Jumat, 01 April 2016

Jordan, Destinasi Wisata dan Tempat Damai Semua Agama

Gatal juga akhirnya kaki ini tidak bepergian ke luar negeri.  Pekerjaan kantor dan bisnis pribadi telah menyanderaku beberapa bulan, seakan-akan tidak ada lagi kesempatan untuk bisa memenuhi hobby traveling-ku.  Orang bijak bilang,"Percuma punya uang banyak bila tidak bisa menikmatinya".  Maksudnya supaya kita tidak terlalu sibuk kerja keras mencari uang, tapi malah ga sempat menikmati jerih payah kita untuk bersenang-senang gara-gara keburu badan sudah tua ga bisa jalan jauh lagi, atau keburu sakit terkapar di tempat tidur atau kursi roda, atau yang lebih parah lagi, Sang Khalik mencabut nyawa kita.  Tapi bukan karena berlebihan uang juga sih, ini hanya karena aku perlu menghibur diri sendiri, menikmati jerih payah selama ini yang menurutku perlu diimbangi dengan kesenangan pribadi biar hidup ini tidak monoton, stress dan membosankan.  Sekaligus acara jalan-jalanku ke Jordan, negara ke-37 dalam catatan passport-ku, adalah recovery agar semangat hidup dan bekerja tetap menyala.  Seperti biasa, aku ga pernah dapat waktu banyak untuk cuti, so memanfaatkan tanggal kejepit alias libur nasional yang jatuh pada hari Jumat membuat cuti 2 hariku di hari Kamis dan Senin minggu depannya menjadi panjang.  5 hari, sudah cukup bagiku untuk keluar dari Indonesia.  Pilihanku Jordan karena negara ini lumayan tidak begitu dikenal oleh masyarakat kita.  Memang sudah ada beberapa tour ke Jordan, tapi biasanya hanya sebagai agenda tambahan tur ziarah ke Jerusalem atau tambahan tur ke Dubai.  Kalaupun ditanya tentang Jordan, kebanyakan orang akan mengatakan Petra sebagai tujuan wisata.  Tapi, tidak cukup bagiku kalau tidak mengeksplor sendiri kekayaan wisata Jordan.  Saatnya berburu tempat-tempat indah dan makanan khas Jordan!!

Petra mengintip kita

Pesawat Boeing 787 Dreamliner kebanggaan Royal Jordanian (RJ) membawaku terbang dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta ke Bandara Queen Alia Amman, tapi transit dulu Kuala Lumpur untuk ngangkut penumpang dari Malaysia.  Penumpang dari Jakarta ternyata banyak sekali, meskipun kebanyakan TKI.  Tapi bagi airlines tidak masalah karena latar belakang atau pekerjaan, bahkan alasan mereka terbang pun tidak penting. Yang penting seat terisi dan load factor naik, airline akan survive dan menguntungkan. Dan ini pengalaman pertamaku terbang dengan RJ yang membuka kembali penerbangan ke Jakarta 4 bulan yang lalu.  Mulai dari check-in sampai dengan di dalam pesawat, hospitality petugas RJ sangat berkesan dan berhasil menghapus kekecewaanku atas penerbangan yang harus di-delay 3 jam!  Pelayanan eksklusif lounge Premiere gratis dari RJ di bandara karena aku terbang di kelas Royal Crown, sebenarnya tidak dapat mengobati kekecewaanku saat mengetahui pesawat RJ 185 terlambat datang ke bandara Soekarno-Hatta. Namun, keramah tamahan crew di pesawat yang luar biasa dan pelayanan yang super di udara, berhasil membuat pernyataanku di dalam kertas survey RJ menjadi 'excellence' .  Makanan tidak henti-hentinya disodorkan ke mejaku, sampai-sampai aku terpaksa menolaknya.  Ada yang masuk dalam menu, ada juga yang optional yang ditawarkan ke penumpang bak restaurant bintang 5, pramugari menarik trolley makanan yang berisi menu-menu utama pilihan.  Karena daya tampung yang terbatas, aku malah langsung pilih desert ice cream.  Itupun porsinya lumayan banyak, 3 scoop besar dalam 1 mangkok. 

Boeing 787 Dreamliner, armada terbaru RJ



Entertainment di udara RJ juga ga kalah bagusnya.  Beberapa film-film Hollywood terbaru masuk dalam daftar pilihan, demikian juga album-album penyanyi Grammy Awards.  Kualitas gambar di TV kursi dan audio-nya membuat film 'Legend' Tom Hardy yang kutonton seperti sedang berada di home theater.  Dan sebagaimana maskapai-maskapai lainnya, souvenirs bagi penumpang menjadi representasi jati diri dan kebanggaan sang pemilik maskapai.  RJ memberikan tas Etienne Aigner yang berisi toiletries, penutup mata dan kaos kaki untuk tidur. 

Suasana di dalam kabin pesawat B787 Royal Jordanian

Souvenir dari RJ yang dikemas dalam tas eksklusif Etienne Aigner


Jam 5 pagi aku tiba di Bandara Queen Alia di Amman.  Sepintas bentuk gedung terminalnya mirip banget dengan Bandara Kualanamu di Medan.  Mungkin arsitek kedua bandara itu saling menginspirasi.  Tapi kalau dilihat dari dekat, bentuk lekukan atap terminal bandara menyiratkan bentuk tenda-tenda padang pasir.  Semakin masuk ke terminal, semakin terasa suasana 'Arab'-nya.  Untungnya tidak semua pake huruf Arab.  Coba kalau ga ada bahasa Inggris-nya, alamat pada nyasar semua penumpang yang non Arab! 

Bersih, terang, rapi, lega rasanya

Baggage claim area yang modern dan elegan

Terminal baru yang diresmikan oleh sang Raja


Terminal baru bandara Queen Alia benar-benar tertata rapi dan bersih.  Ukurannya tidak sebesar Bandara Soekarno-Hatta dengan Terminal 3 Ultimate-nya.  Queen Alia terlihat lengang pagi itu, hanya beberapa pesawat yang stand by di garbarata di apron.  Yang menarik perhatianku adalah visa on arrival-nya yang unik.  Bagi penumpang yang belum memiliki visa Jordan disediakan counter imigrasi khusus untuk pembayaran atau pembelian visa seharga 40 Dinar Jordan atau sekitar 57 dollar amerika.  Tidak punya uang dinar?  Kamu tinggal tukar di money changer yang berada di area sebelum imigrasi atau pede maju ke counter imigrasi dengan menyodorkan kartu kredit.  Disini kita tidak bisa bayar tunai visa dengan mata uang selain dinar Jordan, so silakan tukar uang atau debit kartu kredit.  Setelah ditanya berapa hari di Jordan dan dimana akan bermalam, stampel tanda ijin tinggal diberikan oleh petugas imigrasi seraya aku meninggalkan barisan antrian ke ruang pengambilan bagasi.  Aku dibuat terkagum-kagum dengan disain baggage claim area yang bersih banget, terang, elegan dan signage-nya clear.  Ini yang membuatku segera mengambil gambar beberapa fasilitas di area ini.  Ternyata keluar dari pemeriksaan bea cukai pun aku masih tidak berhenti mengabadikan bandara Queen Alia sampai supir dan mobil sedan Renault membawaku pergi meninggalkan bandara.

Area luar terminal-1

Area luar terminal-2
Saber sang supir dan mobil Renault yang menjemputku

Eksplorasi pertamaku di Jordan justru ke urusan kulinari.  Aku ingin tahu sarapannya orang Jordan.  Saber, supirku mengarahkan mobil ke restaurant Abu Zaghleh yang terkenal bagi warga lokal sebagai tempat untuk sarapan.  Meskipun aku agak ragu karena jam masih menunjukkan angka 6.15 waktu Jordan, tapi Saber menyakinkan aku bahwa tempat itu sudah buka dan kami bukanlah tamu pertamanya.  Benar juga, setelah tiba di lokasi, kulihat beberapa orang sedang antri makanan yang dipesan, bahkan semakin masuk ke area tempat makan, terlihat 3 meja sudah penuh dengan sekelompok orang yang sedang asyik menikmati sarapan.  Segera saja kami pesan makanan khas Jordan ke pelayan yang tidak bisa berbahasa Inggris.  Selang beberapa menit, sudah ditata rapi diatas mejaku semua pesanan.  Roti, hummus, fool, motabel dan flafel menjadi menu sarapan pagi ini.  Oiya satu lagi, teh celup Jordan yang dituangkan dalam paper cup Abu Zaghleh menyempurnakan sarapanku.  Tempat yang sangat nyaman dan bersih berhasil membangkitkan semangatku yang lelah kelamaan di udara.  Sebelum meninggalkan Abu Zaghleh kusempatkan untuk mengambil gambar pembuatan roti secara tradisional di bagian depan restaurant ini.


Gedung Abu Zaghleh di custom area, 12 km dari bandara

Restaurant tampak depan

Beberapa orang sudah ngantri makanan

Ruang makan yang bersih dan terang

Roti khas Jordan, sama seperti roti-roti Arab lainnya

Menu sarapan pagi

Teh khas Jordan ala Abu Zaghleh

Pembuatan roti-1

Pembuatan roti-2

Pembuatan roti-3

Tempat wisata pertama yang kutuju adalah the cave of sleepers.  Dari namanya pasti tidak ada yang menyangka kalau tempat itu adalah tempat bersejarah khususnya bagi umat Islam karena disitulah tempat tidur para anak muda yang merasa terancam jiwanya oleh Raja yang lalim, lalu menyelamatkan diri dengan tinggal di dalam gua bersama seekor anjing yang setia menemani dan menjaga tuannya di depan pintu gua.  Mereka tidur selama 300 tahun dan tidak disadari oleh mereka saat bangun karena tidak ada yang berbeda atau berubah dari diri mereka.  Mereka yang merasa lapar segera keluar gua meskipun ketakutan masih menghantui.  Di pasar saat membeli makanan itulah mereka menjadi bahan tertawaan orang-orang karena uang yang digunakan oleh mereka sudah terlalu lama dan tidak berlaku lagi.  Kisah anak-anak muda ini dikenal dengan Al Kahfi sebagaimana tertulis dalam kitab suci Al Quran. 

Bangunan yang kutemui saat memasuki Al Kahfi

Pintu masuk masjid di Al Kahfi

Bangunan utuh masjid di Al Kahfi

Inilah gua Al Kahfi yang terkenal itu

Ruangan di bagian dalam masjid-1

Ruangan di bagian dalam masjid-2

Sayangnya, aku ga bisa masuk ke dalam gua karena kepagian datangnya dan si juru kunci belum datang.  Tapi tak apalah, melihat gua dan area di sekitar gua seakan-akan membawaku ke jaman si anak-anak muda itu.  Akhirnya kutahu bahwa cerita-cerita dalam Al Quran itu tidak semuanya terjadi di Mekah atau Medinah, justru malah jauh dari kedua kota itu.  Ga nyangka salah satunya ada di Jordan. 

Tanaman yang dengan tulisan 'Allah'

Kucing Jordan yang senang banget bermain dengan kameraku


Belum puas dengan gua Al kahfi, aku segera menuju Amphitheater, bangunan kuno di jaman kejayaan bangsa Romawi.  Seperti yang ada di Acropolis, Yunani dan Gladiator stadium di Roma, Amphitheater di Amman dulunya menjadi tempat pertunjukkan kesenian dan permainan bangsa Romawi.  Dikelilingi oleh taman-taman dan kolam-kolam, bangunan ini masih terawat baik oleh Pemerintah Jordan dan digunakan untuk perayaan atau festival rakyat khususnya di musim panas.  Lokasinya pun dekat dengan salah satu istana raja yang lebih sering digunakan untuk keperluan pemerintah daripada untuk tempat tinggal.


Amphitheater jaman Romawi kuno


Dari Amphitheater, aku menuju Citadel, taman para dewa di jaman Romawi kuno.  Kita memang tidak bertemu bangunan dalam bentuk utuh, tetapi tinggal puing-puing.  Namun sisa-sisa kebesaran dan keindahan taman masih dapat kita temui disana.  Disinilah aku tahu bahwa nama "Philadelphia" kota di Amerika sudah ada sejak jaman Romawi dan ada hubungannya dengan Citadel di Amman Jordan.  Disini juga aku menemukan tempat Hercules menerima kekuatan super power-nya.  Kupikir dulu cuman cerita fiksi belaka, tapi setelah melihat dan membaca ceria singkatnya di depan bangunan yang tinggal puing-puing itu, akhirnya kutahu bahwa Hercules itu benar-benar ada.  Untuk mengetahui lebih jelas tentang Citadel, di dalam taman ini tersedia museum yang menceritakan sejarah Nympt, Tyche dan yang pasti Hercules.  Masuk taman ini tidak gratis, kamu harus beli tiket dulu di loket depan pintu gerbang.  Guide berbahasa Inggris tersedia untuk membantu menjelaskan sejarah taman, tapi kembali lagi ini tidak gratis, bung.

Bagian depan taman Citadel

Puing-puing tersebar di sekitar taman

Inilah temple of Hercules yang tinggal puing

Cerita singkat tentang sejarah Temple of Hercules

Foto dari bagian belakang Temple of Hercules

Museum di dalam taman Citadel

Patung kepala Dewa Nymph

Tyche, Dewi Kemakmuran & Keberuntungan
Peti mati dan ada yang seperti tempat mummi

Gua ternyata sangat popular di jaman Romawi kuno

Malam pertama di Amman aku menginap di hotel Imperial Palace yang berlokasi di tengah kota.  Saat turun dari mobil kita tidak bakal menyangka kalau hotel ini besar karena area depan hotel terasa sempit.  Tapi setelah masuk dan berada di depan meja resepsionis, kita akan melihat besarnya hotel ini.  Ruangan tempat tidur berukuran sedang dengan fasilitas televisi layar datar, meja dan kursi tamu tunggal, meja rias, mini bar dan wifi gratis dengan password yang dapat kita peroleh dari resepsionis.  Kamar mandinya lumayan kecil tapi dengan fasilitas standar.  Seperti biasa, yang tersedia hanya handuk, sabun, shampoo, dan body lotion.  Sikat gigi dan sebagainya harap bawa sendiri ya....

Tempat tidur yang bersih dan lapang

Kamar tidur dengan fasilitas wifi yang super cepat

Kamar mandi-1

Kamar mandi-2
Bagian tengah hotel
Ini bentuk colokan listrik di Jordan

Eksplorasi berlanjut.  Setelah sarapan, jam 8.30 pagi Saber dengan mobilnya sudah stand by dan siap mengantarku ke Mount Nebo.  Dari Amman dibutuhkan waktu sekitar 2,5 jam menuju Nebo.  Katanya di tempat ini kita akan menelusuri jalur Nabi Musa menerima tanah impian dari Tuhan dan lokasi Nebo yang dekat dengan Jericho Israel masuk dalam jalur suci sang nabi.  Tapi yang menjadi daya tarik pengunjung adalah gereja Byzantine dan monastary yang dibangun di tahun 4 Masehi yang berada puncak tertinggi pegunungan dan persis di bibir jurang.  Serta serpihan mosaic lantai gereja yang sengaja diletakan di luar untuk dapat dilihat oleh pengunjung.  Kalau aku malah tertarik dengan rolling door pintu gerbang area gereja yang terbuat dari batu karang besar yang diberi nama Abu Badd.  Sayangnya saat itu gereja ditutup untuk publik, tapi kita masih diberi kesempatan untuk jalan-jalan mengelilingi sisi kiri sampai belakang gereja. Di sebelah kiri, kita juga dapat memasuki Museum dan mengetahui sejarah terkait gereja ini.  Untuk masuk ke wisata Mount Nebo, kita harus bayar tiket sebesar 2 JD (Jordan Dinar)

Tugu di bagian depan

Tugu dilihat dari belakang

Batu mengenang Nabi Musa

Inilah gereja Mount Nebo yang ditemukan pada tahun 1933

Batu Abu Badd, rolling door pintu masuk area gereja

Serpihan mosaic-1

Serpihan mosaic-2
Bentuk salib yang unik

Dari Mount Nebo aku mampir sebentar ke La Storia museum yang dikelola oleh swasta dimana kita akan dibawa ke sejarah lahirnya Musa, Isa dan Nuh.  Tapi yang menurutku unik justru tentang kehidupan masyarakat Jordan di masa tempo doeloe.  Dan disini terdapat juga tempat pembuatan lukisan atau kerajinan yang terbuat dari bebatuan limestone.  Sangat rumit dan perlu kesabaran dan kehati-hatian karena batu dipotong kecil-kecil dan dirangkai dengan sangat detail.  Makanya harga sebuah lukisan kecil dengan ukuran 20 x 30 cm bisa berkisar 100 sampai 250 JD. 


Kampung dan pasar di Jordan tempo doeloe

Selanjutnya mengunjungi gereja ortodoks di Madaba karena di gereja ini juga ditemukan mosaic yang serupa dengan di Mount Nebo.  Hampir semua lukisan di dalam gereja ini terbuat dari limestone yang membuat kita geleng-geleng kepala karena ga kebayang betapa rumit dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk sebuah lukisan.  Bagi orang muslim Indonesia, masuk kesini pasti akan kebingungan dan merasa unik karena di dalam gereja semua tulisan berbahasa Arab dan lagu-lagu yang diperdengarkan pun berbahasa Arab.  Maklum, tulisan dan lagu-lagu Arab lebih identik dengan tradisi Islam. 

Gereja orthodox di Madaba

Untungnya kita boleh masuk dan mengambil gambar

Mosaic di lantai gereja-1

Mosaic di lantai gereja-2

Hampir semua dinding terdapat lukisan

Lukisan yang terbuat dari bebatuan

Kebayang berapa lama membuat lukisan dari batu ini?

Gedung samping gereja tempat beli tike masuk seharga 1 JD

Tidak boleh ada waktu yang terbuang.  Aku benar-benar memanfaatkan keterbatasan waktu yang kumiliki dengan memaksimalkan kunjungan sebanyak-banyaknya tempat wisata di Jordan.  Dari Madaba, aku segera menuju Karak karena disini ada tempat wisata berupa istana dan sekaligus benteng penjagaan jaman Romawi kuno untuk melindungi diri dari musuh-musuhnya.  Sesampai di Castle Plaza, aku bukannya langsung keliling istana, tapi malah mampir dulu ke sebuah restaurant di depan castle yang unik karena terbuat dari material batu dan menjadi satu kesatuan dengan castle.  Pilihanku tepat sekali, makanan disini rasanya nikmat dan harganya pun murah.  Yoghurt daging kambing, ayam panggangnya berasa banget dan lembut dagingnya.  Ini untuk yang pertama kalinya aku makan daging kambing yang dimasak dengan yoghurt.  Kalau dilihat sih seperti kuah kari, tapi supirku yang asli Jordan menyakinkanku bahwa itu daging kambing yang dimasak dengan yoghurt.  Ya sudahlah, yang penting enak rasanya.  Makan sepuasnya plus dessert dan minuman, aku hanya bayar 12 JD!!!  Murah kan?

Fasad depan restaurant

Bagian dalam restaurant

Buffet dan makan sepuasnya

Dinding dan lukisan kuno

Serasa dibawa ke jaman romawi kuno

Castle Plaza dibuka mulai jam 8 sampai dengan 4 sore.  Areanya sangat luas terdiri dari bangunan di bawah tanah sampai menara-menara pengawas.  Kita harus hati-hati memasuki setiap ruangan yang tidak ada penerangan ini karena banyak lorong-lorong yang bisa menyesatkan kita.  Bahkan ada beberapa ruangan yang tidak berjendela, gelap dan pengap.  Disini kita bisa mengetahui bagaimana sistem pengamanan di masa itu, juga kehidupan seperti apa di puri tua jaman kerajaan.  Ada ruangan yang berfungsi sebagai dapur, ruang makan, ruang tidur bahkan ada juga ruangan penjara bagi musuh atau penyusup yang tertangkap.  Sayangnya, puri ini kurang dirawat dengan baik, sehingga banyak bagian-bagian yang hilang. 

Meriam di depan pintu masuk castle

Bangunan terluar

Memasuki ruangan dalam

Dinding castle yang di tebing tinggi dan jurang
Gedung utama di puncak castle yang menjadi favorit pengunjung


Dalam perjalanan ke Petra aku menyempatkan diri berhenti di sebuah toko buah karena supirku mengatakan bahwa buah-buahan di Jordan unik dan enak rasanya.  Salah satunya adalah pisang, buah tropical yang hidup subur juga di negara 4 musim ini.  Dengan harga satu sisir 1 JD, aku merasakan manisnya pisang Jordan yang bentuknya kecil dan cenderung kelihatan belum matang bila dilihat dari warna kulitnya.  Saking senangnya, sampai-sampai setiap hari aku beli pisang dan pulang ke Jakarta pun kubawa satu sisir.  Sepanjang perjalanan ke hotel di kawasan Petra, aku tiada henti makan pisang.  Saber tersenyum geli melihatku.  Tak terasa kami tiba juga di hotel Panorama tempatku menginap malam itu.  Aku memang tidak menuju tempat wisata Petra karena kata orang lebih baik datang pagi atau siang hari agar bisa melihat dan mengelilingi kawasan Petra yang sangat luas.  Hotel Panorama lumayan unik karena lobby dan resepsionis berada di lantai 3 di gedung yang terpisah dengan gedung untuk kamar-kamar hotel.  Bila menginap di hotel ini kita harus turun dulu dari lantai 3 menuju lantai 0, lalu jalan kaki menuju lift terpisah atau yang berada di gedung lainnya.  Gedung untuk kamar hotel dimulai dari lantai 11 sampai ke lantai 2.  Jadi saat kita pindah ke lift kamar, sebenarnya kita sedang berada di lantai 11, artinya bila kamar kita di lantai 2, kita harus tekan tombol di dalam lift nomor 2 yang akan membawa kita turun ke lantai 2.  Setiap lorong kamar dipasangi sensor lampu, sehingga saat kita berjalan di lorong itu dan terkena sensor maka lampu pada lorong itu akan menyala.  Kamar tidur hotel ini lumayan luas, kamar mandinya juga.  Minibar, TV layar lebar, meja kerja, lemari pakaian tersedia di dalam kamar.  Sedangkan peralatan di kamar mandi sudah disediakan 4 helai handuk, sabun mandi sekaligus shampoo cair dalam tube yang ditempel di dinding atas bath-up.  Yang unik di hotel ini, fasilitas di minibar seperti teh sachet, kopi atau gula tidak tersedia, meskipun teko pemanas air ada.  Air mineral pun juga tidak di kamar.  Tapi jangan kecewa dulu.  Kalau nginap di hotel ini, kita bisa makan malam dan sarapan gratis di restaurant di lantai 2.  Dan lokasi hotel ini yang berada di puncak bukit yang membuat pengunjung bisa menikmati keindahan view bukit-bukit Petra.

Kamar tidur

Cuman teko pemanas dan gelas, tidak ada teh atau kopi sachet

Kamar mandi luas dengan peralatan standar
bath-up dengan 2 helai handuk


Setelah sarapan sekitar jam delapan pagi aku sudah berada di pintu masuk kawasan wisata Petra.  Beberapa orang sudah antri di loket pembelian tiket.  Bila kita ingin didampingi guide, kita bisa dating ke ruangan guide di seberang loket tiket.  Cukup bayar 30 dinar, guide akan melayani kita maksimal 2 jam, selanjutnya dia akan meninggalkan kita.  Tiket masuk sudah termasuk fasilitas naik kuda dari pintu masuk sampai ke batas atau pemberhentian kuda.  Ini hanya untuk sekali naik, artinya kalau kita tidak ingin naik kuda saat berangkatnya, maka kita bisa naik kuda saat ingin keluar kawasan.  Namun kulihat beberapa joki kuda berbuat curang.  Mereka meminta tips atau uang tambahan dari pengunjung.  Kita harus hati-hati juga bila ada yang menawarkan kita untuk ke monastery yang berada di puncak bukit.  Bilangnya sih cuman 20 menit, tapi kenyataannya lebih dari itu dan si joki terkadang memaksa pengunjung untuk membayar lebih dari kesepakatan.  Itu kata Saber, supirku untuk mengingatkanku.  Amazing!, itulah ungkapan perasaanku saat memasuki kawasan Petra khususnya waktu tiba Treasury atau Al Khazna, tujuan utama Petra atau icon wisata Jordan.  Setelah mendengar penjelasan guide ternyata kubaru tahu kalau Petra adalah kawasan pemakaman, bukan warisan gedung-gedung istana atau pemukiman masyarakat sebelum Masehi.  Di Petra juga kita temukan warisan bangsa Romawi berupa jalan raya, toko-toko dan tempat sembahyang. Disamping bangunan megah di batu-batu pasir, aku juga kagum atas kecerdasan masyarakat saat itu yang membangun dam dan drainase agar mereka terhindar dari banjir.  Bayangin di jaman itu sudah memikirkan tentang manajemen air?
 
Antrian belum banyak karena masih sangat pagi

Strategi promosi dalam tiket

Gedung di halaman depan

Pemandangan di area depan

Pemandangan di area depan

Mulai memasuki lorong-lorong batu

Pemandangan di lorong batu

Pemandangan di lorong batu
Treasury (Al Khazna), icon Petra sekaligus icon wisata Jordan

Pemandangan area bagian tengah

Pemandangan area bagian tengah

Pemandangan area bagian tengah
Pemandangan area bagian belakang
Dam, sebagai bagian dari sistem drainase
Lihat saluran air itu!


Dari Petra, aku melanjutkan perjalanan ke Wadi Rum.  Padang pasir ternyata menjadi daya tarik Jordan dan layak untuk dikunjungi.  Kenapa? Karena Wadi Rum bukan seperti padang pasir di negara-negara Arab atau Afrika yang terkenal panas atau bersuhu tinggi.  Justru disini udaranya dingin, anginnya kencang.  Bahkan di musim dingin, di puncak bukit padang pasir diselimuti salju.  Suhu udara bila musim panas paling tinggi berkisar 35 derajat yang menurutku tidak terlalu tinggi untuk orang Indonesia yang terbiasa dengan suhu 33 derajat.  Obyek wisata yang dapat kita temui disini adalah pahatan lukisan jaman purba di dinding batu salah satu bukit dan pahatan wajah 3 pejuang Jordan.  Wadi Rum juga menyediakan wisata naik unta dan tenda-tenda untuk penginapan.  Di hari Kamis dan Jumat, tempat ini banyak dipilih oleh warga Jordan untuk bermalam, karena hari libur sekolah dan kantor adalah Jumat dan Sabtu.  Sedangkan hari Sabtu dan Minggu-nya lebih banyak turis dari manca negara. Selain pengunjung diajak keliling gurun dengan kendaraan roda empat dan naik unta, di malam hari pengunjung dihibur dengan musik dan tarian padang pasir.  Namun kebanyakan pengunjung memilih untuk berjalan kaki ke gurun dan tiduran di atas pasir menikmati bintang malam. Suasana di Wadi Rum sangat hening, cocok untuk tempat berbulan madu atau merenung atau mendekatkan diri dengan alam.


Alam padang pasir yang tidak panas

Di puncak bukit itu akan bersalju bila musim dingin

Lukisan di batu manusia di jaman kuno

Ied dan untanya yang membawaku jalan-jalan di padang pasir

Si pemilik dengan piaraannya


Keesokan harinya, aku sudah berada di tempat wisata Jarash.  Tempat ini mengingatkanku pada Vatican karena ada bagian hall terbuka dengan pilar-pilar berdiri tegak membentuk setengah lingkaran sangat mirip dengan yang ada di area depan Vatican.  Yang lebih menarik adalah, Jarash dulunya merupakan kota elit di masanya, makanya disini kita bisa menemukan amphitheater yang canggih.  Aku dibuat terkagum-kagum dengan sound system theater terbuka ini.  Bila kita berada di titik tengah panggung dan mengucapkan sesuatu, maka echo atau suara gema kita akan terdengar sampai di kursi teratas theater.  Dan bila kita membisikan sesuatu di lingkaran dinding bawah tempat penonton, maka suara kita akan terdengar dengan jelas oleh orang yang menempelkan telinganya di lingkaran yang sama yang berada jauh dari lingkaran tempat kita.  Hebat!!  Bukti bahwa orang-orang jaman dulu sudah cerdas bahkan menurutku sangat cerdas di masanya.  Sama seperti di Petra, di Jarash juga ditemukan pengelolaan air minum dan air kotor yang luar biasa hebatnya.  Di bawah jalan, dibangun tunnel-tunnel air yang terpisah untuk kepentingan air minum dan air limbah.  Konon di kota tua ini dihuni oleh 4 penganut kepercayaan yaitu Pagan (mistik atau percaya sihir), Yahudi, Islam dan Kristen.  Mereka hidup damai dan saling menghormati. 

Pasar yang ada di area pintu masuk

Gerbang utama Jarash

Gerbang kedua menuju kota tua

Pilar-pilar mirip di Vatican

Amphitheater, eksklusif di jamannya

Kapasitas lebih dari 1000 orang

Lobang-lobang itulah sound system jaman dulu

Tempat ibadah masyarakat di kota tua

Jalan utama kota tua, mirip dengan yang di Petra


Sebelum meninggalkan Jordan, aku menyempatkan diri pergi ke Dead Sea atau laut mati yang terkenal dengan kadar garam tertinggi di dunia.  Saking tingginya sampai-sampai di papan peringatan dekat pantai tertulis dilarang membuka mata atau mulut saat berenang.  Bener lho, saat kucicipi air laut itu, wuih......asin banget!!! Dan saat berenang dan membasuh muka yang sempat dibalur dengan lumpur hitam laut mati, tidak terasa mataku terciprat air laut, ampun......pedih banget!!  Oiya, di laut mati ini kita harus merasakan lulur black mud atau lumpur hitamnya yang terkenal itu.  Di Jakarta sangat mahal untuk mendapatkan perawatan lumpur hitam laut mati.  Di Jordan, kita cukup bayar 3 JD, petugas laut mati akan melumuri sekujur tubuh kita dengan lumpur hitam.  Hampir semua pengunjung tidak melewatkan kesempatan ini, mungkin cuman disini kita bisa menikmati perawatan lumpur hitam langsung dari sumbernya dan murah harganya.  Bagi pengunjung yang tidak sempat bawa handuk, kita cukup membayar deposit 10 JD ke petugas di kafe dekat kolam renang.  Dengan deposit itu kita bisa mendapatkan 1 helai handuk dan 1 loker untuk menyimpan tas dan pakaian kita.  Bila sudah selesai, kita tinggal menyerahkan kunci loker ke petugas, lalu petugas akan menyerahkan 7 JD ke kita. 

Tugu 'Zero' sea level menuju Laut Mati

Lihat karang putih di bibir pantai?  Salt rock!

Papan peringatan bagi pengunjung Laut Mati

Kolam renang sebelum pantai


Di sekitar laut mati sudah banyak berdiri hotel-hotel bintang 5 dan menyediakan spa lumpur hitam, tapi yang pasti dengan harga yang sangat mahal.  Hanya satu area yang murah untuk public yaitu Amman beach.  Disini pengunjung hanya dikenakan tiket masuk 5 JD.  Tapi jangan datang di hari Jumat atau Sabtu karena kawasan ini akan penuh banget dan sangat sulit menuju area ini karena macet dan sulit sekali juga mendapatkan tempat parkir mobil.


Amman beach, pantai publik yang tidak perlu menginap di hotel


Sebelum perjalanan menuju bandara untuk kembali ke tanah air, aku menyempatkan diri makan malam di restaurant yang terkenal dengan makanan yang enak dan pelayanan yang prima, Tawaheen Al Hawa.  Berlokasi di tengah kota dan sangat sulit untuk cari lokasi parkir karena selalu dipadati pengunjung apalagi di akhir pekan.  Untungnya aku sudah reserve dulu, makannya langsung dapat tempat.  Ternyata benar, puluhan pengunjung datang bergantian menandakan tempat makan ini benar-benar menjadi pilihan semua orang.  Selain rasa makanannya, harga makanan disini relatif murah.  Bisa dikatakan malah tidak sebanding dengan pelayanannya.  Artinya, tidak semua tempat yang mewah dan pelayanan yang prima selalu berharga mahal. 

Bagian luar restaurant

Bagian dalam restaurant

Pelayanan cepat, tapi makanannya nikmat

Daging kambing ini enak banget

Siapa yang bakal ngehabisin??

Penyajian yang unik untuk pencuci mulut


Itulah cerita singkat perjalananku ke Jordan.  Negara ini memiliki banyak obyek wisata yang layak untuk dikunjungi. Untungnya, maskapai Royal Jordanian siap mengantarkan kita dari Jakarta ke Amman, ibukota Jordan.




4 komentar:

  1. Lain kali ngajak2 dunk bang...kita juga pingin kesono...

    BalasHapus
  2. Ha...ha..ga usah nunggu diajak, langsung beli tiket sono!

    BalasHapus
  3. Nice info pak Fery,
    Insha Allah pertengahan Juli saya akan ke Jordan.
    Kalo masih simpan nomor kontak Saber, boleh saya minta ?

    Thanks and regards,
    Budi Erianto

    BalasHapus