Ini negara yang ke-36 setelah Oman dalam catatan perjalananku sampai dengan detik ini. Masih kurang, targetku 100 negara. Syukur-syukur aku diberi umur panjang sehingga bisa mewujudkan mimpi dan harapanku. New Zealand akhir-akhir ini makin dibicarakan orang karena kelebihan yang dimiliki negara ini. Yang paling menarik adalah keindahan alamnya yang sering diperlihatkan dalam beberapa film box office seperti Lord of the Ring, Hobbit atau TV series seperti Spartacus kesukaanku. Disamping itu, produk-produk makanan dari bahan susu, coklat, daging dan madu juga lumayan ngetop di dunia. Tak ayal kalau Pemerintah NZ begitu gencar promosi wisata negaranya melalui kerjasama dengan para pembuat film seperti Peter Jackson. Dan ga heran kalau aku jadi pengin ngelihat langsung seperti apa itu NZ.
|
Ucapan selamat dating di tempat parker bandara Auckland |
Seperti biasa, aku lebih suka terbang langsung dari Jakarta ke negara yang aku tuju dengan flag carrier atau airline kebanggaan negara itu, tapi sayangnya belum ada penerbangan langsung ke NZ. Terpaksa aku naik Singapore Airlines yang berangkat siang dari Bandara Soekarno-Hatta. Hari Rabu tanggal 14 Oktober 2015 tepat Tahun Baru Islam, pesawat Boeing 777 seri 300 nomor penerbangan SQ959 jam 15.10 take off terlambat 1 jam karena alasan teknis, dari Bandara Soekarno-Hatta membawaku ke Bandara Changi Singapura. Setelah ngurus voucher belanja senilai 40 dollar Singapore di Terminal 3 kedatangan Changi, aku melanjutkan penerbangan ke Sydney Australia dengan SQ221 yang lagi-lagi terlambat, meski hanya sekitar 30 menit. Kata orang, Singapore Airlines sedang diaudit, tapi kenapa pelayanannya jadi terganggu? Harusnya lebih baik kan?
|
Rehat sebentar di main hall bandara Sydney |
Aku terbang ke Sydney karena ingin melanjutkan terbang menggunakan airlines local atau airline-nya New Zealand. Ada sih penerbangan dari Singapore ke Auckland direct, tapi aku jadi ga pernah ngerasain pake pesawat NZ dong? Penerbanganku ke Sydney menggunakan Airbus 380 seri 800 , sama seperti saat aku mencoba pertama kalinya A380 dari Brisbane ke Changi. Itu bertepatan dengan 2 harinya penerbangan A380 di dunia dan Singapore Airline sebagai perusahaan penerbangan pertama yang menggunakan A380. Mendarat di Sydney International Airport sekitar jam 7.30 pagi waktu Australia. Setelah lolos pengecekan di transit area, aku bergegas menuju gate 54 untuk melanjutkan penerbangan dari Sydney ke Auckland New Zealand menggunakan pesawat Boeing 767 seri 300 Air New Zealand, nomor penerbangan NZ102.
Tau ga kenapa aku pengin naik Air New Zealand? Disamping tujuannya ke NZ dan sesuai kebiasaanku dalam traveling, aku ingin membuktikan atau melihat langsung pelayanan di udara Air New Zealand yang katanya unik itu, khususnya video peragaan keselamatan penerbangan yang lazimnya dilakukan oleh para pramugari atau pramugara. Dan benar, aku dibuat tersenyum dan kagum saat 2 pramugara NZ yang berdiri tegak di lorong kabin pesawat dengan tangan dibelakang badan saat penumpang sedang asyik melihat video peragaan keselamatan penerbangan. Mayoritas penumpang tersenyum, ada juga yang mengacungkan jempol tanda apresiasi atas inovasi yang dibuat NZ yang dibalas dengan senyum oleh pramugara itu. Video itu super menarik dan tidak membosankan karena disampaikan dengan nyanyian bergaya rapper dan tarian yang attractive, tanpa menghilangkan esensi dari message yang disampaikan. Cek aja di youtube!
Ada yang berbeda di New Zealand saat kita berada di bandara untuk memasuki negara ini. Hampir di semua negara yang aku kunjungi, counter Imigrasi yang sering menjadi momok bagi siapa pun yang ingin memasuki suatu Negara asing karena mereka sering dibuat dongkol dengan petugas imigrasi yang reseh, belagu atau arogan. Sering di depan counter imigrasi terlihat antrian panjang yang tidak lain karena petugas Imigrasi yang super ketat memeriksa kredibilitas penumpang yang datang. Bila lolos pemeriksaan Imigrasi, kita baru bisa mengambil bagasi dan siap untuk pemeriksaan berikutnya yaitu Bea cukai. Ini dia yang berbeda. Di check point ini cenderung tidak panjang antriannya, tapi di NZ justru disinilah antriannya super panjang! Sebelum berangkat aku dapat informasi dari teman yang pernah kesana agar hati-hati bawa makanan apapun kalau mau ke NZ karena negara ini sangat melindungi produk-produk makanannya yang didominasi oleh bahan baku coklat, susu, madu dan daging sapi/domba. Bagiku sih sah-sah saja setiap negara memberlakukan aturan main untuk melindungi negaranya atau produk-produk andalannya.
Apa yang terjadi saat aku berada dalam antrian panjang di depan counter Bea cukai? Kulihat banyak berserakan makanan dan minuman kemasan yang masih utuh di atas lantai. Orang-orang sepertinya jadi khawatir dan menempuh cara aman biar bisa masuk NZ dengan meninggalkan barang-barang berisiko itu. Kalau ku perhatikan form isian dari pihak Bea cukai, sepertinya tidak ada yang istimewa, mirip dengan form di negara kita. Pikirku, sepanjang kita tidak macam-macam, siap menjawab pertanyaan-pertanyaan dari petugas bea cukai dengan jujur dan tidak melakukan tindakan atau perilaku yang menimbulkan kecurigaan bagi petugas, harusnya kita nyantai aja. Namun saat aku sudah berada di barisan terdepan antrian, jantungku sempet berdebar juga melihat seorang ibu dan anak gadisnya dimarahin oleh petugas karena tidak jujur menjawab pertanyaan petugas dan akhirnya petugas menyuruh mereka berdua membawa bagasinya ke ruangan pemeriksaan khusus. Sempat hampir aku mau pindah counter, tapi show must go on, kondisi berubah 180 derajat. Justru petugas yang marah-marah tadi berubah jadi ramah dan hanya menanyakan apakah aku bawa makanan? Dengan tegas kujawab,"Yes, I bring some candies in my bag, you want to see it?". Petugas itu tersenyum sambil mengambil form yang sudah aku isi dan memberikan tanda seakan aku lolos pemeriksaan lalu mempersilakan aku menuju mesin x-ray bagasi. Anjing-anjing pelacak dan polisi kulihat masih mondar-mandir mengikuti langkah para anjing yang sudah sangat terlatih mengendus bagasi. Ada penumpang yang sangat ketakutan saat anjing itu mengendus saku celananya dan anjing itu ternyata langsung merangkul kaki orang itu, melepaskannya dan menggonggong. Spontan petugas memeriksa orang itu dengan memaksanya untuk mengeluarkan isi saku celananya. Aku ga sempet melihat apa itu isi saku celananya karena ga mau cari masalah dengan petugas yang lain dan buru-buru meninggalkan bandara.
Mendarat di Auckland sudah lumayan sore dan terjebak macet keluar bandara menuju kota yang berjarak sekitar 8 km karena bertepatan dengan jam pulang kantor. Setelah muter-muter kota sebentar, aku makan malam di Grand Park restaurant yang lumayan ngetop di Auckland dalam hal Chinese food. Sengaja aku pilih restaurant yang dekat dengan hotel tempat aku nginap. Nama hotel itu Heartland tepatnya di 14 Airpark Dr, Mangere Auckland berlokasi sangat dekat dengan airport yang kebetulan aku besoknya mau explore dulu bagian Selatan NZ. Aku sudah beli tiket penerbangan domestic dari Auckland ke Christchurch. Tampilan fasad Heartland hotel sangat sederhana seperti tempat penginapan, tapi lobby sangat luas dengan disain yang apik terpusat di lobby yang bersebelahan dengan ruang makan, meeting room dan berhadapan dengan café hotel. Tarifnya relative murah berkisar 35 s.d 55 dollar NZ per malam. Wifi gratis di semua area hotel termasuk kamar. Kita tinggal login dengan username nomor kamar dan nama kita. Petugas hotel cukup ramah dan sorry aku ga bisa ngasi info tentang pelayanan sarapan pagi karena aku ga sempat makan pagi.
|
Ini stop kontak di NZ yang susah nyarinya di Indonesia |
|
Bagian dalam kamar mandi |
|
Shower dengan pengatur deras air diujung bath-up |
|
Tempat tidur yang sedang kupakai |
Jam 6 pagi, aku sudah harus check-out hotel menuju bandara. Pesawatku Boing 767 seri 300 JetStar terbang jam 8.30 pagi ke Christchurch, so jadinya aku sarapan di airport.
|
15' sebelum keberangkatan aku sudah ada di gate 21 |
Untungnya pesawatku on schedule dan mendarat di Bandara Christchurch yang bersih, tertata rapi dan menarik meskipun sangat kecil kalau dibandingkan Soekarno-Hatta. Ada yang menarik dari bandara Christchurch yaitu pada area pengambilan bagasi ditempatkan bukit dengan ujungnya yang bersalju sebagai icon Christchurch yang memang terkenal dengan gunung-gunung bersaljunya. Orang bilang salju abadi. Di Christchurch atau biasa disebut The most English city outside England, banyak sekali yang ingin kukunjungi seperti Avon river yang kayak Venisia, Botanic Garden yang tidak hanya menarik dengan bunga-bunganya di musim semi dan musim panas, tapi ada Museum Canterbury yang dibangun pada tahun 1870. Dan yang pasti, aku harus berkunjung ke Lake Tekapo dengan panoramanya yang indah sekaligus melihat church of the Good Shepherd, gereja tua yang lebih tepat dikatakan sebagai chapel karena ukurannya yang kecil. Jangan salah, gereja ini sering menjadi pemotretan pre-wed dan beberapa film banyak mengambil lokasi di gereja ini.
|
Area pengambilan bagasi yang unik |
|
Anjing si pengembala dekat chapel |
|
Church of the good shepherd |
|
Botanical garden-1 |
|
Museum Catenbury di Botanical garden |
|
Botanical Garden-2
|
|
Museum tampak samping |
|
Cakep kan danau Pukaki? |
|
Patung domba yang ngetop itu |
|
Disinilah dijual shasimi salmon segar |
|
Kalau ke Mt Cook harus nyoba Salmon ini |
|
Super segar karena diambil langsung dari tempat penangkarannya |
Sebelum melanjutkan perjalanan ke Queenstown, aku putuskan bermalam di Twizel, kota dengan alam pedesaannya yang indah dan sangat dekat bila kita ingin hiking ke Mountain Cook yang terkenal itu. Hotel yang kupilih namanya Mackenzie Country Inn di Corner of Ostler & Wairepo streets, 2 Wairepo road. Tarifnya per malam berkisar 45 s.d 60 dollar NZ. Hotelnya bersih, luas dan lega. Kamar tidur dilengkapi dengan tv flat, lemari pakaian, 1 set sofa untuk tamu, di balcony ada kursi untuk nyantai atau berjemur. Di dalam lemari pakaian terdapat strika dan mejanya plus mini bar dan teko pemanas. Oiya air semuanya bisa langsung diminum dari kran, tapi kalau ga biasa, ya silakan saja memasak air atau beli air mineral yang jauh banget tempatnya. Kamar mandi minimalis dengan bath-up dan peralatan yang standard NZ yaitu, sabun (cair dan gel), shampoo dan hand & body lotion. Sikat dan pasta gigi bawa sendiri ya. Handuk lengkap termasuk untuk muka. Tempat makan pagi sangat luas dengan menu yang western khas NZ seperti daging asap babi, sosis ayam, sosis sapi, susu dan kue-kue untuk dessert. Oiya di hotel ini kita boleh ikut acara all you can eat untuk dinner. Mau makan steak sapi, kambing atau babi sekenyang-kenyangnya silakan. Selain steak, menu lainnya enak banget. Aku paling suka sup buahnya yang super menyegarkan dan fudge coklatnya hmm.....pengin nambah dan nambah lagi. Bakery-nya top banget deh hotel ini. Sayangnya wifi kudu bayar. 5 dolar per 24 jam dan kecepatannya menyebalkan. Hotel ini juga markas klub Rugby All black, terlihat di setiap sisi ruangannya banyak ditempatkan banner-banner All Black.
|
Resepsionis Mackenzie Country Inn |
|
Pintu masuk, cocok untuk tempat narsis |
|
Right wing yang luas |
|
Fasad depan |
|
Bar (antara resepsionis & ruang makan) sekaligus ruang nonton bareng |
|
Restaurant sekaligus ruang makan |
|
Bar dan TV layar lebarnya |
|
All Black banners |
|
Lobby depan resepsionis |
|
Kamar tidur yang super luas dan lengkap |
|
Meja kerja, sofa dan TV layar lebar |
|
Sebaliknya, kamar mandi minimalis |
|
Bath-up sekaligus shower |
Keinginan untuk menjamah salju terpenuhi. Aku menyempatkan diri ke Heliworks, perusahaan chopper komersial di Bandara Queenstown yang bisa membawa kita keliling-keliling bukit salju. Cukup bayar 315 dollar NZ, kita bisa terbang 35 menit pulang pergi plus mendarat di puncak gunung salju dan berfoto ria selama 15 menit. Untung sekali, cuaca sangat mendukung sehingga dalam perjalanan di udara dengan capten Dave Butson selamat, meski dia sedikit berakrobatik dan tes nyaliku. Sebenarnya aku juga pengin ikut extreme sport bungy jumping di AJ Hackett bridge, tapi kulihat jembatannya tinggi banget dan bawahnya jurang, spontan kuurungkan niatku. Perasaan ga enak banget!!!
|
Pilot Dave Butson yang jago dan ramah |
|
Detik-detik menjelang mendarat di puncak salju |
|
Selamat dan waktunya berfoto ria |
Kita cari yang aman-aman saja lah. Akhirnya aku pergi ke Arrowtown, kota tua bekas tempat penambangan emas. Tempatnya mirip Balarat di Australia, tapi lebih modern karena jalannya diaspal dan mobil-mobil boleh masuk. Terus terang aku lebih suka di Balarat, lebih pure seperti kota tua. Jalannya masih tanah, yang boleh masuk hanya kereta-kereta kuda, bahkan orang-orangnya sengaja pake kostum jaman dulu mirip kampung cowboy.
|
Arrowtown dengan latar belakang gunung yang indah |
|
Meski tidak terlalu padat tapi produk yang dijual bagus-bagus |
|
Makan siang dulu di Heritage |
|
Restaurant yang terkenal dengan barbeque-nya |
|
Steak domba dan sapi medium rare hmm......... |
|
Chef Eduardo dari Italy siap melayani makan siang |
Lord of the Ring, Hobbit dan Spartacus terang-terangan meng-ekspos keindahan alam NZ. Tempat yang menjadi favorit para film maker adalah Queenstown karena disini kaya sekali dengan bentuk alamnya mulai dari bukit-bukit hijau, bukit bersalju, jurang, air terjun, sungai, sabana, sampai dengan anjing laut dan tebing-tebing bak ukiran cantik hasil pahatan alam yang luar biasa. Sepanjang jalan menuju Milford sound yang terkenal itu, tidak henti-hentinya aku mengabadikan keindahan alam NZ. Perjalanan pulang pergi 10 jam tidak terasa membosankan karena kita sepanjang jalan kita disajikan berbagai macam bentuk kebesaran ciptaanNya. Amazing!!
Karena saking banyaknya tempat yang harus dikunjungi di Queenstown, kuputuskan untuk 2 malam menginap di Copthorne hotel & resort yang bersebelahan dengan Lakefront.
|
Keindahan alam menuju Milford |
|
Mampir ke Lake Mirror |
|
Cruise yang siap mengajakku tour Milford sound |
|
Milford sound tour-1 |
|
Milford sound tour-2 |
|
Milford sound tour-3 |
Hotel Copthorne unik dan luas sekali. Ruang lobby plus resepsionis berada di level 5, tapi kamarku ada di level 3, so aku harus turun via lift kalau mau ke kamar. Karena sedang renovasi di beberapa bagian khususnya menyambungkan ke seluruh lantai, kamarku jadi terasa jauh. Pengin sih pindah, tapi kata manager hotel, semua kamar sudah full booked. Setelah melihat lokasi kamar yang menghadap langsung danau yang indah itu, akhirnya kuurungkan niatku untuk pindah kamar ataupun pindah hotel. Ruang kamar hotel cukup luas dengan ranjang dan sofa, TV layar lebar, lemari pakaian dengan strika dan papannya, mini bar, meja kerja dengan fasilitas internet plus wifi yang super cepat meskipun kita harus bayar 5 dollar untuk pemakaian 24 jam maksimal untuk 3 devices. Kamar mandi minimalis dengan bath-up, handuk lengkap dan toiletries standard NZ. Ingat ya, tidak ada sikat gigi, korek kuping dan shaver. Ruang makan sangat luas dengan menu full western gaya NZ seperti sosis, bacon, scramble egg, bakery dan buah-buah segar. Pie coklatnya hmm......lezat banget!! Hotel ini dekat dengan pusat kota, so kalau mau cari makan gampang saja tinggal jalan 5 menit nyampe! Jangan heran, ini kota kecil. Tidak ada gedung pencakar langit, bahkan mall yang mereka punya tidak lebih seperti supermarket di Jakarta. Untuk cari souvenir murah, datang saja ke Koha, nama toko yang menjual barang untuk oleh-oleh berlokasi di sebelah mall atau di seberang Thai restaurant, Tham Nak.
|
Ruang lobby atas |
|
View belakang hotel menghadap Lake Front |
|
Banyak kamar dan seringnya full booked |
|
Ruang resepsionis dan lobby bawah |
|
Tampak depan |
|
Kamar tidur yang lega dan lengkap |
|
Sempetin ke fruit stall yang banyak terdapat jalan pedesaan di NZ |
|
Murah-murah (dibandingkan Indonesia) dan segar buahnya |
Perjalanan berikutnya adalah menuju Dunedin karena disana ada tempat kesukaanku, pabrik coklat Cadbury yang menawarkan tour di area pabrik. Disamping itu ada beberapa bangunan bersejarah yang harus aku lihat juga seperti stasiun kereta api, octagon square, Baldwin street dan gedung-gedung tua di tengah kota Dunedin. Kalau bisa menyempatkan diri berfoto di Otago University yang ngetop itu. Yang nyesek di hatiku adalah jalan Baldwin yang panjangnya lebih dari 161 meter itu. Kalau sekadar jalan yang landai atau tingkat kemiringannya hampir 90 derajat di Indonesia juga ada, aku masih ingat jalan mendaki di kaki gunung Bromo yang bisa dilalui kendaraan roda empat juga. Cuman karena kurang promosi dan kurang perhatian saja, sehingga banyak lokasi-lokasi unik di negeri kita tidak dikenal orang luar atau tidak punya 'nilai jual'.
|
Inilah jalan Baldwin yang terkenal itu |
|
Akhirnya sempet juga mampir ke Otago University |
|
Salah satu icon Dunedin, stasiun kereta api World Class Train bergaya Victorian |
Cukup bayar 20 dollar, aku masuk dalam rombongan tour di Cadbury yang menempati gedung tua dengan 2 silo atau tangki raksasa warna ungu dan putih. Luar dan dalam gedung pabrik didominasi warna ungu yang merupakan warna kerajaan saat Ratu Elizabeth diangkat menjadi ratu Inggris. Memang coklat Cadbury berasal dari Inggris, tapi pabrik besarnya ada di New Zealand yang kaya susu sebagai bumbu inti pembuat coklat selain biji kakao itu sendiri. Sayangnya kita tidak dibolehkan membawa kamera selama tour, so hanya bagian luar atau area publik saja yang bisa aku share dalam blog ini. Disamping kita diajak mengetahui sejarah Cadbury dan diajari cara membuat coklat, kita juga diberi beberapa produk coklat Cadbury dan merasakan sepuas-puasnya coklat leleh langsung dari mesin. Christine si pemandu tur Cadbury-ku orangya tegas tapi lucu. Sering aku dibuat ketawa dengan candanya. Cara menjelaskan pun sangat piawai, pokoknya waktu 1 jam itu tidak terasa bersama dia. Yang paling mengesankan waktu aku dibawa masuk ke silo tempat meramu coklat Cadbury seperti menara pengawas ATC di bandara. Aku disuruh hati-hati menaiki tangga karena licin penuh coklat. Benar juga, masuk ke tower itu meskipun agak gelap, terlihat dinding-dinding silo penuh dengan percikan coklat, termasuk pegangan tangganya. Aroma coklat sangat menyengat, tapi justru aku merasa di surga, namanya juga chocolate addict! Di tengah-tengah perjalanan, Christine menyuruh aku berhenti dan bersandar ke trail dinding persis di depan 2 bak besi besar yang menggantung di tengah silo. Satu diatas, satu dibawah yang sepertinya siap menampung tumpahan dari bak atas. Pada hitungan ke-3 aku disuruh teriak,"We want chocolate!!". Tepat setelah hitungan ke-3, Christine menekan tombol merah pada panel di dekat dia berdiri dan tiba-tiba mesin berderu dan menumpahkan berton-ton coklat dari bak atas ke bak bawah dan seterusnya sampai jatuh ke bak yang paling bawah. Itulah cara meramu bahan-bahan pembuat coklat Cadbury. Akhir tour, aku beli beberapa coklat Cadbury di store dekat pintu keluar yang tidak dijual di Indonesia seperti Moro dan Jaffa.
|
Pabrik Cadbury tampak depan |
|
Lihat tumpukan coklat di sebelah kiri! |
|
Ini mobil Cadbury th.1919 (kanan) & 1930 (kiri) |
|
Christine yang tegas, cerdas dan lucu |
|
Sebelum pulang, belanja dulu coklat yang ga ada di Indonesia |
Capek muterin kota Dunedin, aku mampir sebentar ke restaurant Great Taste yang katanya punya produk salad yang enak, fresh dan bisa sepuasnya kita makan alias all you can eat. Ternyata tidak hanya salad, kita hanya bayar 15 dollar per orang bebas menyantap semua makanan yang ada di restaurant itu seperti berbagai macam nasi, ayam goreng, sosis, berbagai macam sayuran seperti cap cai, dan berbagai macam buah-buahan. Tidak hanya itu, kita juga bisa sepuasnya makan cake untuk dessert dan juga ice cream. Kalau kita ingin menu tambahan seperti steak atau aneka daging bakar, kita tinggal bayar 9 atau 10 dollar tergantung jenis daging yang kita mau. Di Dunedin aku menginap di Scenic hotel yang berlokasi di 10 Smith St.Dunedin 9016.
|
Ranjang dan tv layar lebar siap menyambutku |
|
Minibar dan wifi gratis pun juga siap |
|
Kamar mandi minimalis tapi bersih & lengkap |
Pagi-pagi sekali aku harus ke bandara untuk mengejar pesawat ke Auckland. Aku pilih Air New Zealand karena masih terkesan dengan video peragaan keselamatan yang keren itu. Dan kenapa kembali ke Auckland, karena aku belum puas dengan kota itu. Meskipun Auckland kota pertama yang kudatangi di NZ, tapi aku mengawali perjalanan justru ke South Island. Auckland dan kota-kota wisata yang berada di North Island menjadi pilihan terakhir sebelum balik ke Jakarta.
Setibanya Airbus 320 milik Air New Zealand mendarat di bandara Auckland, aku mampir ke Valentine restaurant untuk makan siang. Restaurant ini terkenal dengan menu buffet-nya yang murah, enak dan banyak pilihan. Setelah perut kenyang, aku melanjutkan jalan-jalanku ke Matamata untuk mengunjungi lokasi pembuatan film The Hobbits yang terkenal.
Peter Jackson memang telah memukau jutaan orang dengan 2 film besarnya, Lord of the ring dan Hobbits. Di lokasi pembuatan film Hobbits, aku terkagum-kagum dengan detail rumah dan isinya plus lingkungan di sekitar pemukiman yang seolah-olah tidak boleh ada kelihatan cacat sedikitpun. Penonton dibawa ke alam pertengahan yang penuh fantasi dan benar-benar mehilangkan unsur-unsur yang berbau NZ, meskipun bagi orang yang kenal betul alam NZ pasti dengan mudah tahu kalau itu berlokasi di NZ Saking detail-nya, sampai-sampai untuk membuat pohon oak-pun, Peter Jackson harus mengimpor daun-daun buatan dari Taiwan. Sepintas atau seribu pintas pun kita tidak akan tahu kalau pohon-pohon yang berjejer di samping rumah Hobbits adalah pohon buatan. Kalau kita pegang, baru ketahuan. Kata Andy, si guide yang membawaku keliling perkampungan Hobbits, ada beberapa hal yang membuat Peter Jackson memilih lokasi itu. Pertama hamparan rumput, danau dan tekstur perbukitannya menyerupai cerita dalam novel JRR Tolkien. Kedua, ada pohon oak besar di pinggir danau yang memikat hati Peter Jackson. Ketiga, pemilik Tanah dan peternakan ini punya domba-domba belang kayak Shaun the sheep yang tidak seperti kebanyakan domba-domba NZ yang putih polos. Dan beberapa alasan-alasan lainya. Intinya, setelah berkeliling menggunakan helicopter, Peter Jackson merasa sangat cocok dengan lokasi tersebut.
Karena hari sudah menjelang sore, dari Matamata aku bergegas menuju Rotorua untuk makan malam sekaligus penginapan. Aku pilih Millenium hotel yang berlokasi di 1270 Hinemaru Street, Rotorua 3040. Lokasi hotel ini sangat strategis karena dikelilingi oleh pertokoan khususnya souvenir dan supermarket Pack 'n Save dimana kita bisa belanja kebutuhan camilan khas NZ or made in NZ. Untuk souvenir aku memilih ke toko Aotea yang memberikan discount 5% bagi pengunjungnya dengan menunjukkan kartu diskon yang bisa didapat di resepsionis hotel.
Lobby hotel sangat luas karena menyatu dengan area bar tempat hang-out tamu hotel. Kamar tidur minimalis tapi lengkap dengan TV layar lebar, meja kerja, kursi tamu 2 buah, lemari pakaian dengan strika dan mejanya. Minibar dengan kettle pemanas air. Kamar mandi lumayan lengkap peralatannya. Wifi hanya gratis 1 jam pertama. Selanjutnya kita harus beli 5 dollar untuk pemakaian 24 jam dan maksimal 3 gadget. Untuk sarapan, kita harus turun 1 level dibawah area lobby. Lokasinya disamping kolam renang indoor dan menunya lumayan banyak.
|
Tempat budaya Maori |
|
Thermal reserve, semburan geyser |
|
Gelembung keluar dari telaga lumpur panas |
Setelah sarapan, aku pergi ke Te puia, tempat untuk mengenal budaya Maori, penduduk asli NZ, sekaligus mengunjungi Thermal reserve fenomena semburan geyser, bubbling mud pool dan mengetahui cara beternak burung kiwi, binatang symbol NZ. Dari Te Puia, aku menuju Agrodome untuk melihat pertunjukan pencukuran bulu domba. Lumayan menghibur pengunjung. Si pemandu acara dibantu dengan 1 orang perempuan sebagai assistant layaknya pemain sirkus yang dengan cekatan memainkan alat cukurnya membabat habis bulu-bulu domba. Dia juga berhasil melatih anjing, domba, dan angsa menunjukan atraksi menariknya.
|
Beli tiket masuk |
|
Domba mulai dicukur |
|
Tugu pintu masuk Waitomo |
Perjalanan berikutnya aku ke Waitomo untuk melihat glow worm caves, gua stalagtit dan stalagmite yang berhiaskan glowing worm yaitu larva ulat yang bersinar di tempat-tempat yang gelap di dalam gua. Steven si pemandu wisata di Waitomo awalnya terkesan angkuh, tapi setelah kami masuk ke gua dan mendengarkan cerita-ceritanya tentang ulat bersinar, karakter aslinya muncul. Aku bersama beberapa turis yang bersamaan datang ke tempat itu disuruh nyanyi di depan stalagtit yang menyerupai bentuk Stevie Wonder dengan rambut gimbalnya. Terang saja tidak ada satu pun yang mau. Akhirnya Steven lah yang bernyanyi untuk kita. Masih di dalam gua, kami dibawa keliling gua dengan perahu kecil bermuatan sekitar 20 orang dalam kegelapan dan tidak boleh mengeluarkan suara apapun agar ulat-ulat bersinar yang bergantungan di atap-atap gua tidak terganggu atau malah jatuh menimpa kita. Bagi yang takut kegelapan atau tidak bisa di tempat-tempat yang pengap, sebaiknya tidak mengunjungi tempat wisata ini.
Selanjutnya aku pergi ke Auckland untuk makan malam dan bermalam disana sebelum keesokan harinya kembali ke Jakarta. Aku memilih menginap di Auckland city hotel di 157 Hobson street yang lokasinya sangat strategis karena kita bisa berfoto ria dengan background Skycity tower, icon kota Auckland. Hotel ini pun dekat dengan Auckland university, radio NZ dan Queens Street yang popular menjadi tempat hang-out warga Auckland. Lobby hotel sangat minimalis, juga tempat sarapannya. Waktu masuk kamar, kesan minimalis juga terlihat meskipun ranjangku berukuran lumayan besar dengan lemari pakaian dan meja kerja pun berukuran besar. Kamar mandi ala shower dengan tersedia tempat duduk lipat, so kita bisa mandi sambil duduk, sayangnya ga ada pembatas antara area shower dengan non-shower. Jadi kalau mandinya petakilan, air bias nyiprat kemana-mana dan kalau sampai keluar kamar mandi dan membasahi karpet kamar, siap-siap kita kena sangsi denda yang lumayan mahal. Wifi disini hanya memberikan gratis untuk 30 menit pertama, itupun harus minta voucher di resepsionis supaya dapat password untuk login. Kalau mau pake 24 jam, hotel mengenakan tariff 10 dollar. Disamping lokasinya yang strategis, kelebihan hotel ini adalah menu sarapan pagi-nya yang pas untuk orang Asia. Bubur ayam dan nasi gorengnya enak banget.
|
Kamar tidur lumayan luas |
|
Meja kerja sekalian meja TV |
|
Lemari pakaian besar di pojok ruangan |
|
Kamar mandi dengan shower gaya duduk |
Sebelum menuju bandara untuk terbang balik ke Jakarta, aku menyempatkan diri keliling kota Auckland. Yang pertama pasti harus foto dengan background icon kota Auckland yaitu menara Skycity dan Harbor bridge, jembatan yang mirip di Sydney dekat gedung opera. Oiya, sekadar info, orang Maori lebih senang menyebut dirinya New Zealander atau orang New Zealand yang asli, sedangkan orang kulit putih atau kaum pendatang lebih sering disebut Kiwi people.
|
Skycity tower |
|
Harbor bridge |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar