‘Semarang kaline banjir
Aja sumelang, rak dipikir’
Gara-gara penggalan lagu Jangkrik Genggong-nya Waljinah inilah, image
Semarang menjadi kota banjir sangat melekat di pikiran semua orang. Padahal bicara tentang banjir, Jakarta lebih
parah daripada Semarang. Hujan lama
sedikit saja, kubangan air ada dimana-mana, bahkan sampai di jalan protokol
ibukota. Nasib yang sama dialami juga
oleh Surabaya. Ingat lagu Bus Kota-nya
Franky Sahilatua?
‘Berjalan di bawah lorong pertokoan
Di Surabaya yang panas’
Akibatnya Surabaya dikenal sebagai kota yang panas, padahal sekali lagi,
Jakarta menurutku lebih panas.
Taman-taman, situ, daerah resapan air sudah berubah fungsi menjadi
‘hutan beton’ dan pemukiman kumuh.
Populasi manusia makin banyak, polusi udara makin buruk, sirkulasi udara
terhalang oleh bangunan-bangunan tinggi, masyarakat makin egois, kehidupan
makin ganas, sehingga membuat Jakarta makin panas.
Sebaliknya kota Semarang terlihat lebih bersih, teratur dan tidak
sepanas Jakarta. Meskipun sama-sama kota
di pinggir pantai, Semarang tiada henti mempercantik diri sekaligus
mengantisipasi munculnya air bah dari laut yang akan berakibat buruk bagi
warga. Kulihat ada sungal membelah kota
yang berfungsi sebagai pelancar aliran air dari dan ke laut. Mirip seperti sungai banjir kanal timur di
Jakarta.
|
Tugu Muda, salah satu landmark di Semarang |
|
Untuk mengenang pertempuran 5 hari di Semarang |
|
Bagian depan kawasan Candi Gedong Songo |
|
Tarif naik kuda yang unik |
|
Loket pembelian tiket plus pesan guide |
|
Kuda-kuda yang siap mengantarkan pengunjung keliling candi |
|
Kabut turun di sore hari |
Kalau dilihat dari area bagian depan, kawasan Candi Gedong Songo ini terlihat tidak terlalu luas karena dipengaruhi keberadaan beberapa bangunan yang terpusat di area depan dan jalan setapak yang disediakan pun berukuran kecil sehingga area wisata ini menjadi kecil kelihatannya. Namun hal ini tidak mempengaruhi keinginanku untuk menelusuri kawasan candi ini. Setelah bertemu dengan candi yang pertama, aku menjadi antusias untuk
menemui candi kedua, meskipun saat itu sempat ragu apakah aku mampu mendaki
sampai ke candi ke-9. Pikir punya pikir,
kalau sebelumnya saja aku mampu naik turun kawah Ijen yang berjarak total 6 km,
masa’ naik ke puncak candi Songo yang 700 meter saja tidak sanggup?
|
Candi pertama sudah terlihat |
|
Setiap area diberi papan nama yang sangat jelas |
|
Ada area untuk berkemah |
|
Ada juga taman |
|
Sumber air panas |
|
Dijadikan tempat pemandian air panas |
Semangatku tidak kendur sedikitpun, apalagi melihat alam pemandangan di
lokasi candi yang sangat bagus itu rasanya sayang untuk menghentikan langkah
kaki ini. Setelah candi ke-2 berikutnya
ke-3, 4 dan 5. Jarak antar candi tidak sama. Yang paling jauh adalah jarak dari candi pertama ke yang kedua. Juga dari candi ke-3 ke lokasi candi ke-4. Yang terdekat jarak antara candi ke-4 dengan ke-5. Letaknya seperti bersebelahan, meskipun tetap harus melalui jalan yang menanjak. Tapi sesampai di komplek
candi yang ke-5 aku tidak melihat ada jalan menanjak lagi. Yang ada justru menurun. Apakah aku sudah benar-benar berada di
puncak? Ternyata memang benar. Tukang yang sedang memasang handrail
mengatakan bahwa jumlah candi di Gedong Songo ini memang sembilan, sama artinya
dengan kata ‘Songo’ dalam Bahasa Jawa, tetapi bukan berarti terletak di 9
tempat, melainkan hanya ada di 5 tempat.
Ada di beberapa tempat yang terdapat lebih dari 1 candi, hanya aku
kurang perhatian saja. Jadi total
candinya memang 9.
|
Candi kedua |
|
Meninggalkan candi kedua dan menuju yang ketiga |
|
Di area yang ketiga terdapat 3 candi |
|
Area candi ke-4 |
|
Di area ke-4 terdapat 2 candi |
|
Di area ke-5 terdapat 2 candi |
Semarang juga memiliki gedung-gedung bersejarah peninggalan kolonial Belanda. Ada yang masih terawat, namun ada juga yang terlihat rusak dan kotor seperti tidak terurus. Salah satu contoh bangunan yang terawat baik adalah Gereja Immanuel yang lebih dikenal dengan nama Gereja Blenduk karena beratap kubah yang ada di tengah kota yang berusia 264 tahun.
Gereja tua sekaligus yang tertua di Semarang ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan terawat dengan
baik.
Disamping gereja Blenduk terdapat taman kecil yang tidak luput dari
perhatian wisatawan, namanya Taman Sri Gunting. Mengapa menarik perhatian? Karena di taman ini
kita bisa berfoto-ria bersama becak atau sepeda kumbang tempo dulu yang dihiasi dengan bunga-bunga agar bila kita foto berdua dengan pasangan akan
terlihat lebih romantis. Kalau masih belum puas dengan bergaya jaman old, kita
bisa mampir sebentar ke samping taman dimana terdapat beberapa kios penjual
barang-barang antik alias lama. Kalau beruntung atau jago nawar, anda akan
mendapatkan barang unik antik dengan harga ciamik.
|
Taman Sri Gunting |
|
Tempat untuk berteduh dan berfoto |
|
Atau belanja barang-barang antik |
|
Namun hanya punya beberapa tempat saja |
Satu tempat yang selalu dituju wisatawan bila ke Semarang adalah Lawang
Sewu. Siapapun kalau dengar nama Lawang Sewu pasti kepikiran hal-hal yang horor, misteri, klenik, mistik. Namun, dibalik cerita menyeramkan tentang bangunan
ini, sebenarnya tersimpan sejarah peninggalan kolonial yang dapat kita ambil
hikmahnya. Misalnya, bagaimana mereka
membangun rumah dengan memperhatikan detail sirkulasi udara dari bawah bangunan
sehingga membuat bangunan itu tidak tenggelam karena banjir, tidak panas saat
musim kemarau dan tidak dingin saat musim hujan. Serta bagaimana mereka membangun sebuah rumah
bertingkat tanpa besi cor, namun hanya mengandalkan teknik pengaturan ketebalan
dinding dari bawah sampai ke atas.
|
Gedung Lawang Sewu tampak depan |
|
Gedung Lawang Sewu tampak samping |
|
Tempat pembelian tiket masuk |
|
Lobang pengatur aliran air di bawah bangunan |
|
Dinding dibuat sangat tebal supaya kuat menopang bangunan |
|
Rumah pompa atau sumur jaman dulu |
|
Pintu yang sejajar seperti cermin |
Juga bagaimana kolonial Belanda membuat sirkulasi udara yang bagus
dibagian atap, membuat engsel pintu dari baja curah, membuat daun jendela yang
membuka keatas serta membuat ratusan daun pintu dan jendela dengan bentuk dan
ornament yang sama. Keunikan Lawang Sewu
ini pun terlihat dengan bentuk bangunan setiap ruangan, material yang digunakan
dan desain interiornya. Bahkan ada di
sisi sebelah kiri bangunan yang menghadap pintu keluar, lantainya bila diinjak
dengan keras, maka seluruh gedung akan mengeluarkan gema, petanda ada seseorang
yang memasuki gedung. Keren kan?
|
Teras luar di lantai dasar |
|
Daun pintu bentuk dan ukuran sama dengan posisi sejajar |
|
Teras dalam di lantai 2 |
|
Lorong yang simetris dan mempunyai banyak pintu |
|
Dilihat dari taman di bagian dalam area Lawang Sewu |
|
Lihat daun jendela yang membuka ke atas |
Sejarah gedung Lawang Sewu tidak lepas dari sejarah perkeretaapian di Indonesia karena dibangun sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatscappij (NIS), kantor pusat perusahaan kereta api swasta yang pertama kali membangun jalur kereta api di Indonesia, menghubungkan Semarang dengan Vorstenlanden (Surakarta dan Jogyakarta) dengan jalur pertama Semarang-Tanggung 1867. Direksi NIS di Den Haag menyerahkan perencanaan Het Hoofdkantoor van de NIS ini kepada Prof.Jacob F.Klinkhamer dan B.J.Ouendag, arsitek dari Amsterdam. Pelaksanaan pembangunan dimulai tanggal 27 Februari 1904 dan selesai di bulan Juli 1907. Bangunan pertama yang dikerjakan adalah rumah penjaga dan bangunan percetakan, kemudian dilanjutkan dengan bangunan utama. Setelah dipergunakan beberapa tahun, perluasan kantor dilaksanakan dengan membuat bangunan tambahan di sisi Timur Laut tahun 1916-1918. Setelah digunakan sebagai kantor pusat NIS, gedung ini pada tahun 1942-1945 digunakan sebagai kantor Riyuku Sokyuku (Jawatan Transportasi Jepang). Kemudian di tahun 1945 digunakan sebagai kantor DKRI (Djawatan Kereta api Republik Indonesia). Tahun 1946 saat agresi militer Belanda, digunakan sebagai markas tentara Belanda. Tahun 1949, digunakan oleh Kodam IV Diponegoro, kemudian di tahun 1994 diserahkan kembali kepada kereta api yang saat itu bernama PERUMKA.
|
Loket tempat membeli tiket kereta api |
|
Pencahayaan yang remang-remang membuat seram |
|
Spot foto paling bagus di Lawang Sewu |
|
Ada juga daun pintu yang model geser |
|
Sertifikat asli perusahaan kereta api dan contoh tiket saat itu |
Belum lagi cerita-cerita tentang sejarah perkembangan bisnis
perkeretaapian di jaman Belanda. Di
dalam Lawang Sewu, kita bisa melihat gambar dan cerita bisnis rel sampai kereta
api itu sendiri. Bayangkan di jaman itu ada pasukan
khusus yang mengecek jalur kereta api dan ada juga rel kereta api yang
mempunyai lubang-lubang karena roda kereta api dibuat bergerigi, dengan tujuan
gerigi itu bila masuk ke lubang akan menahan dengan kuat saat kereta berhenti
atau rusak di jalur tanjakan. Sehingga
tidak akan ada kereta api yang meluncur tanpa kendali gara-gara mogok di tengah
jalan tanjakan.
|
Bagian depan bangunan |
|
Tangga menuju area atap |
|
Lihat tangga bergeser itu yang digunakan untuk memperbaiki genteng |
|
Area balkon atas di bawah atap genteng |
|
Sempat menjadi area olah raga di masa Kodam IV Diponegoro |
|
Numpang foto |
Nama Lawang Sewu berasal dari julukan (paraban bahasa Jawa) yang diberikan masyarakat Semarang. Lawang memiliki arti pintu dan Sewu berarti seribu, sebuah toponim terhadap bangunan ini sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu karena memiliki daun pintu yang jumlahnya sangat banyak. Desain arsitektur gedung Lawang Sewu diilhami oleh bentuk bangunan sudut kota-kota di Eropa pada abad pertengahan dengan menempatkan dua fasad serta penggunaan menara. Menara berkubah ini mengambil unsur Eropa disebut juga Minaret, merupakan focal point gedung Lawang Sewu. Salah satu desain arsitektur yang mengadopsi unsur lokal yaitu atap limasan pada gedung. Pada sisi tengah bangunan terdapat tangga lingkar yang terbuat dari ukiran besi tempa buatan Plettery, Delft Belanda. Tangga ini menghubungkan lantai dasar langsung menuju lantai atas. Keunikan jembatan antar gedung dibangun untuk fungsi perkantoran dan penempatan toilet terpisah dari gedung utama seperti umumnya bangunan Belanda yang ada di Indonesia. Bangunan toilet berdiri sendiri dihubungkan oleh jembatan pada lantai dua. Keberadaan gedung Lawang Sewu yang terletak di kota Semarang merupakan landmark bagi kota Semarang.
|
Gedung Lawang Sewu tampak dari area belakang |
|
Jembatan penghubung antar bangunan |
Semua cerita sejarah itu menjadi penghibur dan melupakan cerita-cerita
mistik tentang Lawang Sewu. Aku yang
semula merasa agak ngeri menjadi enjoy saja menikmati tur keliling ruangan
bersama guide yang super informatif dan menghibur. Aku sempat naik ke atap gedung untuk
mengetahui bagaimana teknik mereka mengganti genteng. Canggih, diluar pemikiran
kita. Bayangkan saja di jaman Old sudah
ada orang brilian yang menciptakan alat untuk mengganti genteng yang aman,
ringan dan cepat. Kita tidak perlu keluar rumah, memanjat dinding dan bertengger di atap yang sangat berisiko tinggi itu. Namun, semuanya bisa diselesaikan dari dalam rumah. Cukup menggunakan tangga yang bisa digeser sampai ke ujung ruangan. Kita hanya perlu menempatkan tangga tepat di lokasi genteng yang bermasalah, lalu kita dapat memperbaiki atau mengganti genteng itu dari dalam. Lihat saja foto-foto di bagian atap gedung. Canggih kan? Semua gambar menyampaikan kisah keunikan dan kehebatan masa silam Gedung Lawang Sewu. Sayangnya aku tidak
sempat masuk ke ruangan bawah tanah, tempat mengatur sirkulasi air yang
konon kabarnya sekaligus tempat penyiksaan tawanan.
Tempat ini selalu diberitakan sangat angker, sehingga sering menjadi obyek film
horror. Ruangan bawah tanah ini
sementara ditutup karena sedang mengalami renovasi.
|
Tulisan di pintu masuk wisata bawah tanah |
|
Pintu masuk ke tempat menyeramkan |
|
Aku menemukan ada yang terbuka |
Bicara tentang oleh-oleh kota Semarang, pasti semua orang ingatnya bandeng presto dan wingko babad. Padahal Semarang punya banyak makanan yang bisa dijadikan oleh-oleh, salah satunya tahu bakso. Sayangnya makanan ini lumayan ribet bawanya apalagi kalau harus dibawa ke Jakarta karena harus kita letakkan di dalam kulkas supaya awet. Memang benar, produk ini tidak tahan lama. Yang digoreng saja hanya bisa bertahan sampai besok pagi, karena mbak-mbak yang ada di counter Baxo bilang, makanan ini harus dihabiskan di hari yang sama, kecuali kita beli yang masih mentah. Itupun harus dimasukkan ke kulkas kalau ingin dijadikan oleh-oleh atau akan dikonsumsi beberapa hari kemudian.
|
Tahu Baxo Ibu Pudji yang terkenal itu |
|
Tempat parkir yang lapang |
|
Ada mushola dan toilet |
Sedangkan kalau bandeng presto, ini lebih unik. Katanya bisa tahan 1 bulan selama dikemas dalam kantong kedap suara (dipress vacuum) dan diletakkan dalam kulkas. Harganya memang tidak murah, tetapi okelah kalau kita ingin membawa buah tangan buat keluarga tercinta.
|
Salah satu tempat pembelian oleh-oleh khas Semarang |
|
Banyak sekali produk lokal |
|
Tapi bandeng presto tetap juaranya |
|
Bahkan ada diorama-nya |
Urusan makan, jangan khawatir kalau berada di Semarang. Disini banyak tempat makan enak. Salah satunya rumah makan Panuwun yang kabarnya pernah disinggahi Presiden Jokowi. Lokasinya tidak jauh dari bandara Ahmad Yani dan berada di jalan yang tidak lebar. Tapi tempat ini menjadi destinasi penyuka kuliner bukan hanya karena didatangi Jokowi, namun karena makanan disini memang enak dan khas Jawa Tengah. Aku terkesan dengan cara mereka menyajikan makanan, dan yang paling kusuka, aku bisa menikmati teh poci dengan gula batu.
Sebenarnya ada tempat makan yang sering dikunjungi wisatawan karena berlokasi di atas bukit dan mempunyai pemandangan yang sangat indah. Namanya Eling Bening. Bentuknya lebih modern karena bangunannya bergaya Eropa dengan pilar-pilar besar dan punya kolam renang, namun kita tidak bisa memanfaatkan kolam renang itu karena di dinding tertulis kalimat larangan berenang.
|
Eling Bening-1 |
|
Eling Bening-2 |
|
Eling Bening-3 |
Dan satu lagi tempat makan yang perlu didatangi yaitu Pondok Alam Bang Khohar di Jalan Jimbaran-Bandungan. Tempat ini sekaligus lokasi pemancingan ikan yang tidak pernah sepi pengunjung. Disamping tempatnya yang tertata apik, makanan disini pun enak rasanya. Suasana dan bangunan tempat makan berupa saung-saung di sekitar kolam ikan dan sungai serta lembah hijau, sepertinya berpengaruh meningkatkan selera makan kita.
Aku makan di Pondok Alam itu saat mau menuju Candi Gedong Songo. Salah satu daerah yang aku lewati menuju candi Gedong Songo, Bandungan, terlihat lebih hidup daripada daerah lainnya. Lalu lalang manusia dan kendaraan menunjukkan keramaian tempat ini. Di sepanjang jalan Bandungan terdapat banyak sekali hotel yang menyediakan tempat karaoke. Usut punya usut, ternyata tempat ini sangat populer bagi warga Semarang bila ingin bersantai meninggalkan kepenatan rutinitas sehari-hari.
|
Hampir semua hotel menyediakan fasilitas karaoke |
|
Promo ada di pinggir jalan |
Dan karena aku masih punya waktu, aku pun menyempatkan diri mampir ke Kampung Kopi Banaran, area perkebunan kopi yang menghasilkan produk kopi Banaran yang terkenal itu. Disini kita bisa melihat langsung kebun kopi yang luas itu dan sekaligus belajar bagaimana merawat tanaman kopi, mengolah biji kopi sampai menjadi bubuk kopi, serta mengetahui seluk beluk tentang kopi. Guide lokal sekaligus sopir kendaraan wisata kebun kopi akan menjelaskan itu semua di sepanjang perjalanan mengelilingi kebun. Cuman satu hal yang membuat perjalanan keliling kebun kopi menjadi kurang nyaman. Nyamuknya banyak sekali!
|
Pintu gerbang Kampung Kopi Banaran |
|
Mobil wisata yang siap membawa pengunjung keliling kebun |
|
Kebun kopi yang sangat luas dan terawat dengan baik |
|
Ada juga kebun karet dan coklat |
|
Restaurant di area depan untuk menikmati kopi Banaran |
Ternyata di Banaran Coffee juga menyediakan tempat penginapan dan beberapa fasilitas hiburan untuk keluarga seperti outbound, jogging track, spot foto 3D, taman bunga, dan four wheel off road. Tempat penginapannya mulai dari yang berkelas motel biasa sampai dengan yang berkelas mewah untuk pasangan yang ingin berbulan madu. Disini juga tersedia hall pertemuan yang cukup besar dan cocok untuk acara perusahaan seperti rapat kerja atau sarasehan.
|
Memasuki area penginapan |
|
Lebih terlihat seperti villa atau bungalow |
|
Seperti barak untuk yang murah harganya |
|
Cafe di halaman depan pintu gerbang |
|
Ada yang bergaya modern |
|
Ada pula yang tradisional |
Dari semua tempat yang kukunjungi, hanya ada 1 yang diluar ekspektasiku yaitu bandara. Tepatnya aku sangat kaget bukan kepalang, kukira Bandara Ahmad Yani sebagai pintu gerbang utama Jawa Tengah itu berukuran besar seperti Juanda di Surabaya, tapi yang kulihat justru sebaliknya, jauh dari kesan modern, sangat kecil dan sepertinya belum dikembangkan oleh sang pengelola bandara. Dengar-dengar pihak pengelola bandara sedang membangun terminal baru Bandara Ahmad Yani yang lebih besar dan modern. Kabarnya akan selesai dan dioperasikan tahun 2018 ini. Aku tidak mau berkomentar banyak tentang bandara ini, tapi hanya menyayangkan saja kalau sampai diabaikan keberadaannya. Bagaimana pun juga keberadaan sebuah bandara merupakan salah satu prasarana pendukung perkembangan perekonomian suatu daerah.
|
Conveyor bagasi hanya 2 |
|
Counter lost & found dan car rental jadi satu di sebelah baggage claim |
|
Koridor menuju pintu keluar terminal |
|
Kecil dengan fasilitas yang terkesan old |
|
Koridor kedatangan yang dipenuhi penjemput dan sopir |
Itulah sekilas perjalananku yang hanya 2 hari 1 malam di Semarang. Memang tidak cukup untuk mengeksplor semua tempat wisata disana, tapi setidaknya aku punya kesempatan untuk mengenal lebih jauh tentang ibukota propinsi Jawa Tengah ini. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar