Sejak dibukanya penerbangan langsung dari Jakarta ke Banyuwangi oleh Nam
Air 16 Juni 2017 yang lalu, kota di ujung timur pulau Jawa ini berhasil menarik
perhatian banyak orang. Kota ini yang
dulunya lebih banyak sebagai kota transit khususnya mereka-mereka yang
bepergian via jalur darat ke Bali, kini berubah menjadi salah satu destinasi
yang tidak bisa dilihat sebelah mata.
Meskipun tidak sepopuler Bali dan Surabaya, ternyata kota ini punya
segudang tempat-tempat indah yang pantas menjadi cerita. Dan aku siap membaginya untuk kalian semua.
|
Banyuwangi ada di ujung Propinsi Jawa Timur |
Pesawat Boeing 737 seri 500 milik Nam Air mendarat dengan selamat di
Bandara Blimbingsari – Banyuwangi.
Mendaratnya tidak begitu mulus karena permukaan runway atau landasan
pacu bandara ini tidak rata. Kami,
penumpang semua dapat merasakan bumping saat pendaratan. Sepertinya runway ini perlu di-overlay supaya
tidak ada permukaan yang bergelombang. Bandara Blimbingsari memang masih minim fasilitas. Bandara ini belum punya garbarata,
jadi semua penumpang harus jalan kaki dari apron atau tempat parkir pesawat ke
terminal. Belum lagi ukuran gedung
terminalnya, terlihat mungil banget. Ruangan
kedatangan itu tidak mungkin bisa menampung semua penumpang yang datang. Ya, kalau sekadar lewat mungkin tidak menjadi
masalah. Untungnya saat itu kebanyakan
penumpang tidak membawa bagasi atau cenderung membawa barang bawaannya langsung
ke kabin, sehingga hanya beberapa orang saja yang harus menunggu bagasi di
dalam terminal kedatangan itu. Conveyor belt tempat pengambilan bagasi pun masih
sangat sederhana. Uniknya,
petugas yang memeriksa bagasi bukanlah dari airlines melainkan dari
kepolisian.
|
Menu sarapan pagi Nam Air |
|
Boeing 737-500 Nam Air yang membawaku ke Banyuwangi |
|
Menara pengawas lalu lintas udara di Bandara Blimbingsari |
|
Betapa kecilnya terminal penumpang |
|
Petugas kepolisian yang memeriksa bagasi keluar |
Itulah kesan pertamaku menginjakkan kaki di Banyuwangi. Semua terlihat sederhana seperti yang
tergambar dari Bandara Blimbingsari sebagai pintu gerbang kota ini. Yang sedikit membingungkan adalah backdrop di
depan pintu keluar terminal kedatangan.
Disitu ditempatkan poster sebuah gunung yang lebih mirip dengan Kawah
Ijen dan di depan backdrop itu ditempatkan beberapa keranjang rotan yang
didalamnya berisi bongkahan batu belerang.
Apakah icon wisata Banyuwangi itu Kawah Ijen atau Belerang? Bukankah G-Land atau Pantai Plengkung lebih
mendunia daripada Kawah Ijen?
|
Backdrop di bagian luar terminal kedatangan |
|
Terminal keberangkatan |
|
Super kecil sesuai dengan jumlah penerbangan yang dilayani |
|
Check-in counter yang hanya 3 meja |
|
X-Ray Pemeriksaan barang saat memasuki terminal |
|
X-Ray Pemeriksaan barang saat memasuki ruang tunggu |
|
Ruang tunggu keberangkatan |
Tempat pertama yang kukunjungi adalah Green Bay alias Teluk Hijau yang
katanya punya pantai yang indah sekali.
Lokasi teluk ini sangat jauh dari bandara ataupun dari pusat kota. Coba bayangkan bila di Jakarta dengan jarak
tempuh 10 km atau bahkan dibawah itu, kita bisa menghabiskan waktu di jalan
lebih dari 1 jam karena traffic macet.
Tetapi di Banyuwangi, untuk ke Teluk Hijau aku butuh waktu 2 jam
lebih! Sedangkan kota ini jauh dari predikat
macet. Mobil yang membawaku pergi kesana
pun lincah bergerak melaju ke tempat tujuan.
Jadi kebayang kan betapa jauhnya Teluk Hijau? Tapi bagi seorang traveler, jarak terkadang
tidak menjadi masalah asalkan tempat yang kita datangi nanti berharga
banget. Artinya, kita tidak sia-sia
menghabiskan waktu dan tenaga kesana.
|
Teluk Hijau yang tenang dan bersih |
|
Kita bisa berlama-lama disini |
|
Perahu nelayan siap antar jemput |
|
Indah untuk menjadi tempat pemotretan atau syuting film |
Untuk mencapai Teluk Hijau, aku harus pergi dulu ke Pantai
Rajegwesi. Dari sini, aku harus
menyeberang ke Teluk Hijau menggunakan perahu nelayan. Ongkos untuk naik perahu pulang pergi Rp 50.000/orang. Jarak tempuh sangat pendek dari Pantai Rajegwesi ke Teluk Hijau sekitar 20 menit dan setibanya di Teluk Hijau, nahkoda akan stand by menunggu di bibir pantai untuk mengantarkan kembali penumpang ke Rajegwesi. Teluk Hijau itu indah banget. Pasirnya putih, air lautnya bersih berwarna hijau kebiru-biruan, batu-batu karang besar mempercantik pemandangan. Hutan bakau pun tumbuh dengan baik bersama tanaman khas hutan di pesisir pantai. Disini juga dibangun jogging track sepanjang 3 km bagi pengunjung yang menyukai suasana alam. Bila beruntung, kita dapat bertemu dengan monyet atau binatang lainnya. Kata Pak Pur, guide yang mendampingiku di Teluk Hijau, hutan ini sangat luas, lebat dan masih ada binatang buas seperti harimau. Dan di Teluk Hijau ini tidak ada homestay atau penginapan. Jadi, pengunjung hanya bisa menikmati pemandangan disini dari pagi sampai sore.
|
Pantai Rajegwesi |
|
Perahu nelayan siap mengantarkan ke Teluk Hijau |
|
Ombak tidak terlalu besar menuju Teluk Hijau |
|
Jogging track di Teluk Hijau |
Selain Teluk Hijau, Banyuwangi juga punya pantai yang khusus didatangi pengunjung di sore hari karena disinilah tempat terbaik menikmati sunset atau terbenamnya matahari. Namanya, Pantai Pulau Merah. Dari penjelasan pedagang di sepanjang pantai, pulau ini bernama Merah karena tanah yang membentuk pulau ini adalah tanah merah dan akan terlihat jelas di pagi hari. Mungkin saja aku tidak dapat melihat warna merah itu karena aku datangnya sore hari. Justru aku hanya melihat warna merah dari air buah naga yang kumakan sambil duduk santai di atas kursi pantai.
|
Pulau Merah-1 |
|
Pulau Merah-2 |
|
Pulau Merah-3 |
|
Sunset di Pulau Merah |
Orang bilang, kalau ke Banyuwangi kita harus mengunjungi Kawah Ijen. Disamping disinilah tempat satu-satunya di Indonesia atau mungkin di Asia untuk melihat blue fire. Jujur saja, aku jadi penasaran apa dan bagaimana blue fire itu? Tapi kalau ingin melihat blue fire dan danau kawah, kita tidak bisa sembarangan datang. Pemerintah daerah Banyuwangi mengatur jam kunjungan. Pengunjung diperbolehkan masuk atau mendaki gunung tepat di jam 12 malam. Alasannya, di malam hari suhu tidak panas dan oksigen tidak menipis, serta blue fire hanya terlihat di malam hari sampai dengan menjelang pagi. Artinya kalau sudah fajar menyingsing, jangan harap bisa melihat blue fire.
|
Blue Fire-1 |
|
Blue Fire-2 |
|
Blue Fire-3 |
|
Semua kendaraan harus berhenti disini |
|
Asap belerang terus keluar dari dasar kawah |
|
Kerumunan orang masih ada di sekitar kawah |
|
Tetap menarik sebagai spot berfoto |
Sebenarnya Ijen tidak hanya punya blue
fire, tetapi kuakui pemandangan alamnya di pagi hari sangat indah apalagi
saat matahari terbit. Kubangan kawah
besar yang mirip danau itu terlihat jelas warna hijau airnya. Juga tebing-tebing batu cadas bercampur belerang
menambah cantik panorama di Ijen. Belum
lagi kalau kita menuruni jalan kembali ke kaki bukit. Kita akan bertemu dengan
gunung Meranti yang beberapa bagiannya diselimuti awan putih. Ini mirip banget sama Gunung Fujiyama. Udara di Ijen pun sangat mendukung, sejuk dan
bersih. Bagi yang tidak mampu menikmati
perjalanan dengan kaki sendiri, jangan khawatir, disini tersedia ‘trolley
taxi’. Hampir di setiap tikungan kita akan
bertemu dengan ‘pengemudi’ taxi yang menawarkan jasanya. Tarifnya relative murah sekitar Rp 600.000
untuk naik dan turun gunung. Hanya satu
yang perlu diperbaiki di lokasi wisata ini yaitu kondisi jalan dari kaki bukit
ke puncak kawah. Sebaiknya disediakan
handrail untuk memudahkan orang mendaki ataupun turun gunung. At
least mereka bisa break sebentar mengatur nafas dan tenaga sambil berpegangan
pada handrail. Dan juga handrail
dapat berfungsi sebagai pengaman bilamana ada orang yang terpeleset karena permukaan jalan yang licin.
|
Gapura menuju pendakian |
|
Pengunjung harus membeli tiket |
|
Gunung Meranti yang terlihat indah |
|
Para 'trolley taxi'sudah siap mengantar pengunjung |
|
Kalau turun pakai 1 supir, tapi kalau naik bisa 2 atau 3 |
|
Penambang batu belerang |
Satu lagi wisata di Banyuwangi yang sudah mendunia yang wajib dikunjungi
yaitu G-Land. Nama G-Land diambil dari kata Grajagan, yaitu nama dari sebuah Teluk. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa G itu
singkatan dari Giant karena G-Land masuk dalam 7 besar pantai yang memiliki
ombak tertinggi dan terbesar di dunia dan bagi para surfer atau peselancar
disebut dengan Giant wave. Namun bagi
orang lokal kalau ditanya G-Land, mungkin mereka kurang paham. Makanya kalau kesini dan pengin tahu signage
sebaiknya nanya dengan istilah orang lokal yaitu Pantai Plengkung.
|
G-Land atau Plengkung Beach |
|
Sedang sepi pengunjung |
|
Waktu mau berangkat ke G-Land dari Pos Pancur |
|
Sewa kendaraan khusus plus supir dari Pancur ke G-Land |
Pantai Plengkung atau G-Land sebenarnya masih dalam satu kawasan Taman
Nasional Alas Purwo. Akses menuju pantai
ini dapat ditempuh melalui transportasi darat, laut dan udara. Tepat di pinggir pantai tersedia helipad
untuk take-off dan landingnya helicopter bila ada pengunjung yang ingin
menggunakan transportasi udara. Yang
pasti biayanya sangat mahal. Kalau mau yang sedikit murah, pakailah jalur laut, dan yang paling murah yaitu jalur darat. Tapi setelah
mengalami sendiri perjalanan via darat yang amat jauh dan melelahkan itu,
mungkin kalau kesini lagi, aku akan mencoba via udara. Kalau via laut lumayan mengerikan karena
kebayang kalau pas ombaknya sedang tinggi-tingginya, bisa terguling kapal yang
kunaikin nanti.
|
Helipad untuk helicopter |
|
Harus jalan kaki dari Pos G-Land ke pantai |
|
Para surfer siap beraksi |
Dari hotel tempatku menginap sampai ke G-Land, aku butuh waktu 5
jam. Itupun sudah termasuk wajib lapor
di Pos Penjagaan Rowo Bendo dan rehat untuk mengisi perut dulu di Pos Penjagaan
Pancur. Padahal aku berangkatnya
pagi-pagi sekali sekitar jam 9 setelah sarapan dan kendaraan yang membawaku
kesana pun sudah melaju dengan kecepatan maksimal.
Bahkan traffic ke tujuan saat itu sangat lengang. Yang membuat lama adalah
kondisi jalan saat memasuki Alas Purwo dan dari Pos Pancur ke G-Land. Lumayan
parah, lobang disana sini dan tidak beraspal.
Penerangan jalan pun sepertinya tidak ada. Makanya kalau mau kesini disarankan tiba di
siang hari dan sorenya sudah harus meninggalkan kawasan ini bila tidak ingin
menginap di penginapan satu-satunya yang ada di pinggir pantai G-Land.
|
Satu-satunya warung nasi yang ada di Pancur |
|
Pemandangan menuju G-Land, ada yang kering |
|
Ada yang hijau |
|
Pos pertama di alas purwo |
|
Pos kedua/terakhir di alas purwo sebelum ke G-Land |
|
Satu-satunya penginapan yang ada di G-Land |
Alas Purwo yang punya luas sekitar 44.000 hektar ini masih berkategori
perawan. Artinya dilindungi keasliannya, habitat dan ekosistemnya dari pengaruh
dunia luar. Meskipun ada bangunan lain
seperti Pos, penginapan, warung dan sebagainya, tetapi semua bangunan itu hanya
menempati area kecil dan berada pada lokasi-lokasi tertentu saja. Kata penjaga pos, siapapun tidak boleh
menebang atau mengambil kayu dari hutan lindung ini. Bahkan bila ada pohon tumbang, petugas atau
penduduk setempat hanya boleh meletakkan pohon tumbang tersebut ke lokasi yang
aman atau tidak mengganggu pergerakan orang dan kendaraan, sehingga perjalanan
tidak terganggu dan pohon tadi akan membusuk secara alami di pinggir jalan.
|
Hutan lebat, tidak ada penerangan lampu sama sekali |
|
Mereka menunggu belas kasih kita |
|
Jumlah mereka banyak sekali |
|
Sekaligus mampir ke Sadengan yang masih di dalam alas |
|
Menara pemantau banteng liar |
|
Banteng-banteng sedang menikmati alamnya |
Banyuwangi juga punya wisata air terjun.
Salah satu yang kudatangi yaitu Air Terjun Jagir. Untuk memasuki area air terjun, kita harus
membayar tiket di loket yang berada persis di depan anak tangga penurunan
menuju air terjun. Aku sebenarnya agak
jengah ke tempat ini setelah tahu harus naik turun tangga karena kakiku masih
pegal banget gara-gara naik turun Kawah Ijen. Tapi rasa ingin tahu dan naluri
pelancongku membuat aku tetap bersemangat menapaki setiap anak tangga.
|
Naik turun tangga menuju air terjun |
|
Air terjun Jagir terlihat dari atas tangga |
Air terjun Jagir bagus banget.
Meskipun tidak setinggi dan sebesar Coban Rondo, tapi Jagir punya 3 air
terjun. Landscape-nya pun sangat mendukung. Ada sungai kecil yang airnya super bening
dengan batu-batu kali berukuran besar.
Serta ada jembatan kayu dan tanaman yang rimbun di sekitar air terjun. Tidak mengherankan kalau sebagian pengunjung
tidak ingin melewatkan diri untuk mandi atau sekadar berendam disini.
|
Meskipun kecil tetapi indah |
|
Bersih, sejuk dan lumayan terawat |
Disamping wisata alam, Banyuwangi juga punya wisata kuliner. Ada 3 tempat makan yang bisa menjadi
rekomendasi. Ketiganya menyajikan
makanan yang berkualitas, enak, bersih dan murah. Restaurant Aamdani, Warung Bik Ati dan Osing
Deles. Masing-masing tempat punya
kelebihan. Kalau Aamdani punya tempat
yang sangat luas dengan area untuk parkir kendaraan yang luas juga. Restaurant
ini dibagi dalam 2 sayap. Sebelah kiri
untuk fully meal seperti makan siang, makan malam, pesta atau acara berskala
besar, lengkap dengan hiburan musik atau pertunjukkan lainnya. Sedangkan di sebelah kanan lebih mirip dengan
café untuk tempat nongkrong, minum kopi dan camilan.
|
Bagian tengah |
|
Area terbuka biasanya untuk perokok |
|
Desain ruang bervariasi |
|
Termasuk meja kursinya |
Makanan yang serba seafood, nikmat banget di Aamdani. Tom yam-nya super segar dan enak
rasanya. Juga ikan dabu-dabunya,
kepiting soka goreng, ayam panggang, dan semua makanan yang diorder ludes disantap. Memang sih, yang kami pesan tidak ada satupun
yang asli makanan lokal, tapi setidaknya tempat ini layak untuk
direkomendasikan.
|
Ayam bakar |
|
Steamed ikan dan tumis tauge |
|
Kepiting soka |
|
Ikan dabu-dabu dan ayam goreng |
|
Semuanya enakkkk...........!!! |
Kalau warung Bik Ati ini menyediakan menu khusus khas Jawa Timur yaitu
nasi pecal dan rawon. Khusus tentang rawon, sup daging yang berwarna gelap ini punya
banyak varian. Ada rawon babat, rawon
empal goreng, lidah sapi, dan lain-lain.
Rasanya hmm……laziz…..!!! Kalau masih kurang puas, kita bisa membeli bumbu
jadi rawon itu.
|
Warung Bik Ati |
Sedangkan kelebihan dari restaurant yang ketiga, Osing Deles adalah menu
pecal pithik dan menu western-nya seperti steak, cordon blue dan aneka minuman
juice-nya yang super enak. Tempat ini juga
menyediakan counter untuk belanja oleh-oleh produk lokal seperti bagiak, pisang
sale, aneka keripik, sambal dan petis udang. Juga ada pakaian seperti kaos,
baju batik dan asesoris lokal.
|
Cafe/Restaurant Osing Deles |
|
Area bagian luar di lantai 2 |
|
Lihat atap itu!! |
|
Meja kursi dirancang khusus |
|
Tetap terlihat artistik |
Tapi yang lebih berkesan dari Osing Deles adalah design interior
ruangannya yang unik dan menarik. Ada
yang terkesan ke genre anak muda, ada juga yang sedikit formal. Tapi yang pasti tata ruangnya sangat bagus. Pernik-pernik detail benar-benar diperhatikan dengan baik sehingga sepintas lalu pengunjung tidak akan tahu bahan atau material yang digunakan adalah barang yang sehari-hari kita lihat. Karena pengaturan letak dan pemilihan bahannya yang oke, interior ruangan ini terlihat wah, menarik dan membuat betah pengunjung untuk berlama-lama disini.
|
Beef cordon blue |
|
Steak |
|
Aneka minuman yang dikemas menarik |
|
Menu andalan, pecal ayam pithik |
Hotel tempatku menginap di Banyuwangi adalah Santika, hotel bintang 3 yang bila dilihat dari luar terkesan minimalis, namun setelah masuk ke dalamnya, berubah menjadi lebih berkesan luas dan lega. Aku suka permainan garis di pilar-pilar area lobby, serta tata cahaya dan lay-out masing-masing ruangan yang terlihat harmonis, saling mendukung dan menghilangkan kesan sumpek dan asal-asalan. Disamping kamar tidur yang bersih, luas dan fasilitas yang komplit, added value dari hotel ini adalah saat kita breakfast. Ruangannya memang tidak terlalu besar tetapi dapat menampung lebih dari 50 orang sekaligus. Dan yang paling mengesankan adalah variasi menunya melebihi standard hotel bintang 3.
|
Lobby area |
|
Restaurant tempat sarapan di sekitar lobby |
|
Kamar tidur yang lumayan luas dan lengkap fasilitas |
Sekarang Banyuwangi sudah siap menerima kedatangan tamu-tamunya, baik itu dari kota atau propinsi lain di Indonesia, atau juga dari mancanegara. Pemerintah daerah ini sepertinya terus berbenah, memperbaiki hal-hal yang masih perlu sentuhan yang lebih baik seperti di aksesibilitas, infrastruktur jalan ke tempat-tempat wisata, dan fasilitas penunjang lainnya yang sangat dibutuhkan oleh wisatawan. Namun, Banyuwangi harus punya jati diri dan lebih mengedepankan produk-produk setempat yang telah terseleksi. Boleh saja meniru strategi Bali, propinsi sebelah Banyuwangi, namun sekali lagi, Banyuwangi harus punya karakter sendiri dan percaya diri, tidak boleh menjadi Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar