Adalah perusahaan
ditempatku bekerja mengadakan acara jalan-jalan ke Yogyakarta sebagai agenda
puncak dari rapat kerja teknis salah satu direktorat. Kami mengunjungi beberapa tempat wisata dan
menjelajahi kulineri makanan Jogja.
Namun aku hanya menampilkan acara yang penuh sensasi saja yaitu saat
mengunjungi Puncak Becici dan bersafari jeep ke puncak Merapi. Kenapa Puncak Becici? Karena menurutku ini
seperti sudah menjadi tren wisata saat ini.
Orang masih senang bernarsis diri mengambil gambar dengan background
menantang. Maksudnya, mereka tidak hanya
sekadar mengabadikan pemandangan, tetapi mereka ingin yang sedikit menantang
untuk mendapatkan latar belakang yang menawan itu. Terkadang mereka harus berdiri di pinggir jurang atau
berada di ketinggian. Jadilah, beberapa tempat
sekarang menyajikan spot-spot foto yang sedikit adu nyali, termasuk di Puncak
Becici.
|
Gubuk di atas tebing |
Lumayan jauh
menuju Puncak Becici dari hotel tempatku menginap. Tiba di lokasi menggunakan bus ternyata punya
cerita tersendiri. Tempat parkir
terbatas dan berupa tanah diatas permukaan yang mempunyai sempadan curam. Space yang tersedia membuat manuver bus
berbahaya bila sang sopir tidak hati-hati mengendalikan stir. Bisa-bisa bus jatuh terguling ke bawah.
|
Persis di atas jurang |
|
Yang takut ketinggian jangan mencoba yang satu ini |
Beberapa spot
foto menarik ada disini. Mulai dari
bersifat romantis dan aman lokasinya
sampai dengan yang berisiko dan bikin hati miris. Hanya satu hal yang membuat kurang nyaman
disini, ternyata hawanya panas banget.
Meskipun berada di dataran tinggi dan rimbun oleh pokok pinus, tidak
jaminan kita merasakan kesejukan alam di sepanjang area. Malah sebaliknya, terik matahari berasa
banget menerpa tubuh kita. Semakin kita
naik ke puncak, suhu semakin tinggi alias panasss.
|
Romantis, tidak perlu miris |
|
Sedikit menantang nyali |
Selain
Puncak Becici, ada satu tempat lagi yang lumayan berkesan bagiku selama
perjalanan di Yogya yaitu jeep tour ke puncak Merapi. Jiwa adventure sepertinya
terpuaskan disini. Pas banget aku dapat
jeep willis dengan tampilan bak tentara Amerika di Perang Dunia ke-2. Warnanya hijau army, benar-benar gagah kalau
naik mobil ini. Masker dibagikan kepada
seluruh peserta karena kita akan melalui medan berdebu. Makanya, semua peserta disarankan menggunakan
kacamata juga.
|
Jeep tour-1 |
|
Jeep tour-2 |
|
Jeep tour-3 |
|
Jeep tour-4 |
|
Jeep tour-5 |
|
Jeep tour-6 |
Bisa
dikatakan di sepanjang perjalanan, kita akan digoncang terus oleh jeep
ini. Memang medan lumayan ekstrim, penuh
dengan batu-batu cadas, lobang, sempit dan berdebu. Untungnya semua sopir jeep sudah familiar dan
cenderung tersenyum bila melihat peserta teriak karena guncangan keras. Terkadang malah terlihat sang sopir cenderung
memilih jalan yang menantang. Semakin
banyak guncangan semakin menarik, pikir mereka.
|
Rombongan berpose |
|
Merapi yang masih aktif |
|
Semua ceria |
Spot
yang menarik disini adalah batu aliens, bongkahan super besar yang keluar dari gunung dan
terbawa lava ke lembah. Terbayang betapa
dasyatnya semburan lava gunung Merapi sehingga bisa melontarkan batu sebesar
itu. Tak terbayang batu sebesar itu
menimpa perumahan penduduk di lereng gunung.
Semua luluh lantah diterjang lahar panas dan batu-batu besar. Jejak-jejak korban bencana dapat kita lihat
di museum swadaya masyarakat yang terlihat kurang dirawat oleh Pemerintah
Daerah.
|
Batu besar yang keluar bersama letusan Merapi |
Rumah
peninggalan penduduk korban Merapi menjadi saksi bisu kisah sedih yang
mengenaskan hati. Sejatinya tidak banyak
yang bisa dilihat lagi bukti keganasan bencana alam itu. Kalaupun ada yang tersisa, itu merupakan
bagian yang tidak terlalu parah kena aliran lahar ataupun udara panas gunung
Merapi. Sebagian besar luluh lantah
diterjang ombak lahar panas. Bahkan
jalan-jalan aspal di area pemukiman dibiarkan terkoyak hancur dilibas lava.
|
Museum unik bukti korban bencana Merapi |
|
Sampai sapi pun tinggal tulang belulang |
|
Bukti murka sang alam |
|
Ini juga |
|
Bukti kejadian bencana 5 November 2010 |
|
Semua tinggal kenangan |
Kisah
pilu itu berlanjut saat kita mengunjungi bunker tempat berlindung warga dari
bencana. Disini malah terjadi cerita
sedih meninggalnya orang yang katanya berprofesi sebagai wartawan di tempat
yang seharusnya menjadi tempat aman dari bencana. Artinya alam benar-benar murka dan tak kenal itu
siapa. Apapun mendapat ‘jatah’ dihampiri
dan ketiban bencana.
|
Bunker di lereng Merapi |
|
Isi di dalam bunker |
|
Kondisi di atas bunker |
|
Foto bunker sebelum dan sesudah bencana |
Bila
di artikel pertamaku tentang Jogja, perjalananku lebih cenderung mengulas
tentang kekayaan wisata kuliner kota ini karena memang Jogja memiliki banyak
tempat untuk memuaskan ‘kampung tengah’ kita.
Bahkan hampir sepanjang jalan selalu terdapat warung atau rumah
makan. Namun, seperti biasa, aku tidak
mungkin mengulas tentang makanan atau rumah makan yang tidak asli atau
menggambarkan budaya dan kehidupan sebenarnya penduduk lokal. Misalnya, tidak mungkin aku menceritakan
kenikmatan makan spaghetti di Jogja, karena spaghetti bukanlah makanan asli
Jogja, kecuali warga setempat dapat menyajikan sesuatu yang berbeda dari sebuah
spaghetti atau mengemasnya dalam perpaduan antara tradisi kuliner Itali dan
Jogja. Nah, ada yang layak aku
tampilkan dalam blog-ku ini yang benar-benar khas Jogja yaitu kopi klotok. Tempatnya lumayan jauh dari bandara dan bus
tidak dapat masuk ke lokasi. Kita
terpaksa jalan kaki menuju rumah makan tradisional bergaya joglo. Sesampai di lokasi pun aku dibuat
terkagum-kagum dengan suasana di dalam rumah makan itu. Pengelola kopi klotok membuat kita serasa
memasuki dapur atau rumah penduduk biasa.
Meja kursi gaya rumahan, bahkan gelas dan piring makan pun bergaya
rumahan penduduk lokal. Area sekitar
rumah makan ditanami padi dan beberapa tanaman umbi-umbian. Unik dan menarik, cocok untuk wisatawan
apalagi turis asing yang ingin mengenal lebih dalam kehidupan masyarakat
setempat.
|
Serasa kita di dapur penduduk lokal |
|
Pemandangan di belakang rumah makan |
|
Telur dadar yang unik dan lezat |
Hotel
tempatku menginap sudah ditentukan oleh panitia. Swiss Belhotel yang berlokasi di tengah kota
Jogja. Kesan pertama lumayan bagus. Lobby meski tidak luas, tetapi ditata dengan
rapi dan menarik. Staff hotel sangat
ramah dan santun menyapa tamu. Kamar
tidur bergaya minimalis, bersih dan rapi.
Tetapi saat malam hari, masalah muncul.
Aku yang mendapat kamar di lantai 9 dibuat sulit tidur karena suara
musik di bar yang ada di lantai 10 sangat mengganggu. Bukan saja suara musik yang tidak diredam
oleh pengelola hotel, tetapi dentuman musik terasa seperti ada gempa. Benar-benar mengecewakan.
|
Hotel-1 |
|
Hotel-2 |
|
Hotel-3 |
|
Hotel-4 |
Jadi
perjalanan ke Jogja kali ini berbeda, lebih ber’’variasi’’. Ada suka dan duka. Untungnya masih banyak sukanya. Maklum, kalau perjalanan di-arranged oleh
orang lain dan tidak melibatkan kita dalam pengambilan keputusan, artinya kita
harus siap untuk kecewa. Rasanya panitia
perlu belajar mengatur perjalanan dari orang-orang yang sudah malang melintang
di banyak kota dan negara atau yang berpengalaman dalam acara jalan-jalan. Apapun itu, memang benar kata orang bijak,
lebih baik kita jalan sendiri, pakai uang sendiri dan bebas menentukan apa mau
kita sendiri. Bukan kah jalan-jalan itu
tujuannya untuk mencari kesenangan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar