Kamis, 01 Desember 2016

Batam, Pulau dan Kota Wisata Yang Meninggalkan Banyak Catatan Buat Pemerintah Daerah

Kembali lagi cerita klasik, bukan klise, bahwa aku jarang sekali punya waktu lebih untuk memuaskan diri memenuhi hobby jalan-jalanku.  Termasuk kali ini, mengunjungi Batam, pulau yang sangat dekat dengan Singapura ini, tujuan utama perjalananku adalah business trip atau urusan pekerjaan, namun aku bukanlah tipe orang yang mudah menyerah dengan keadaan, merenung atau menyalahkan diri karena tidak dapat memenuhi keinginan.  Selalu ada cara untuk menghibur diri, selalu ada waktu untuk be-relaksasi bila kita pandai mengatur waktu.  Tetap komit pada tujuan artinya aku harus memprioritaskan urusan pekerjaan diatas segalanya.  So, semua harus diatur dengan baik.  Target harus dicapai, meeting diselesaikan, hasil dicatat dan siap dilaporkan.  Setelah itu, kita susun rencana memanjakan diri.  Penerbangan ke Batam yang lumayan berat karena harus bangun tidur sebelum subuh, serta keputusan mendadak pimpinan yang semula hanya menginap sehari menjadi 3 hari, tidak boleh ujung-ujungnya cuman dapat capek doang.  Meski sudah sangat lama sekali aku tidak ke pulau ini, namun aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari tahu hal-hal yang menarik di Batam.  Orang bilang, Batam adalah replika yang disiapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menandingi Singapura.  Hmm.....sah-sah saja punya rencana, tapi sebaiknya kita berfikir realistik.  Sepanjang masyarakat dan pemerintah daerah di Batam tidak bisa bersatu untuk maju, tidak patuh pada ketentuan atau hukum, tidak cinta lingkungan (baca: kebersihan), tidak disiplin dan malas, maka rencana hanya lah sekadar rencana.  Kesan pertama mendarat di bandara Hang Nadim sampai dengan ke hotel tempatku menginap, kota kurang tertata dengan baik.  Banyak rumah-rumah liar, ruko bersebaran dimana-mana, sampah di pinggir jalan terlihat jelas dan mengganggu pemandangan,  Sepertinya problematika kota-kota di Indonesia sama, mereka tidak mau belajar dari Jakarta yang super crowded, macet, sampah, banjir, semrawut dan sebagainya.  Harusnya hal-hal yang buruk di kota besar seperti Jakarta menjadi pelajaran agar kota-kota lainnya tidak meniru atau bahkan menjadi lebih buruk.  Harusnya Batam yang usia kota-nya lebih muda, bisa lebih baik dari kota-kota besar lainnya di pulau Jawa.


Boeing 737 seri 800 Garuda membawaku ke Batam

Hujan menyambut kedatanganku di Bandara Hang Nadim


Ada yang bilang kalau ke Batam, kita harus merasakan sup ikan Yong Kee dan makan sea food di Harbor Bay  Makanya aku tidak melewatkan kesempatan ini mendatangi kedua tempat ini.  Bicara tentang rasa, makanan di kedua tempat ini sama-sama enak,  Sup ikan dan otak-otak di rumah makan Yong Kee menyegarkan, cocok untuk mengembalikan kenanganku beberapa tahun yang lalu saat berkunjung ke Batam dan menikmati sensasi sup ikan yang akhirnya menjadi menu khas kota Batam.  Tapi aku tidak bisa menampilkan foto-foto makanan di rumah makan ini karena satu hal ini yang menurutku perlu ditingkatkan, penyajian.  Terlalu sederhana dengan piring melamin yang sudah ditinggalkan oleh banyak rumah makan karena tidak direkomendasikan bagi kesehatan.  Warna piring dan mangkuk sudah mulai memudar, so makanan jadi kurang menarik. Hal lain sebagai masukan, disain interior ruangan terkesan sangat sederhana,  Kursi-kursi plastik dan meja ala warung tenda sebaiknya diganti dengan yang lebih baik. 


Sup ikan yang katanya terkenal itu


Sama seperti di Yong Kee, restaurant Wey Wey yang berada di Harbor bay dan menempati area yang sangat strategis menjorok ke pantai, menyajikan menu makanan dan minuman yang bervariasi.  Dari sisi rasa, semuanya enak.  Gong-gong, atau siput rebus yang dimakan pakai saus sambal sangat nikmat dan cocok untuk jadi makanan pembuka.  Menu sea food lainnya juga enak.  Tapi ada yang mengganjal dan mengurangi selera makanku.  Taplak meja makannya, merah kusam, mengarah ke jorok.  2 kali aku makan disini, 2 kali aku minta diganti taplak mejanya.  Sayang memang, restaurant yang berlokasi sangat strategis dan ramai pengunjung kurang memperhatikan hal-hal kecil tapi berpengaruh karena terlihat oleh pengunjung.  Sebenarnya tidak semua restaurant di Batam seperti itu.  Aku tampilkan 2 rumah makan itu karena terkenal dan jadi tujuan turis lokal maupun manca negara.  Ada juga lho restaurant yang memenuhi semua hal itu.  Aku dibikin surprise, ga nyangka kalau rumah makan ini bikin aku pengin lagi dan lagi datang.  Rumah Makan Irama, restaurant masakan Padang yang berada di dekat hotel BCC tempatku meeting.  Tempatnya kecil hampir tidak terlihat dari jalan raya.  Aku hampir ga mau mampir ke rumah makan ini karena kuanggap sama seperti makanan Padang lainnya, tidak ada yang special dan banyak di Jakarta.  Tapi setelah masuk, tempatnya bersih, piring dan gelas yang digunakan pun bersih.  Dan yang tidak kalah penting makanannya enak!  Favoritku di rumah makan ini, dendeng kering!  Sangat crispy, renyah, gurih, bumbunya meresap tepat di daging dendeng.

Restaurant di Harbor Bay saat siang

Sepi di siang hari

Ramai di malam hari


Tempat wisata di Batam yang sempat kukunjungi tidak banyak.  Pertama, aku mengunjungi patung Dewi Kwan Im yang berukuran super besar di Sekupang.  Tepatnya di resort yang dikelola oleh PT KTM.  Untungnya publik yang tidak menginap di resort diperbolehkan masuk sepanjang hanya melihat, bersembahyang atau berfoto ria di area patung.  Kita cukup minta ijin sama petugas security yang berjaga di depan pintu gerbang resort.  Patung Dewi Kwan Im ini mendapat penghargaan dari museum rekor Indonesia karena ukurannya yang luar biasa besar.  Dari tempat ini juga kita bisa melihat negeri Singa karena posisi resort persis di bibir pantai.


Patung Dewi Kwan Im dari samping
Patung Dewi Kwan Im dari depan
Kelenteng yang ada di sebelah patung
Resort tempat patung berada
Kelenteng dan patung
Dinding samping kanan patung
Dinding samping kiri patung
Kelenteng tampak dari bawah
Altar di depan patung


Berkunjung ke Batam belum pas kalau tidak mengunjungi jembatan Barelang, icon kota Batam.  Jembatan bersejarah ini menghubungkan 3 pulau yaitu Batam, Rempang dan Galang, makanya bernama Barelang yang diambil dari nama ketiga pulau itu.  Kembali lagi yang sangat disayangkan dari tempat wisata ini.  Sampah berceceran di sisi trotoar jembatan. Dan yang sepertinya belum berubah, pedagang dan mobil-mobil pengunjung dibiarkan parkir di pinggir jalan sepanjang jembatan.  Coba kalau ada tempat parkir sebelum jembatan, sehingga mereka cukup berjalan kaki menikmati pemandangan atau berfoto ria dari atas jembatan. 


Tugu nama jembatan Barelang
Keindahan pulau dari jembatan
Rambu dan barrier cenderung diabaikan oleh pengunjung
Parkir liar mempersempit dan memperjelek suasana
Jembatan dilihat dari arah Rempang


Aku juga menyempatkan diri datang ke bekas tempat penampungan pengungsi Vietnam di Pulau Galang.  Aku harus bayar Rp 15.000 per orang kepada petugas yang mencegatku di pintu masuk.  Supir dan mobil tidak dihitung, tapi penumpang saja yang harus bayar.  Tidak masalah bagiku, mungkin dana itu digunakan untuk merawat atau memperbaiki fasilitas di kawasan wisata ini.  Tapi kenyataannya jauh dibawah ekspektasiku, kawasan ini kurang terawat.  Fenomena yang sama di kebanyakan tempat-tempat wisata di Indonesia, tempat-tempat wisata kurang begitu dirawat dengan baik.  Kita sibuk dengan agenda road show, promosi, ikut eksibisi di luar negeri untuk 'menjual' keindahan tempat-tempat wisata, tapi kita kurang peduli dengan kondisi tempat wisata itu, sehingga yang ada, para turis cenderung kecewa dan tidak mau datang kembali. Ironis memang, tapi itulah kenyataannya.


Kuil Budha-1
Kuil Budha-2
Kuil Budha-3
Kuil Budha-4
Kuil Budha-5
Kuil Budha-6


Ada beberapa bangunan yang dibiarkan rusak bahkan hancur di tempat wisata ini.  Sorry, aku sengaja ga tampilkan bangunan-bangunan itu karena hanya menimbulkan kesedihan saja kalau melihatnya.  Lebih baik aku tampilkan hal-hal yang menarik saja.  Di bekas penampungan pengungsi ini, kita masih dapat menemui kuil besar tempat ibadah pengungsi yang beragama Budha.  Tapi ada juga gereja di tempat ini.  Untuk mengetahui sejarah tentang para pengungsi, kita dapat mampir ke museum yang berada di dalam.  Foto-foto para pengungsi, aktifitas dan para guru-guru yang berjasa di penampungan terpampang di dinding dan papan di dalam museum.  Juga foto Pemerintah Indonesia dalam menyiapkan tempat penampungan pun ada disini.


Tugu Kemanusiaan
Konon patung perempuan adalah korban pemerkosaan
Makam para pengungsi
Museum di dalam area
Sejarah manusia perahu datang ke Batam
Kartu pengenal pengungsi
Daftar penghuni barak
Wajah-wajah yang pernah ada di Galang
Foto-foto sejarah
Seribu wajah dalam satu bingkai


Yang surprise disini adalah sekumpulan monyet-monyet liar yang ada di lokasi wisata ini.  Yang hidup di pinggir-pinggir jalan tidak segan-segan mendatangi pengunjung untuk minta belas kasihan.  Awalnya aku pun takut dan ragu kalau-kalau mereka buas, tapi setelah melihat ada pengunjung yang didekati dan tetap baik-baik saja berdekatan dengan monyet-monyet itu, aku memberanikan diri untuk memberi makan mereka. 


Barak pengungsi yang sudah direnovasi
Monyet-monyet di pinggir jalan
Mereka berani mendatangi pengunjung untuk belas kasihan
Foto-foto lama tentang camp pengungsi
Sudah jinak semua


Karena semua kamar di BCC hotel tempat acara sudah fully booked, maka aku memutuskan tinggal di hotel yang tidak jauh letaknya dari BCC.  Swiss-Inn nama hotel itu yang masih 'saudara' dengan Swiss-Bel hotel.  Awalnya aku ragu dengan fasilitas hotel kelas budget ini, tetapi setelah melihat ruangan lobby, pelayanan resepsionis sampai dengan kondisi dalam kamar, akhirnya aku dapat menyimpulkan bahwa Swiss-Inn hotel dapat menjadi rekomendasi bila bepergian ke Batam.  Apalagi fasilitas breakfast-nya yang cukup bervariasi.  Ada satu hal yang perlu ditingkatkan adalah kualitas wifi di dalam kamar yang menurutku masih kurang ok, selebihnya, acungan jempol buat Swiss-Inn.


Swiss Inn-1

Swiss Inn-2

Swiss Inn-3

Swiss Inn-4

Swiss Inn-5


Supir sekaligus guide-ku mengatakan kalau ingin beli barang-barang elektronik atau gadget murah, Batam lah tempatnya.  Apa iya?  Bukankah itu dulu 10 atau 20 tahun yang lalu saat pedagang belum begitu tahu harga pasar barang-barang mewah itu.  Ya, dulu hanya orang-orang kaya yang bisa membeli produk-produk luar negeri dan mereka belum punya koneksi di Jakarta untuk mengecek berapa harga produk itu di pasaran.  Tapi kalau sekarang?  Benar dugaanku.  Mereka sudah tahu harga.  Bisa dikatakan harga di sini tidak jauh beda dengan harga di Jakarta.  Yang merepotkan, disini kita harus tawar menawar harga dengan penjual.  So, kalau tidak pandai menawar dan tidak mau berisiko, sebaiknya beli produk lain saja misalnya makanan ringan kemasan produk negara tetangga yang banyak terdapat di Batam.  Salah satu tempat yang direkomendasikan oleh supirku, Top 100.  Super market ini menjual berbagai macam snack dan minuman import.  Bagi penggemar coklat, silakan memborong berbagai macam jenis makanan ringan dari coklat.  Oiya, ada satu lagi yang perlu direkomendasikan, yang ini dariku, kalian harus coba kopi kapal tengker.  Pilih yang direbus dan disaring.  Rasanya enak banget!


Pusat penjualan hp murah di Batam






Tidak ada komentar:

Posting Komentar