Rabu, 01 November 2017

Banyuwangi Bersolek Diri, Siap Menyongsong Hari



Sejak dibukanya penerbangan langsung dari Jakarta ke Banyuwangi oleh Nam Air 16 Juni 2017 yang lalu, kota di ujung timur pulau Jawa ini berhasil menarik perhatian banyak orang.  Kota ini yang dulunya lebih banyak sebagai kota transit khususnya mereka-mereka yang bepergian via jalur darat ke Bali, kini berubah menjadi salah satu destinasi yang tidak bisa dilihat sebelah mata.  Meskipun tidak sepopuler Bali dan Surabaya, ternyata kota ini punya segudang tempat-tempat indah yang pantas menjadi cerita.  Dan aku siap membaginya untuk kalian semua.


Banyuwangi ada di ujung Propinsi Jawa Timur


Pesawat Boeing 737 seri 500 milik Nam Air mendarat dengan selamat di Bandara Blimbingsari – Banyuwangi.  Mendaratnya tidak begitu mulus karena permukaan runway atau landasan pacu bandara ini tidak rata.  Kami, penumpang semua dapat merasakan bumping saat pendaratan.  Sepertinya runway ini perlu di-overlay supaya tidak ada permukaan yang bergelombang.  Bandara Blimbingsari memang masih minim fasilitas.  Bandara ini belum punya garbarata, jadi semua penumpang harus jalan kaki dari apron atau tempat parkir pesawat ke terminal.  Belum lagi ukuran gedung terminalnya, terlihat mungil banget.  Ruangan kedatangan itu tidak mungkin bisa menampung semua penumpang yang datang.  Ya, kalau sekadar lewat mungkin tidak menjadi masalah.  Untungnya saat itu kebanyakan penumpang tidak membawa bagasi atau cenderung membawa barang bawaannya langsung ke kabin, sehingga hanya beberapa orang saja yang harus menunggu bagasi di dalam terminal kedatangan itu.   Conveyor belt tempat pengambilan bagasi pun masih sangat sederhana.  Uniknya, petugas yang memeriksa bagasi bukanlah dari airlines melainkan dari kepolisian. 


Menu sarapan pagi Nam Air
Boeing 737-500 Nam Air yang membawaku ke Banyuwangi
Menara pengawas lalu lintas udara di Bandara Blimbingsari
Betapa kecilnya terminal penumpang
Petugas kepolisian yang memeriksa bagasi keluar


Itulah kesan pertamaku menginjakkan kaki di Banyuwangi.  Semua terlihat sederhana seperti yang tergambar dari Bandara Blimbingsari sebagai pintu gerbang kota ini.  Yang sedikit membingungkan adalah backdrop di depan pintu keluar terminal kedatangan.  Disitu ditempatkan poster sebuah gunung yang lebih mirip dengan Kawah Ijen dan di depan backdrop itu ditempatkan beberapa keranjang rotan yang didalamnya berisi bongkahan batu belerang.  Apakah icon wisata Banyuwangi itu Kawah Ijen atau Belerang?  Bukankah G-Land atau Pantai Plengkung lebih mendunia daripada Kawah Ijen?


Backdrop di bagian luar terminal kedatangan
Terminal keberangkatan
Super kecil sesuai dengan jumlah penerbangan yang dilayani
Check-in counter yang hanya 3 meja
X-Ray Pemeriksaan barang saat memasuki terminal
X-Ray Pemeriksaan barang saat memasuki ruang tunggu
Ruang tunggu keberangkatan


Tempat pertama yang kukunjungi adalah Green Bay alias Teluk Hijau yang katanya punya pantai yang indah sekali.  Lokasi teluk ini sangat jauh dari bandara ataupun dari pusat kota.  Coba bayangkan bila di Jakarta dengan jarak tempuh 10 km atau bahkan dibawah itu, kita bisa menghabiskan waktu di jalan lebih dari 1 jam karena traffic macet.  Tetapi di Banyuwangi, untuk ke Teluk Hijau aku butuh waktu 2 jam lebih!  Sedangkan kota ini jauh dari predikat macet.  Mobil yang membawaku pergi kesana pun lincah bergerak melaju ke tempat tujuan.  Jadi kebayang kan betapa jauhnya Teluk Hijau?  Tapi bagi seorang traveler, jarak terkadang tidak menjadi masalah asalkan tempat yang kita datangi nanti berharga banget.  Artinya, kita tidak sia-sia menghabiskan waktu dan tenaga kesana.


Teluk Hijau yang tenang dan bersih
Kita bisa berlama-lama disini
Perahu nelayan siap antar jemput
Indah untuk menjadi tempat pemotretan atau syuting film


Untuk mencapai Teluk Hijau, aku harus pergi dulu ke Pantai Rajegwesi.  Dari sini, aku harus menyeberang ke Teluk Hijau menggunakan perahu nelayan.  Ongkos untuk naik perahu pulang pergi Rp 50.000/orang.  Jarak tempuh sangat pendek dari Pantai Rajegwesi ke Teluk Hijau sekitar 20 menit dan setibanya di Teluk Hijau, nahkoda akan stand by menunggu di bibir pantai untuk mengantarkan kembali penumpang ke Rajegwesi.  Teluk Hijau itu indah banget.  Pasirnya putih, air lautnya bersih berwarna hijau kebiru-biruan, batu-batu karang besar mempercantik pemandangan.  Hutan bakau pun tumbuh dengan baik bersama tanaman khas hutan di pesisir pantai.  Disini juga dibangun jogging track sepanjang 3 km bagi pengunjung yang menyukai suasana alam.  Bila beruntung, kita dapat bertemu dengan monyet atau binatang lainnya.  Kata Pak Pur, guide yang mendampingiku di Teluk Hijau, hutan ini sangat luas, lebat dan masih ada binatang buas seperti harimau.  Dan di Teluk Hijau ini tidak ada homestay atau penginapan.  Jadi, pengunjung hanya bisa menikmati pemandangan disini dari pagi sampai sore.



Pantai Rajegwesi
Perahu nelayan siap mengantarkan ke Teluk Hijau
Ombak tidak terlalu besar menuju Teluk Hijau
Jogging track di Teluk Hijau


Selain Teluk Hijau, Banyuwangi juga punya pantai yang khusus didatangi pengunjung di sore hari karena disinilah tempat terbaik menikmati sunset atau terbenamnya matahari.  Namanya, Pantai Pulau Merah.  Dari penjelasan pedagang di sepanjang pantai, pulau ini bernama Merah karena tanah yang membentuk pulau ini adalah tanah merah dan akan terlihat jelas di pagi hari.  Mungkin saja aku tidak dapat melihat warna merah itu karena aku datangnya sore hari.  Justru aku hanya melihat warna merah dari air buah naga yang kumakan sambil duduk santai di atas kursi pantai.



Pulau Merah-1
Pulau Merah-2
Pulau Merah-3
Sunset di Pulau Merah


Orang bilang, kalau ke Banyuwangi kita harus mengunjungi Kawah Ijen.  Disamping disinilah tempat satu-satunya di Indonesia atau mungkin di Asia untuk melihat blue fire.  Jujur saja, aku jadi penasaran apa dan bagaimana blue fire itu?  Tapi kalau ingin melihat blue fire dan danau kawah, kita tidak bisa sembarangan datang.  Pemerintah daerah Banyuwangi mengatur jam kunjungan.  Pengunjung diperbolehkan masuk atau mendaki gunung tepat di jam 12 malam.  Alasannya, di malam hari suhu tidak panas dan oksigen tidak menipis, serta blue fire hanya terlihat di malam hari sampai dengan menjelang pagi.  Artinya kalau sudah fajar menyingsing, jangan harap bisa melihat blue fire.



Blue Fire-1
Blue Fire-2
Blue Fire-3
Semua kendaraan harus berhenti disini
Asap belerang terus keluar dari dasar kawah
Kerumunan orang masih ada di sekitar kawah
Tetap menarik sebagai spot berfoto




Sebenarnya Ijen tidak hanya punya blue fire, tetapi kuakui pemandangan alamnya di pagi hari sangat indah apalagi saat matahari terbit.  Kubangan kawah besar yang mirip danau itu terlihat jelas warna hijau airnya.  Juga tebing-tebing batu cadas bercampur belerang menambah cantik panorama di Ijen.  Belum lagi kalau kita menuruni jalan kembali ke kaki bukit. Kita akan bertemu dengan gunung Meranti yang beberapa bagiannya diselimuti awan putih.  Ini mirip banget sama Gunung Fujiyama.  Udara di Ijen pun sangat mendukung, sejuk dan bersih.  Bagi yang tidak mampu menikmati perjalanan dengan kaki sendiri, jangan khawatir, disini tersedia ‘trolley taxi’.  Hampir di setiap tikungan kita akan bertemu dengan ‘pengemudi’ taxi yang menawarkan jasanya.  Tarifnya relative murah sekitar Rp 600.000 untuk naik dan turun gunung.  Hanya satu yang perlu diperbaiki di lokasi wisata ini yaitu kondisi jalan dari kaki bukit ke puncak kawah.  Sebaiknya disediakan handrail untuk memudahkan orang mendaki ataupun turun gunung.  At least mereka bisa break sebentar mengatur nafas dan tenaga sambil berpegangan pada handrail.  Dan juga handrail dapat berfungsi sebagai pengaman bilamana ada orang yang terpeleset karena permukaan jalan yang licin.



Gapura menuju pendakian

Pengunjung harus membeli tiket
Gunung Meranti yang terlihat indah
Para 'trolley taxi'sudah siap mengantar pengunjung
Kalau turun pakai 1 supir, tapi kalau naik bisa 2 atau 3
Penambang batu belerang



Satu lagi wisata di Banyuwangi yang sudah mendunia yang wajib dikunjungi yaitu G-Land. Nama G-Land diambil dari kata Grajagan, yaitu nama dari sebuah Teluk.  Tapi ada juga yang mengatakan bahwa G itu singkatan dari Giant karena G-Land masuk dalam 7 besar pantai yang memiliki ombak tertinggi dan terbesar di dunia dan bagi para surfer atau peselancar disebut dengan Giant wave.  Namun bagi orang lokal kalau ditanya G-Land, mungkin mereka kurang paham.  Makanya kalau kesini dan pengin tahu signage sebaiknya nanya dengan istilah orang lokal yaitu Pantai Plengkung. 



G-Land atau Plengkung Beach

Sedang sepi pengunjung

Waktu mau berangkat ke G-Land dari Pos Pancur

Sewa kendaraan khusus plus supir dari Pancur ke G-Land




Pantai Plengkung atau G-Land sebenarnya masih dalam satu kawasan Taman Nasional Alas Purwo.  Akses menuju pantai ini dapat ditempuh melalui transportasi darat, laut dan udara.  Tepat di pinggir pantai tersedia helipad untuk take-off dan landingnya helicopter bila ada pengunjung yang ingin menggunakan transportasi udara.  Yang pasti biayanya sangat mahal.  Kalau mau yang sedikit murah, pakailah jalur laut, dan yang paling murah yaitu jalur darat.  Tapi setelah mengalami sendiri perjalanan via darat yang amat jauh dan melelahkan itu, mungkin kalau kesini lagi, aku akan mencoba via udara.  Kalau via laut lumayan mengerikan karena kebayang kalau pas ombaknya sedang tinggi-tingginya, bisa terguling kapal yang kunaikin nanti.



Helipad untuk helicopter

Harus jalan kaki dari Pos G-Land ke pantai

Para surfer siap beraksi




Dari hotel tempatku menginap sampai ke G-Land, aku butuh waktu 5 jam.  Itupun sudah termasuk wajib lapor di Pos Penjagaan Rowo Bendo dan rehat untuk mengisi perut dulu di Pos Penjagaan Pancur.  Padahal aku berangkatnya pagi-pagi sekali sekitar jam 9 setelah sarapan dan kendaraan yang membawaku kesana pun sudah melaju dengan kecepatan maksimal.  Bahkan traffic ke tujuan saat itu sangat lengang. Yang membuat lama adalah kondisi jalan saat memasuki Alas Purwo dan dari Pos Pancur ke G-Land. Lumayan parah, lobang disana sini dan tidak beraspal.  Penerangan jalan pun sepertinya tidak ada.  Makanya kalau mau kesini disarankan tiba di siang hari dan sorenya sudah harus meninggalkan kawasan ini bila tidak ingin menginap di penginapan satu-satunya yang ada di pinggir pantai G-Land.  


Satu-satunya warung nasi yang ada di Pancur
Pemandangan menuju G-Land, ada yang kering
Ada yang hijau
Pos pertama di alas purwo
Pos kedua/terakhir di alas purwo sebelum ke G-Land
Satu-satunya penginapan yang ada di G-Land




Alas Purwo yang punya luas sekitar 44.000 hektar ini masih berkategori perawan. Artinya dilindungi keasliannya, habitat dan ekosistemnya dari pengaruh dunia luar.  Meskipun ada bangunan lain seperti Pos, penginapan, warung dan sebagainya, tetapi semua bangunan itu hanya menempati area kecil dan berada pada lokasi-lokasi tertentu saja.  Kata penjaga pos, siapapun tidak boleh menebang atau mengambil kayu dari hutan lindung ini.  Bahkan bila ada pohon tumbang, petugas atau penduduk setempat hanya boleh meletakkan pohon tumbang tersebut ke lokasi yang aman atau tidak mengganggu pergerakan orang dan kendaraan, sehingga perjalanan tidak terganggu dan pohon tadi akan membusuk secara alami di pinggir jalan.


Hutan lebat, tidak ada penerangan lampu sama sekali

Mereka menunggu belas kasih kita

Jumlah mereka banyak sekali

Sekaligus mampir ke Sadengan yang masih di dalam alas

Menara pemantau banteng liar

Banteng-banteng sedang menikmati alamnya




Banyuwangi juga punya wisata air terjun.  Salah satu yang kudatangi yaitu Air Terjun Jagir.  Untuk memasuki area air terjun, kita harus membayar tiket di loket yang berada persis di depan anak tangga penurunan menuju air terjun.  Aku sebenarnya agak jengah ke tempat ini setelah tahu harus naik turun tangga karena kakiku masih pegal banget gara-gara naik turun Kawah Ijen. Tapi rasa ingin tahu dan naluri pelancongku membuat aku tetap bersemangat menapaki setiap anak tangga. 




Naik turun tangga menuju air terjun

Air terjun Jagir terlihat dari atas tangga




Air terjun Jagir bagus banget.  Meskipun tidak setinggi dan sebesar Coban Rondo, tapi Jagir punya 3 air terjun.  Landscape-nya pun sangat mendukung.  Ada sungai kecil yang airnya super bening dengan batu-batu kali berukuran besar.  Serta ada jembatan kayu dan tanaman yang rimbun di sekitar air terjun.  Tidak mengherankan kalau sebagian pengunjung tidak ingin melewatkan diri untuk mandi atau sekadar berendam disini. 


Meskipun kecil tetapi indah

Bersih, sejuk dan lumayan terawat




Disamping wisata alam, Banyuwangi juga punya wisata kuliner.  Ada 3 tempat makan yang bisa menjadi rekomendasi.  Ketiganya menyajikan makanan yang berkualitas, enak, bersih dan murah.  Restaurant Aamdani, Warung Bik Ati dan Osing Deles.  Masing-masing tempat punya kelebihan.  Kalau Aamdani punya tempat yang sangat luas dengan area untuk parkir kendaraan yang luas juga. Restaurant ini dibagi dalam 2 sayap.  Sebelah kiri untuk fully meal seperti makan siang, makan malam, pesta atau acara berskala besar, lengkap dengan hiburan musik atau pertunjukkan lainnya.  Sedangkan di sebelah kanan lebih mirip dengan café untuk tempat nongkrong, minum kopi dan camilan. 


Bagian tengah

Area terbuka biasanya untuk perokok

Desain ruang bervariasi

Termasuk meja kursinya




Makanan yang serba seafood, nikmat banget di Aamdani.  Tom yam-nya super segar dan enak rasanya.  Juga ikan dabu-dabunya, kepiting soka goreng, ayam panggang, dan semua makanan yang diorder ludes disantap.  Memang sih, yang kami pesan tidak ada satupun yang asli makanan lokal, tapi setidaknya tempat ini layak untuk direkomendasikan.


Ayam bakar

Steamed ikan dan tumis tauge

Kepiting soka

Ikan dabu-dabu dan ayam goreng

Semuanya enakkkk...........!!!




Kalau warung Bik Ati ini menyediakan menu khusus khas Jawa Timur yaitu nasi pecal dan rawon.  Khusus tentang rawon, sup daging yang berwarna gelap ini punya banyak varian.  Ada rawon babat, rawon empal goreng, lidah sapi, dan lain-lain.  Rasanya hmm……laziz…..!!! Kalau masih kurang puas, kita bisa membeli bumbu jadi rawon itu. 


Warung Bik Ati




Sedangkan kelebihan dari restaurant yang ketiga, Osing Deles adalah menu pecal pithik dan menu western-nya seperti steak, cordon blue dan aneka minuman juice-nya yang super enak.  Tempat ini juga menyediakan counter untuk belanja oleh-oleh produk lokal seperti bagiak, pisang sale, aneka keripik, sambal dan petis udang. Juga ada pakaian seperti kaos, baju batik dan asesoris lokal. 


Cafe/Restaurant Osing Deles

Area bagian luar di lantai 2

Lihat atap itu!!

Meja kursi dirancang khusus

Tetap terlihat artistik




Tapi yang lebih berkesan dari Osing Deles adalah design interior ruangannya yang unik dan menarik.  Ada yang terkesan ke genre anak muda, ada juga yang sedikit formal.  Tapi yang pasti tata ruangnya sangat bagus.  Pernik-pernik detail benar-benar diperhatikan dengan baik sehingga sepintas lalu pengunjung tidak akan tahu bahan atau material yang digunakan adalah barang yang sehari-hari kita lihat.  Karena pengaturan letak dan pemilihan bahannya yang oke, interior ruangan ini terlihat wah, menarik dan membuat betah pengunjung untuk berlama-lama disini.


Beef cordon blue

Steak

Aneka minuman yang dikemas menarik

Menu andalan, pecal ayam pithik




Hotel tempatku menginap di Banyuwangi adalah Santika, hotel bintang 3 yang bila dilihat dari luar terkesan minimalis, namun setelah masuk ke dalamnya, berubah menjadi lebih berkesan luas dan lega.  Aku suka permainan garis di pilar-pilar area lobby, serta tata cahaya dan lay-out masing-masing ruangan yang terlihat harmonis, saling mendukung dan menghilangkan kesan sumpek dan asal-asalan.  Disamping kamar tidur yang bersih, luas dan fasilitas yang komplit, added value dari hotel ini adalah saat kita breakfast.  Ruangannya memang tidak terlalu besar tetapi dapat menampung lebih dari 50 orang sekaligus.  Dan yang paling mengesankan adalah variasi menunya melebihi standard hotel bintang 3.


Lobby area

Restaurant tempat sarapan di sekitar lobby

Kamar tidur yang lumayan luas dan lengkap fasilitas




Sekarang Banyuwangi sudah siap menerima kedatangan tamu-tamunya, baik itu dari kota atau propinsi lain di Indonesia, atau juga dari mancanegara.  Pemerintah daerah ini sepertinya terus berbenah, memperbaiki hal-hal yang masih perlu sentuhan yang lebih baik seperti di aksesibilitas, infrastruktur jalan ke tempat-tempat wisata, dan fasilitas penunjang lainnya yang sangat dibutuhkan oleh wisatawan.  Namun, Banyuwangi harus punya jati diri dan lebih mengedepankan produk-produk setempat yang telah terseleksi.  Boleh saja meniru strategi Bali, propinsi sebelah Banyuwangi, namun sekali lagi, Banyuwangi harus punya karakter sendiri dan percaya diri, tidak boleh menjadi Bali.





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar