua sopir jeep sudah familiar dan cenderung tersenyum bila melihat peserta teriak karena guncangan keras.  Terkadang malah terlihat sang sopir cenderung memilih jalan yang menantang.  Semakin banyak guncangan semakin menarik, pikir mereka.


Rombongan berpose 

Merapi yang masih aktif

Semua ceria


Spot yang menarik disini adalah batu aliens, bongkahan super besar yang keluar dari gunung dan terbawa lava ke lembah.  Terbayang betapa dasyatnya semburan lava gunung Merapi sehingga bisa melontarkan batu sebesar itu.  Tak terbayang batu sebesar itu menimpa perumahan penduduk di lereng gunung.  Semua luluh lantah diterjang lahar panas dan batu-batu besar.  Jejak-jejak korban bencana dapat kita lihat di museum swadaya masyarakat yang terlihat kurang dirawat oleh Pemerintah Daerah.


Batu besar yang keluar bersama letusan Merapi


Rumah peninggalan penduduk korban Merapi menjadi saksi bisu kisah sedih yang mengenaskan hati.  Sejatinya tidak banyak yang bisa dilihat lagi bukti keganasan bencana alam itu.  Kalaupun ada yang tersisa, itu merupakan bagian yang tidak terlalu parah kena aliran lahar ataupun udara panas gunung Merapi.  Sebagian besar luluh lantah diterjang ombak lahar panas.  Bahkan jalan-jalan aspal di area pemukiman dibiarkan terkoyak hancur  dilibas lava.


Museum unik bukti korban bencana Merapi
Sampai sapi pun tinggal tulang belulang
Bukti murka sang alam
Ini juga
Bukti kejadian bencana 5 November 2010
Semua tinggal kenangan



Kisah pilu itu berlanjut saat kita mengunjungi bunker tempat berlindung warga dari bencana.  Disini malah terjadi cerita sedih meninggalnya orang yang katanya berprofesi sebagai wartawan di tempat yang seharusnya menjadi tempat aman dari bencana.  Artinya alam benar-benar murka dan tak kenal itu siapa.  Apapun mendapat ‘jatah’ dihampiri dan ketiban bencana.


Bunker di lereng Merapi

Isi di dalam bunker

Kondisi di atas bunker

Foto bunker sebelum dan sesudah bencana


Bila di artikel pertamaku tentang Jogja, perjalananku lebih cenderung mengulas tentang kekayaan wisata kuliner kota ini karena memang Jogja memiliki banyak tempat untuk memuaskan ‘kampung tengah’ kita.  Bahkan hampir sepanjang jalan selalu terdapat warung atau rumah makan.  Namun, seperti biasa, aku tidak mungkin mengulas tentang makanan atau rumah makan yang tidak asli atau menggambarkan budaya dan kehidupan sebenarnya penduduk lokal.  Misalnya, tidak mungkin aku menceritakan kenikmatan makan spaghetti di Jogja, karena spaghetti bukanlah makanan asli Jogja, kecuali warga setempat dapat menyajikan sesuatu yang berbeda dari sebuah spaghetti atau mengemasnya dalam perpaduan antara tradisi kuliner Itali dan Jogja.   Nah, ada yang layak aku tampilkan dalam blog-ku ini yang benar-benar khas Jogja yaitu kopi klotok.  Tempatnya lumayan jauh dari bandara dan bus tidak dapat masuk ke lokasi.  Kita terpaksa jalan kaki menuju rumah makan tradisional bergaya joglo.  Sesampai di lokasi pun aku dibuat terkagum-kagum dengan suasana di dalam rumah makan itu.  Pengelola kopi klotok membuat kita serasa memasuki dapur atau rumah penduduk biasa.  Meja kursi gaya rumahan, bahkan gelas dan piring makan pun bergaya rumahan penduduk lokal.  Area sekitar rumah makan ditanami padi dan beberapa tanaman umbi-umbian.  Unik dan menarik, cocok untuk wisatawan apalagi turis asing yang ingin mengenal lebih dalam kehidupan masyarakat setempat. 


Serasa kita di dapur penduduk lokal

Pemandangan di belakang rumah makan

Telur dadar yang unik dan lezat


Hotel tempatku menginap sudah ditentukan oleh panitia.  Swiss Belhotel yang berlokasi di tengah kota Jogja.  Kesan pertama lumayan bagus.  Lobby meski tidak luas, tetapi ditata dengan rapi dan menarik.  Staff hotel sangat ramah dan santun menyapa tamu.  Kamar tidur bergaya minimalis, bersih dan rapi.  Tetapi saat malam hari, masalah muncul.  Aku yang mendapat kamar di lantai 9 dibuat sulit tidur karena suara musik di bar yang ada di lantai 10 sangat mengganggu.  Bukan saja suara musik yang tidak diredam oleh pengelola hotel, tetapi dentuman musik terasa seperti ada gempa.  Benar-benar mengecewakan. 


Hotel-1

Hotel-2

Hotel-3

Hotel-4


Jadi perjalanan ke Jogja kali ini berbeda, lebih ber’’variasi’’.  Ada suka dan duka.  Untungnya masih banyak sukanya.  Maklum, kalau perjalanan di-arranged oleh orang lain dan tidak melibatkan kita dalam pengambilan keputusan, artinya kita harus siap untuk kecewa.  Rasanya panitia perlu belajar mengatur perjalanan dari orang-orang yang sudah malang melintang di banyak kota dan negara atau yang berpengalaman dalam acara jalan-jalan.  Apapun itu, memang benar kata orang bijak, lebih baik kita jalan sendiri, pakai uang sendiri dan bebas menentukan apa mau kita sendiri.  Bukan kah jalan-jalan itu tujuannya untuk mencari kesenangan?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar