4 hari? Awalnya agak ragu ke luar negeri cuman 4 hari. Kebayang lamanya penerbangan dan susahnya ngatur itinerary jalan-jalan dengan waktu yang sangat singkat. Bisa-bisa cuman capek doang hasilnya dan ga puas liburannya. Kalau tujuannya hanya ke Singapura atau negara kecil lainnya sih ga sulit. Sehari atau 2 hari juga kelar keliling kotanya. Tapi ke Jepang? Lain lagi ceritanya. Sepertinya harus atur strategi biar puas jalan-jalannya. Satu-satunya cara yaitu memanfaatkan hari Sabtu-Minggu dan hari libur nasional. Tahun 2015 banyak hari libur nasional yang jatuhnya pas tidak di hari Sabtu Minggu, ini memungkinkan aku ngambil cuti cuman 4 hari kerja. Kalau berangkatnya di hari Jumat malam habis pulang kantor, artinya aku dapat tambahan 2 hari free Sabtu Minggu. Cuti 4 hari kerja plus tambahan 1 hari libur nasional plus Sabtu Minggu berikutnya berarti aku dapat tambahan lagi 7 hari. Nah kalau ditotal aku dapat kesempatan 10 hari jalan-jalan, hehe.......Namanya juga usaha , boleh kan? Toh ga ada yang dirugikan juga kan? Teringat prinsip hidupku tentang hobby traveling, tidak ada yang tidak mungkin, yang penting ada kemauan dan kemampuan (baca: duit), semuanya bisa terwujud! Kalau mau jalan-jalan enak ya siapin bekal alias uang. Anyway disana ada keluarga atau teman yang membantu kita, toh tetap kita harus punya pegangan uang untuk keperluan pribadi kita atau buat jaga-jaga. Kecuali ada yang mensponsori kita semuanya termasuk ngasi uang saku, itu sih luar biasa banget, anugrah besar dan asli kita cuman modal badan doang.
Kasak kusuk cari informasi tourist attractions terpaksa kulakukan, mulai dari manggil Paman Google, tanya teman, sampai dengan nanya travel agent. Maklum, meskipun aku sudah 5 kali ke Korea Selatan, 3 kali ke China, tapi justru aku belum pernah ke salah satu negara besar di Asia, Jepang. Ironis memang, bahkan beberapa kali aku disindir teman-teman asingku yang berasal dari negeri sakura yang katanya aku picky, pilih-pilih tempat wisata dan terkesan cenderung ke Korea. Dibalik sindiran itu sebenarnya mereka menyadari kalau Korea memang sedang booming dimana-mana. Korean attack, katanya. Dunia benar-benar dibanjiri hal-hal yang berbau Korea. Musik, film, fashion, bahkan sampai bahasa Korea pun digandrungi anak-anak muda Indonesia dan belahan dunia lainnya. 5 kali ke Korea-ku bukan urusan wisata semua. Hanya 2 kali ya murni tujuan jalan-jalan, selebihnya business trip untuk kepentingan pekerjaan. Well, mungkin perlu sesi khusus aku bahas tentang perjalananku ke Korea. Sekarang waktunya untuk berbagi cerita jalan-jalan ke Jepang.
Gara-gara pengaturan waktu yang terbatas, akhirnya aku tidak bisa terbang pake Japan Airlines atau All Nippon, 2 perusahaan penerbangan Jepang yang beroperasi di Bandara Soekarno-Hatta. Preferensi menggunakan airlines lokal menjadi berubah. Kecewa juga sih, tapi gimana lagi? Terkadang kita dihadapkan dengan pilihan yang sulit, sekarang harus ada toleransi, so untuk sementara aku sisihkan dulu urusan 'kesukaan'. Pilihanku jatuh ke Singapore Airlines. Penerbangan SQ membawaku transit ke Changi sebelum melanjutkan terbang ke Tokyo.
|
Mendarat selamat di Bandara Narita Tokyo |
Jam menunjukkan pukul 09.05 waktu Jepang. Tidak ada yang istimewa setibanya di Bandara Narita. Petugas imigrasi ramah menyambutku sambil beberapa kali mengajukan pertanyaan setelah melihat buku passport-ku yang lumayan tebal dan penuh dengan stiker visa dan stempel imigrasi. Kalau ditanya tentang Indonesia, sudah pasti jiwa nasionalisme-ku muncul. Dengan senang hati penuh rasa bangga aku ceritakan tentang negeri-ku tercinta. Terlepas dari kekurangan atau hal-hal buruk yang terjadi di Indonesia, aku tetap dengan kepala tegak bila berhadapan dengan orang asing dan sama sekali tidak pernah minder atau rendah hati kalau bicara tentang Indonesia.
Hanya ada satu hal yang menurutku perlu ditiru dari bandara Narita oleh kita yaitu saat aku mau ambil bagasi di conveyor yang sudah ditentukan dan terpampang di display setelah counter imigrasi, ternyata bagasiku sudah berada disamping conveyor bersamaan dengan bagasi penumpang SQ yang lain. 2 petugas bandara yang murah senyum itu menanyakan dan membantu mengeluarkan bagasiku dari barisannya. Coba, gimana ga seneng kita penumpang, ga perlu menunggu, bagasi sudah ada dan dilayani dengan 2 gadis cantik yang ramah dan santun? Rasa capek karena penerbangan jauh langsung ilang!
Teman Jepang-ku yang sangat antusias pengin aku berkunjung ke negaranya sudah menunggu di pintu keluar terminal bersama teman Jakartaku yang lain yang sudah duluan tiba di Tokyo. Acara temu kangen menjadi sangat berkesan dan langsung saja berubah menjadi ceria penuh canda. Aku super happy waktu temanku menjelaskan rangkaian kegiatanku selama di Jepang. Sepertinya semua sudah diatur dengan baik. Aku tinggal duduk manis dan menikmati acara jalan-jalan, katanya. Wow, beyond my expectation, benar-benar diluar dari yang aku kira. Kata mereka, ini kejutan buatku sebagai rasa terima kasih atas bantuanku yang membuat bisnis mereka berjalan dengan baik dan sekaligus acara kumpul-kumpul kami untuk merayakan kesuksesan salah satu teman kami.
2 Nissan Elgrand 'King of Minivans' warna hitam membawa kami meninggalkan Narita. Acara pertama adalah keliling pusat kota Tokyo khususnya area Shibuya dan Ginza yang ngetop itu. Selama ini aku hanya bisa menonton di TV atau di film-film yang sering menjadikan tempat ini sebagai icon bila ingin menggambarkan dunia modern atau metropolitan Jepang, yang katanya seperti Time square di New York. Disamping itu, seperti biasa kalau aku traveling ke suatu negara, pasti ingin beli produk atau brand yang terkenal dan asli dari negara itu. Masalahnya, Jepang, lebih banyak memproduksi kendaraan dan alat-alat elektronik. Kalau bicara pakaian atau sepatu, setahu-ku yang mendunia hanya beberapa merk saja, salah satunya Uniqlo.
|
Ginza yang tidak pernah sepi |
Di Ginza ada toko pusat penjualan produk-produk Uniqlo. Dilihat dari luar, gedung yang dibilang pusat Uniqlo itu kelihatan kecil kurang menyakinkan, tapi setelah masuk ke dalam, memang sih tidak luas area di bawahnya, namun jumlah lantai yang ditempati lebih dari 7 lantai! Satu persatu aku datangi mulai dari pakaian, sepatu sampai pernik-pernik Uniqlo, semuanya keren-keren dan menarik! Sayangnya tidak ada satupun yang kubeli karena semuanya Made in......! Kalau sekadar T-shirt atau souvenir sih ga masalah, tapi kalau pakaian dengan brand internasional, jelas berbeda. Aku jadi teringat saat masuk ke Zara di Barcelona - Spanyol, semua pakaiannya mayoritas buatan negara Asia termasuk Indonesia.
Capek keliling kota, ga terasa jam sudah menunjukkan lewat 12 siang waktu Tokyo. Kami bergegas menuju restaurant Ganko di kawasan Ginza yang terkenal dengan menu tradisional Jepang. Dari luar hanya terlihat seperti gedung biasa dan kita harus pake lift atau tangga kalau ingin ke restaurant yang menempati area 200 m2 di dalam gedung itu. Sangat minimalis menurutku dan orang yang belum pernah datang ke Ganko pasti punya persepsi yang sama, akan mengira Ganko ini bergaya food court di mall. Tapi setelah masuk, kita akan dibuat terkagum-kagum karena kita serasa dibawah ke era Jepang kuno. Mulai dari ruang pintu masuk, ruang tunggu, ruang makan dan petugasnya benar-benar bergaya tradisional. Perempuan separuh baya menyambutku, dengan bahasa Inggris yang lumayan sulit dipahami, dia memintaku melepas sepatu dan meletakkannya ke dalam loker dan menguncinya. Kunci loker boleh aku bawa dan dipakai lagi untuk ambil sepatu saat keluar dari restaurant.
|
Resepsionis di Ganko restaurant |
|
Welcome reception |
Kutelusuri setiap detail ruangan. Luar biasa uniknya. Di Indonesia banyak restaurant Jepang yang berusaha menampilkan arsitektur dan ornament gaya Jepang, tapi kalau kita amati lebih dalam, ada saja cela atau kekurangannya. Namanya juga tiruan, tetap saja pasti beda dengan aslinya.
Waktu aku masuk ke ruang makan, kulihat makanan sudah siap di atas meja. Sushi, sashimi dan beberapa makanan Jepang yang aku ga begitu familiar dengan namanya, menggugah selera dan membuat perut makin keroncongan. Acara makan siang berlangsung penuh suka cita dan ditutup dengan minum sake bersama. Welcome reception yang indah bersama sahabat dan teman,
Tahu kalau aku tidak menemukan apa yang aku cari, temanku mencoba menghiburku dengan mengajakku ke Gotemba, sejenis factory outlets di pinggiran kota yang searah dengan tujuan kami berikutnya, Gunung Fuji. Jangan salah, ini bukan factory outlets biasa, melainkan outlet-outlet yang menjual produk-produk branded high-end, so lebih tepat kalau dibilang Premium Outlets. Sayangnya, hanya 3 produk asli Jepang yang kutemui, selebihnya Amerika atau Eropa punya. Akhirnya aku beli beberapa pakaian rancangan Issey Miyake, si 'Versace'-nya Jepang. Pikirku, minimal aku punya stok untuk hang-out sama teman-teman nanti. Kalau pun ga kepakai di Jepang, bisa aku pake di Jakarta nanti.
|
Gotemba Premium Outlet, brand-brand internasional ada disini |
|
Petunjuk yang jelas sangat memudahkan pengunjung |
|
Akhirnya dapat juga beberapa rancangan Issey Miyake |
Hari sudah malam, kami tidak mungkin melanjutkan perjalanan ke Gunung Fuji. Teman Jepangku mengatakan kalau kami harus bermalam di Numazu. Aku setuju saja karena sama sekali tidak tahu apapun tentang daerah itu. Selang beberapa menit berikutnya, tiba-tiba mobil kami sudah berada di depan lobby hotel Cocochee. Hotel bergaya minimalis, mulai dari ruang lobby, kamar tidur, kamar mandi sampai ruang makan sarapan pagi. Bagi orang Jepang, luasan area tidak menjadi masalah atau tolok ukur kelas hotel karena level bintang hotel justru diukur oleh fasilitasnya. Hotel Cocochee masuk kategori bintang 3. Meskipun kecil, kamar tidur-nya sangat modern dilengkapi dengan minibar, meja kerja, sofa kecil, dan TV. Tidak ada lemari pakaian. Hanya gantungan baju untuk 4 potong pakaian. Tapi di atas ranjang diletakkan baju tidur yang lebih mirip baju gamis daripada kimono. Di kamar mandi tersedia handuk, sikat dan pasta gigi, shampoo, conditioner, sabun badan, sabun tangan, sabun wajah, sisir, cotton bud dan hair dryer. Di bilik shower tersedia bath-up plus kursi dan gayung. Awalnya aku geli ngelihatnya, kok ada gayung dan kursi? Ternyata di Jepang, para orang tua khususnya nampung air dulu di bath-up lalu duduk dan nyiduk air pake gayung buat mandi. Hebat juga, mereka memikirkan atau perhatian juga kepada tamu-tamu yang berusia senja. Sedangkan terkait fasilitas wifi hotel ini sangat memuaskan bagiku, disamping gratis, tersedia di semua ruangan dan super cepat koneksinya!! Satu lagi yang berkesan di hotel ini yaitu saat aku sarapan di lantai 2 yang punya view menghadap kota Numazu. Disamping menu-nya serba Jepang, chef yang melayani kami adalah seorang kulit hitam alias negro. Dia stand by berdiri disamping penggorengan dan grill yang siap menggoreng atau memanggang ikan segar pilihan kita. Oiya, orang Jepang biasa sarapan makan ikan, aku coba ikut-ikutan kebiasaan mereka.
|
Gunung Fuji dilihat dari Gotemba |
Setelah sarapan, kami berangkat menuju gunung Fuji, salah satu daya tarik utama dari negeri sakura dan menjadi tujuan utamaku. Percuma ke Jepang kalau tidak ke gunung Fuji, tempat para dewa bagi orang Jepang. Aku sampai juga ke kaki gunung dan memang tidak punya niat untuk naik gunung karena waktu cuti tidak cukup. Justru yang penting foto dengan background gunung Fuji itu yang dicari dan di kaki gunung tepatnya di kuil yang berada di kaki gunung itulah spot terbaik untuk memotret keindahan gunung Fuji sebagai background. Rencananya kami mau mencoba berbagai macam moda transportasi yang ramah lingkungan seperti cable car menuju Bidagahara yang punya ketinggian 977 meter, lalu naik electric bus ke Murada yang berada pada ketinggian 2450 m dan naik tunnel bus yang melintasi bawah gunung menuju Tateyama Hill di ketinggian 3015 m, tapi semuanya tidak terwujud karena cuaca tidak mendukung. Badai angin menyerang kawasan Fuji dan kami terpaksa mengalihkan tujuan dengan mengelilingi kaki gunung yang menurut kami lebih aman. Kami harus nyampe di Nagano sore hari karena malamnya akan ada acara pesta kesuksesan bisnis temanku. Dalam perjalanan kami mampir ke Danau Kawaguchi sekaligus makan siang di restaurant dekat danau. Udara lumayan dingin di sekitar danau. Aku masih sempat memainkan kamera untuk mengabadikan keindahan danau sebelum angin kencang menghentikan aksiku. 15 menit cukup bagiku untuk mendapatkan foto-foto terbaik dan selanjutnya aku harus naik mobil lagi menuju hotel.
|
Perjalanan menuju gunung Fuji |
|
Japan Alps |
|
Kuil di kaki gunung |
|
Kuil yang unik |
|
Sudut-sudut unik kuil |
|
Yang ini juga unik |
|
Semuanya unik |
|
Keindahan danau Kawaguchi (sisi kanan) |
|
Keindahan danau Kawaguchi (sisi kiri) |
|
Restaurant di seberang danau yang super nikmat |
Setibanya di Hotel Hotaka View tempatku menginap sebenarnya aku sudah kelelahan, tapi karena ada acara teman, so kujaga supaya tidak terlihat lelah. Sekali lagi, makan malam ala Jepang plus sake. Namun kali ini ada yang lain, kami semua harus pake yukata alias pakaian Jepang yang menurutku sama seperti kimono. Ternyata ada juga ritual-nya kalau mau pake yukata, bahkan untuk melilitkan kain dan menempatkan kain ikat pinggangnya tidak boleh salah. Rumit tapi jadi unik dan menarik bagiku. Motif kainnya pun juga ada aturannya, mana yang untuk bangsawan, mana yang untuk rakyat biasa. Karena dijelasin saat kondisi tubuh sedang lelah dan ngantuk, makanya aku ga begitu ingat aturan main yukata.
|
Ogizawa Station, titik tertinggi yang bisa aku datangi |
|
Keindahan bukit bersalju-nya menggoda hati |
|
Aku harus menyentuh salju itu |
Menelusuri 3 tempat, Kanazawa, Tateyama dan Matsumoto memberikan pengalaman yang mengasikan dan tidak akan terlupakan. Keindahan alam yang begitu mempesona mata kita seakan kita tidak mau berhenti mengabadikannya di dalam hati untuk menjadi memori yang sayang dihilangkan begitu saja. Bukit-bukit hijau, lingkungan yang bersih, rumah-rumah tradisionil yang unik dan minimalis, serta satu hal yang sangat mengagumkan bagiku adalah salju abadi di Tateyama. Jadi, jangan khawatir bila kita ingin melihat salju di musim panas, silakan saja ke bukit Tateyama. Tidak hanya bukit atau pegunungannya saja yang diselimuti salju, melainkan jalan ke arah puncak bukit dibentengi tembok salju. Saat di puncak kita bisa menyeberang jalan. lalu masuk ke semacam small labyrinth atau jalan-jalan kecil yang sengaja dibuat dari salju. Kita dapat bermain salju sepuas-puasnya. Ironisnya, kata penjaga tempat wisata disana, lokasi wisata ini justru malah ditutup kalau sedang winter, alasannya badai salju sering terjadi bila musim dingin dan hal ini sangat membahayakan bagi siapapun. Kita bisa terjebak di lokasi itu dan tidak ada transportasi yang aman serta tidak tersedia cukup makanan di area itu. Memang, lokasi wisata ini sangat terpencil karena persis di puncak gunung. Waktu aku mengunjungi tempat ini pun dipaksa turun atau pulang saat jam menunjukkan pukul 5 sore. Kata petugas, area ini akan menjadi gelap dan sedang berisiko akan kedatangan badai. Semua pengunjung dipaksa meninggalkan area. Petugas mulai memasang pita pembatas sebagai tanda area itu tidak boleh dimasuki atau dilintasi siapapun.
|
Small snow labyrinth, tempat bermain dengan salju |
|
Stasiun tertinggi di puncak salju abadi Tateyama |
|
Jalan berdinding salju menuju stasiun |
Dalam setiap perjalanan ke luar negeri, aku selalu ingin totalitas atau sebanyak mungkin mengenal budaya dan kebiasaan masyarakat di negara itu. Nah, sekarang di Jepang, orang-orangnya sangat modern atau futuristic tetapi masih menghargai nilai-nilai leluhurnya. Hal ini berkaitan dengan urusan tidur. Aku sudah pernah menginap di hotel yang minimalis tapi modern dengan setiap detail perabot dan desainnya multi fungsi, tapi aku belum pernah merasakan gaya tidur orang Jepang yang hanya beralas kasur tipis di atas lantai atau yang lebih dikenal dengan Tatami. Selanjutnya sudah barang tentu aku mencari penginapan yang bergaya Tatami. Pilihanku jatuh ke Hotel Koganoi di Ishikawa karena tidak hanya kamar tidurnya yang bergaya Jepang kuno, tapi petugas hotel dan semua peralatan hotel akan membawa kita ke masa tempo doeloe. Memasuki kamar hotel, aku super duper excited dibuatnya. Sama seperti yang kuharapkan, aku serasa berada di film-film kuno Jepang. Lantai kayu, tembok kayu dengan dinding dari kayu dan kertas-kertas lampion. Orang diluar akan bisa melihat siluet diri kita. Pintu dan jendela semuanya serba sliding atau digeser cara bukanya. Perabotnya pun unik. Meja dan bantal untuk duduk. Ada seperangkat alat untuk ritual acara minum teh dan yang lucu, ada alat penggaruk punggung yang terbuat dari kayu. Aku pun tahu fungsi alat itu setelah keesokan harinya si resepsionis menjelaskan kepadaku. Hal lain yang unik dari hotel ini, bath-up-nya lumayan dalam, tidak seperti biasanya. Di kamar mandi juga disediakan kursi dan gayung. Kamar mandi dan WC terpisah dan sandal dibedakan untuk dua tempat ini. Oiya, hotel-hotel di Jepang lumayan royal untuk urusan sabun dan shampoo. Kalau di Jakarta, produk-produk Shiseido dan SK II lumayan mahal harganya, tapi di Jepang, kita bisa sepuasnya mandi atau keramas dengan produk itu gratis, bahkan yang disediakan di hotel dalam ukuran botol besar. Semua produk itu harus ramah lingkungan atau busa limbah yang dihasilkan tidak menggangu makhluk hidup lainnya karena dipersyaratkan oleh Pemerintah. Kata teman Jepangku, orang-orang kita sering sengaja bawa botol kosong kemudian diisi sabun cair dan shampoo hotel. Ada-ada saja!
|
Tatami, tidur ala Jepang |
Ada satu hal yang untuk pertama kalinya akhirnya kulakukan di Jepang yaitu onsen. Ini salah satu tradisi mandi bersama dengan air hangat di bak besar yang dindingnya terbuat dari kayu. Risih juga sih awalnya, tapi pikir punya pikir mereka ga kenal kita ini dan kapan lagi mencoba sesuatu yang lain, aku memberanikan diri mandi onsen. Kulihat orang-orang Jepang yang mungkin memang sudah terbiasa dengan cueknya melepas kimono lalu meletakkannya ke dalam loker, lalu dengan entengnya melenggang telanjang bulat menuju kolam mandi. Memang tidak semuanya seperti itu. Ada beberapa yang menggunakan cawat kecil seperti pesumo atau menggunakan handuk kecil untuk menutupi kemaluannya dan akan meletakkan handuk itu diatas kolam bila dia masuk atau berendam. Jangan berfikiran kotor dulu ya. Onsen untuk pria dan wanita dipisah. Ini hanya sekadar tantangan 'percaya diri' saja dan menurutku tidak ada salahnya untuk dicoba. Kenapa harus malu dengan tubuh kita sendiri, toh ini juga cuman tradisi mandi, bukan kriminal. Harusnya para koruptor, maling, pemerkosa yang malu atas perbuatannya!
Sedang asyik-asyiknya kami membahas hal-hal yang unik di Jepang yang tidak ada di Indonesia, tiba-tiba teman Jepangku bertanya, "pernah makan kue emas?" . What?? Kue terbuat dari emas? Waduh kita bisa mati, pikirku membayangkan logam emas masuk ke dalam tubuh kita. Tapi ternyata yang dimaksud temanku adalah kue yang dilapisi emas dengan kadar yang sangat rendah dan aman bila dicerna tubuh kita. Untuk menjawab penasaran kami, keesokan harinya kami pergi ke toko kue tersebut di Hikone. Benar, disana kami menemukan semua serba emas, kue emas, kamar emas, kuil pagoda emas, bahkan saat kami masuk, petugas menyambut kami dengan menawari secangkir kecil berisi teh hangat yang di atasnya ditaburi serbuk emas.
|
Kamar dan peralatan dilapisi emas murni |
|
Kuil pagoda terbuat dari emas |
Inginnya mengunjungi semua tempat wisata di Jepang, namun sekali lagi karena keterbatasan waktu, aku hanya bisa mengunjungi beberapa tempat saja. Aku sempat berkunjung ke Shirakawago yang merupakan satu desa bersejarah di Jepang yang dilindungi oleh UNESCO. Desa ini terkenal dengan rumah tradisional Gassho-Zukuri atau rumah dengan atap yang unik yang melambangkan tangan orang yang sedang berdoa. Disini juga sering digunakan untuk lokasi syuting film-film tentang Jepang jaman dulu seperti Shogun dan Oshin. Tidak hanya bentuk rumahnya yang unik, aku juga terpesona dengan jembatan kayu yang membentangi sungai serta batu-batu besar yang sebagian dipahat dengan tulisan Jepang yang sepertinya memberitahu kita batas wilayah suatu desa atau kekuasaan penguasa di jaman itu. Sedikit saja yang mengganggu di lokasi wisata itu yaitu adanya beberapa rumah penduduk yang terlihat dipasangi AC dan terlihat mobil parkir di depan rumah. Coba kalau mereka tidak memperlihatkan produk-produk modern-nya dan mempertahankan gaya hidup tempo dulu, desa ini akan benar-benar natural dan berhasil membawa kita ke jaman kuno Jepang.
|
Dapur kuno dan peralatannya |
|
Rumah tradisionil Jepang |
|
Unik dan bersejarah |
|
3 tugu batu, lebih mirip batu nisan |
|
Alam yang indah, sejuk, dan bersih |
|
Rumah tradisionil yang sedikit modern |
Aku juga mengunjungi sebuah istana di Kanazawa yang diseberangnya dibangun botanical garden. Selanjutnya aku juga melihat secara langsung Takayama Old Town, kota tua nan indah yang sekarang menjadi world heritage dimana seluruh bangunan, rumah dan jalannya dibangun di jaman Edo (1600-1868).
|
Istana di Kanazawa |
|
Botanic garden-1 |
|
Botanic garden-2 |
|
Botanic garden-3 |
|
Botanic garden-4 |
|
Botanic garden-5 |
|
Botanic garden-6 |
Kota tua Takayama ternyata mempunyai spot-spot yang menarik untuk dikunjungi. Kabarnya, tempat ini juga sering menjadi tempat pengambilan gambar atau syuting film, jadi tidak ada salahnya kita kunjungi kota bersejarah ini.
|
Kota tua-1 |
|
Kota tua-2 |
|
Kota tua-3 |
|
Riksaw |
|
Tugu di tengah kota |
Ada Tokyo, ada Kyoto. Ya, aku menyempatkan diri ke Kyoto karena kota ini terkenal dengan sebutan kota budaya yang menyimpan sejarah Jepang dan tempat untuk melihat kuil-kuil kuno. Di Kyoto aku mengunjungi Kyomizu temple dan Fushimi Inari Shrine. Jalan menuju kuil sangat ramai dengan pengunjung. Ada yang sekadar melihat dan berfoto layaknya turis, ada juga yang sengaja berziarah atau berdoa dan ada juga yang berbelanja di toko-toko yang bertebaran di sekeliling jalan masuk ke kuil. Yang seru melihat sebagian orang-orang Jepang khususnya anak-anak sekolah menggunakan baju kimono, apalagi para gadis yang terlihat sangat anggun dan modis.
|
Kyomizu temple di Kyoto |
|
Anak-anak sekolah memadati kuil |
|
Gapura ciri khas Jepang |
|
Sudut yang unik di tempat berdoa |
|
Peziarah pun meramaikan suasana |
|
Prayer time |
|
Sudut yang menarik untuk dibidik kamera |
|
Kuil kuno-1 |
|
Kuil kuno-2 |
|
Semua berebut ingin berfoto dengan mereka |
Dari Kyoto aku melanjutkan perjalanan ke Osaka, kota industri terbesar kedua di Jepang. Osaka juga dikenal sebagai kota pelabuhan terbesar serta surga belanja untuk beli oleh-oleh produk Jepang. Alasan sebenarnya aku ke Osaka karena aku ingin tahu Bandara Kansai yang terkenal itu. Kalau masuknya lewat Narita Tokyo, wajar dong kalau keluarnya lewat Kansai Osaka. Variasi biar ga bosan. Setelah muterin pusat kota Osaka, aku meluangkan waktu untuk window shopping di Shinsaibashi, pusat perbelanjaan terbesar di Osaka. Segala macam produk Jepang ada disini bercampur dengan produk-produk Eropa dan Amerika. Kebanyakan berupa pakaian. Ada satu toko unik disini yang menjual baju-baju atau kostum Comic con Jepang. Beberapa penjual di Shinsaibashi ternyata akrab dengan turis Indonesia. Kalau tahu kita dari Indonesia, mereka akan menyapa dengan ramah dan melayani bak seorang raja. Mereka menyukai pembeli dari Indonesia karena terkenal sangat royal kalau belanja. Bisa aja!
|
Bandara Kansai-1 |
|
Bandara Kansai-2 |
|
Bandara Kansai-3 |
|
Bandara Kansai-4 |
Kuakui, rasanya belum puas jalan-jalan ke Jepang, aku harus kesana lagi dan sasaranku ke Hokkaido saat winter yang katanya punya alam sangat indah. Orang Jepang sendiri berduyun-duyun kesana karena banyak festival diadakan saat musim dingin di Hokkaido plus tempat ideal untuk bermain ski dan makan kentang gorengnya yang super terkenal. May God let me go......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar